Panglong Arang dan Kerusakan Hutan Mangrove di Kepulauan Meranti

Panglong Arang dan Kerusakan Hutan Mangrove di Kepulauan Meranti
SELATPANJANG (RIAUMANDIRI.co) - Kerusakan hutan mangrove (bakau) di Kabupaten Kepulauan Meranti saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Pasalnya kayu bakau kini sudah banyak ditebang untuk dijadikan bahan baku arang ekspor.
 
Dampak kelestarian ekosistem akibat penebangan yang dilakukan masyarakat menjadi alasan pemerintah melarang eksploitasi kayu hutan. Namun di sisi lain aturan tersebut malah mematikan perekonomian para penebang yang telah puluhan tahun melakoni pekerjaan ini.
 
Nawir misalnya, ia sudah belasan tahun menggantungkan hidup keluarganya dari menebang kayu di tengah hutan mangrove. Setiap hari ia mendayung sampan hingga beberapa kilometer ke dalam anak-anak sungai untuk mencari kayu jenis bakau maupun nyirih untuk ditukarkan menjadi lembaran rupiah di panglong arang (tempat pembuatan arang) di sekitar sungai di Pulau Merbau.
 
Dalam satu hari Nawir mampu mengumpulkan 700 Kg hingga 1 Ton kayu mangrove. Untuk jenis bakau yang menjadi bahan utama arang biasanya dihargai Rp 120 hingga Rp 150 per kilogram. Sedangkan jenis kayu nyirih hanya Rp 100 per kilogram. Jenis ini dijadikan bahan bakar untuk dapur memasak arang.
 
"Harga belinya murah tidak naik- naik, sedangkan kayu makin susah dicari," keluh Nawir saat ditemui riaumandiri.co, Sabtu (6/5) di Selatpanjang, usai mengantarkan bakau di salah satu panglong di Pulau Merbau.
 
Nawir merupakan hanya satu dari ratusan bahkan mungkin ribuan masyarakat Kepulauan Meranti yang menggantungkan hidup pada mangrove dan arang. Dalam satu hari, baik penebang maupun pekerja lepas di industri arang hanya mampu mengantongi Rp 40 Ribu hingga Rp 100 Ribu saja.
 
Sementara itu, salah seorang pengelola panglong arang di Sungai Terus Pulau Merbau, Ayau (48), mengaku, sekali produksi dirinya dapat mencapai 50 hingga 60 ton arang dari 3 buah dapur miliknya.
 
Panglong arang terus beroperasi di wilayah Kepulauan Meranti, dan para perkerja terus menebang hutan untuk dijadikan arang. Kondisi ini mengakibatkan hutan gundul dan berimbas pada abrasi di bibir pantai.
 
Para perkerja dan penjual terus memanfaatkan kayu bakau dan diolah jadi arang untuk dijual ke berbagai daerah, bahkan ke manca negara. 
 
Melihat kerusakan hutan bakau yang semakin ganas ini, pemerintah sudah seharusnya menghentikan aktifitas yang merugikan lingkungan tersebut. Imbasnya nanti kepada masyarakat dan lingkungan yang ada di sekitar pantai.
 
Saat ini Kantor Pengaduan Kopsilpa yang berada di Jalan Sedang Panagan disinyalir turut bermain di bisnis gelap tersebut. Pengelola Kopsilpa saat dihubungi terkesan menghindar dari pertanyaan wartawan. "Maaf saya lagi sakit lain kali saja kalau mau konfirmasi," ujarnya beralasan.
 
Demikian juga Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan setempat.  Saat wartawan riaumandiri.co mengkonfirmasi Irmansyah, Kadis dinas tersebut, pegawainya yang lagi sibuk bermain game online beralasan Kadis tidak berada di tempat.
 
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 8 Mei 2017
 
Reporter: Azwin Naem
Editor: Nandra F Piliang