Ungkit Soal Air Keras di Forum PBB, Novel: Risiko, Tak Perlu Takut

Ungkit Soal Air Keras di Forum PBB, Novel: Risiko, Tak Perlu Takut

RIAUMANDIRI.ID, Jakarta - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menjadi pembicara dalam konferensi negara-negara pihak penandatanganan konvensi PBB menentang korupsi (COSP-UNCAC) yang diselenggarakan di gedung Adnec, Abu Dhabi, Uni Emirates Arab, Senin (16/12). Selain pencapaian KPK, dia juga mengungkit kasus penyiraman air keras yang dialaminya.

Pertama ia memamerkan keberhasilan KPK menaikkan 21 poin indeks persepsi korupsi (IPK) dari semula 17 menjadi 38. Selain itu, selama menjadi kepala satuan tugas (kasatgas) penyidik, sebanyak 197 tersangka berhasil dijebloskan ke penjara, termasuk eks ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, eks Ketua DPR Setya Novanto, tiga menteri, enam gubernur, 72 anggota DPR/ DPRD, 18 bupati dan wali kota, dua jenderal polisi dan empat hakim, serta tiga jaksa.

Dari situ dia kemudian mengungkapkan dampak dari pekerjaannya tersebut adalah rentan mendapat serangan.


Dari keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (17/12), tercatat tujuh teror dialaminya, seperti disiram air keras yang mengakibatkan kedua matanya hampir buta, tiga kali ditabrak motor dan mobil, dipenjarakan, dikriminalisasi, dan beberapa bentuk teror lain.

Ia pun menyinggung penanganan perkara penyiraman air keras di Polri yang mengalami kemandekan hingga menyentuh hari ke-979.

"Risiko besar karena kita berbuat dengan benar. Jadi, tidak perlu takut," kata Novel.

Ia juga menyinggung kesepakatan antara Pemerintah dan DPR terhadap revisi Undang-undang KPK membawa dampak kepada pelemahan kinerja lembaga antirasuah tersebut. Oleh karena itu, Novel meminta agar PBB dapat mengeluarkan resolusi yang bisa melindungi pekerja lembaga antirasuah KPK.

"Prinsip-prinsip perlindungan tersebut diatur dalam Jakarta Principle on Anti-Corruption, dokumen yang disepakati dunia pada November 2012 di Jakarta," jelas Novel.

Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) yang juga hadir dalam agenda itu mengungkapkan bahwa keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi tidak diimbangi dengan komitmen politik.

Ia menegaskan kalau Indonesia tak membutuhkan revisi UU KPK. Pelbagai kejanggalan seperti proses revisi yang hanya dihadiri oleh 70 anggota DPR, tidak masuk program legislasi nasional (prolegnas), hingga tidak dilibatkannya KPK. Menurut dia hal-hal itu merupakan imbas dari maraknya korupsi politik dan penegak hukum yang dijerat KPK.

"Masih ada peluang Presiden mengeluarkan Perppu dan berharap hakim MK memutuskan uji materi dengan hati nuraninya, untuk masa depan pemberantasan Indonesia," kata Dadang.**