Ini Sejumlah Catatan FKKM Riau terhadap Program Perhutanan Sosial

Ini Sejumlah Catatan FKKM Riau terhadap Program Perhutanan Sosial

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Program Perhutanan Sosial yang digulirkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor  P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial menjadi tonggak baru dalam gerakan kehutanan masyarakat di Indonesia. Namun dalam perjalanan program ini, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan yang patut untuk dipikirkan bersama. 

Demikian disampaikan Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Riau, Priyo Anggoro, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Riaumandiri.co, Jumat (24/8/2018).

Dijelaskan Priyo, beberapa catatan yang patut menjadi perhatian antara lain adalah izin pengelolaan yang sudah dikeluarkan sebagian besar masih sebatas izin dan belum operasional. Salah satu penyebabnya adalah pemegang izin belum membuat rencana pengelolaan. Selain itu, pemahaman pemegang izin sebagian besar masih sebatas memperoleh izin dan belum berorientasi bagaimana memanfaatkan izin.


Dukungan kebijakan di Riau, menurut Priyo, melalui penerbitan kebijakan lokal di daerah seperti Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor: 184/11/2018 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Riau tentu patut diapreasiasi dengan harapan jelas. 

"Kelompok kerja ini dapat membantu pelaksanaan program dan dapat mempercepat dan mempermudah penerbitan izin pengelolaan hutan dengan tetap konsisten pada ketentuan yang berlaku. Keberadaan kelompok kerja ini juga diharapkan justru tidak menjadi memperlambat proses," ujarnya.

Sejauh ini menurut Priyo, skema yang diminati masyarakat atau kelompok masyarakat di Provinsi Riau adalah skema hutan desa. Skema lain seperti hutan adat dan kemitraan kehutanan masih belum diminati. Skema hutan adat yang didukung oleh Lembaga Adat Melayu Riau termasuk skema yang belum diminati. Begitu juga dengan skema kemitraan kehutanan yang bermitra dengan pemegang izin kehutanan lainnya. 

Namun di sisi lain Pengesahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau Tahun 2018 – 2038 yang diundangkan menjadi Perda Nomor 10 Tahun 2018. Dalam pasal 46 ayat (2) huruf e disebutkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan untuk Perhutanan Sosial (PS) dan penggunaan kawasan hutan untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebelum mendapat rekomendasi dari Gubernur Riau terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama di DPRD. 

"Artinya dengan perda ini, ada prosedur atau aturan lokal yang diterbitkan daerah. Harapanya tentu ketentuan ini tidak membuat proses perizinan menjadi lebih panjang," kata Priyo. 

Secara nasional, taget Perhutanan Sosial yang ditetapkan pemerintah hingga akhir tahun sebesar 2 juta Ha. Target ini akan ditindaklanjuti oleh Dirjend PSKL Kementerian LHK dengan meluncurkan program “jemput bola” perhutanan sosial yang mempercepat proses perijinan dengan memverifikasi usulan perijinan ke langsung ke tapak. 

Namun program percepatan ini, kata Priyo, belum direspon Pemerintah Provinsi Riau dengan baik. Beberapa tahapan yang seharusnya menjadi tahap awal pelaksanaan program percepatan ini seperti lokakarya penetapan luasan target Perhutanan Sosial di Provinsi Riau dan Coaching Clinic Program Jemput Bola Perhutanan Sosial sampai saat ini belum dilakukan. Padahal melalui 2 proses kegiatan inilah program jemput bola ini bias berjalan.

Namun demikian, tegas Priyo, FKKM Wilayah Riau masih meyakini, berbagai catatan tersebut tidak akan menjadi penghambat pelaksanaan program Perhutanan Sosial khususnya di Provinsi Riau. 

"FKKM Wiayah Riau berharap situasi ini dapat segera diatasi dan menjadi perhatian bersama. Semangat untuk mempertahankan kawasan hutan dengan tetap memperhatikan pemberdayaan ekonomi masyarakat patut kita pertahankan," pungkas Priyo.