Amnesti Pajak

Repatriasi dan Inkonsistensi Singapura

Repatriasi dan Inkonsistensi Singapura

SEIRING pengesahan UU No. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak daam rapat paripurna DPR-RI pada 28 Juni 2016 lalu, program pengampunan pajak (tax amnesty) tak henti menuai berbagai kendala (pro dan kontra). Amnesti pajak yang merupakan program pengampunan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT, dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan (pajak.go.id).

Melalui program amnesti pajak, ribuan triliun rupiah dana warga negara Indonesia yang terparkir diberbagai negara akan dibawa pulang kembali ke Indonesia lewat salah satu fiturnya, yaitu, repatriasi.

Berbagai pemberitaan yang kini kian santer ialah manuver pemerintah Singapura mencoba menjegal program amnesti pajak Indonesia. Singapura melancarkan “ancaman” agar para pelaku usaha tidak merepatriasi (menarik) dananya dari Singapura. Sikap ini merupakan pengingkaran Singapura yang sebelumnya untuk berkomitmen untuk mendukung penuh program amnesti pajak di Indonesia.


Manuver Singapura bernada mengancam akan melaporkan wajib pajak (pengusaha) kepada pihak Commercial Affairs Department (CAD), yaitu kepolisian Singapura yang khusus menangani kejahatan di bidang keuangan.

CAD akan melakukan pendataan atas transaksi tidak normal dan mencurigakan kepada sejumlah bank yang memiliki klien/nasabah yang ikut program amnesti pajak Indonesia. Jelas sekali, manuver ini tak lain tak bukan bertujuan untuk menghalangi WNI menarik dananya dari Singapura.
Manuver ini berdalih kecurigaan terhadap wajib pajak yang bersangkutan memperoleh harta kekayaannya dengan jalan yang tidak benar.

Dalih ini ditambah pula dengan alasan demi mematuhi aturan Financial Action Task Force (FATF) di mana Singapura menjadi salah satu anggotanya. Tentu, ini akan membuat wajib pajak ciut dan khawatir, dan memutuskan untuk tidak jadi ikut program amnesti pajak. Meskipun sebenarnya, Singapura hanya memiliki otoritas untuk melaporkan ke negara asal wajib pajak atau nasabah soal transaksi yang dianggap mencurigakan tersebut. Sedangkan sanksi pidana merupakan urusan negara asal nasabah.

Bila tak hendak dikatakan sebagai “ketakutan”, maka manuver ini adalah suatu “kehati-hatian” Singapura terhadap Indonesia. Sebab, bila diperhitungkan aset Warga Negara Indonesia (WNI) dipasar perbankan Singapura mencapai 200 miliar US$ (Rp 2.638 triliun) setara 40 persen dari total aset bank swasta di Singapura. Bila menghitung secara keseluruhan, dari data Kementerian Keuangan, dana WNI di luar negeri totalnya mencapai sekitar Rp11.541 triliun.

Adapun, Bank Indonesia (BI) dalam kajiannya menyebutkan, dana WNI yang terparkir di luar negeri hanya Rp3.147 triliun. Menurut data Tax Justice Network 2010, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara di dunia yang memiliki aset keuangan terbesar di negara suaka pajak (tax haven). Lebih hebat lagi, Indonesia menempati posisi ke-9 dan merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara di daftar top 10 ini.

Betapa “kehati-hatian” ini adalah sebuah strategi Singapura yang patut dipuji. Strategi ini sah-sah saja sebagai upaya persaingan bisnis. Sebab, bila sampai para pengusaha menarik dananya dari Singapura ke Indonesia, berimplikasi bakal mengguncang kondisi perekonomian Singapura. Apalagi diasumsikan, pertumbuhan ekonomi di Singapura akan melamban menjadi 1,6% dalam 2016 dan 1,5% dalam 2017, di bawah rata-rata 4,5% antara 2011 dan 2014. Secara khusus, pelambatan ekonomi Singapura ini tidak lepas dari kebijakan amnesti pajak, di mana Singapura merupakan salah satu surga pajak (tax haven) dan menjadi tujuan pemarkiran dan investor dana.

Tindakan “kehati-hatian” Singapura ini ialah jalan akhir yang ekstrim untuk mencegah repatriasi dana. Sebelumnya dengan modus mengiming-imingi wajib pajak dengan bonus insentif menarik, termasuk tawaran membayari selisih tarif tebusan, jika aset direpatriasi dengan tarif jika aset sekadar dideklarasikan, dengan syarat sama: dana tetap berada di Singapura.

Inkonsistensi Singapura terlihat pula dari standar ganda yang diterapkannya. Saat dana masuk tidak dipersoalkan (dari mana asalnya). Namun, ketika dana tersebut akan ditarik kembali  Singapura mempersoalkan tindak pencucian uang (money laundry) atau penghindaran pajak. Padahal, bila konsisten seharusnya sejak masuk dana tersebut langsung mempertanyakan asal dana tersebut.

Meskipun pihak Monetary Authority of Singapore (MAS) selaku bank sentral Singapura membantah segala sinyalemen diatas. MAS mengaku memerintahkan banknya untuk mendukung program amnesti pajak Indonesia. Sikap ini bisa jadi serius, atau bisa jadi juga bagian dari public relations untuk memperbaiki citra Singapura yang terlanjur tercoreng sebagai surga pelaku pencucian uang dan penghindar pajak. (Kompas, 17/9).

Program pengampunan pajak dengan fitur repatriasi berarti merupakan kebijakan pajak yang sifatnya mendorong wajib pajak untuk mau berinvestasi dinegaranya sendiri. Hal ini tentu akan memengaruhi negara-negara dikawasan sekitarnya, yang belum tentu akan memberi reaksi positif. Gelagat “kurang baik” dari Singapura ini harus dihadapi dengan ketegasan pemerintah Indonesia terhadap Singapura. Program amnesti pajak yang sudah tepat sasaran, harus menjadi fokus pemerintah  untuk menyukseskannya.

Amnesti pajak ialah momentum peningkatan penerimaan negara di sektor perpajakan, sebab 80 persen anggaran belanja bersumber dari penerimaan pajak. Respon yang cepat dan tanggap sangat diperlukan untuk mengatasi masalah inkonsistensi Singapura seperti ini. Betapa tidak, ancaman Singapura melaporkan ke CAD menggoyahkan niat repatriasi para wajib pajak. Tentu ini merugikan responsibilitas amnesti pajak.

Sungguh patut kita pujikan, respon tanggap dan cepat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memastikan pihaknya akan memonitor dan menindaklanjuti kalau ada WNI yang merasa dihalangi dalam mengikuti program pengampunan pajak. Oleh karena itu, pihaknya mengecek langsung kepada pemerintah Singapura.

Ia dan pemerintah Singapura akan melakukan kerja sama untuk meyakinkan bahwa tidak ada lagi alasan bagi wajib pajak (WNI) yang akan mengikuti pengampunan pajak, merasa bahwa mereka tidak bisa mengikuti karena berbagai halangan yang sifatnya berhubungan dengan undang-undang mengenai tindak pencucian uang. (Kompas, 17/9).

Diharapkan para wajib pajak dan pengusaha mengikuti program amnesti pajak ini sesegera mungkin. Bagi yang melakukan repatriasi (menarik dana dari luar negeri) agar tidak usah ragu, dan tidak perlu terpengaruh modus “ancaman” dari Singapura.

Karena, pada 2018 diberlakukan Automatic Exchange of Information (AEOI) skema sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening keuangan secara global. AEOI bertujuan meningkatkan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, suku bunga kompetitif maupun untuk meningkatkan investasi.

Melalui sistem AEOI, pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak) dapat dengan mudah melacak WNI yang menyembunyikan harta atau aset keuangannya di luar negeri. Jadi, bagi WNI yang selama ini menyembunyikan uang dan tidak berpartisipasi dalam program amnesti pajak dapat dituntut secara kriminal paling lambat tahun 2018. Dengan demikian, penerapan AEOI akan semakin mempersempit ruang gerak bagi pengemplang pajak.***