KPK Bongkar Kasus Gula di Sumbar

Petinggi Kejati Perlu Diperiksa

Petinggi Kejati Perlu Diperiksa

PADANG (RIAUMANDIRI.co) - Kasus gula yang menjerat Jaksa Farizal dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, harus dibongkar sampai ke akar-akarnya. Pasalnya, tersangka yang dibidik KPK itu, tidak mungkin ‘bermain’ sendiri. Untuk itu, petinggi di Kejati Sumbar perlu diperiksa.   

Kasus suap yang melibatkan Farizal, Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara gula tanpa label SNI di Pengadilan Negeri (PN) Padang, tampaknya bakal berbuntut panjang.

Pakar hukum Universitas Andalas (Unand) Dr Suharizal, SH, MH menilai, Petinggi ada dugaan keterlibatan oknum lain di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar, dalam kasus yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

Farizal telah ditangkap KPK atas dugaan menerima suap Rp365 juta dari terdakwa Xaveriandy Susanto, sang bos gula. Meski rumor yang beredar, nilai suap itu mencapai angka Rp700 juta.

“Dalam kasus ini, jika kita bicara SOP (Standar Operasional Prosedur) di Kejaksaan, maka tidak mungkin terjadi kesalahan prosedural yang hanya dilakukan satu orang. Apalagi pada kasus yang menjadi sorotan publik seperti kasus gula itu. Pasti ada mekanisme yang ketat di kejaksaan dalam penunjukan jaksa, rencana tuntutan, penulisan surat dakwaan, nota tuntutan. Itu pasti tidak dilakukan satu orang,” kata Suharizal di Padang, Minggu (18/9).

Menurutnya, para petinggi Kejati Sumbar diduga kuat mengetahui hal ini. Karena pekerjaan di kejaksaan merupakan kerja kolektif kolegial. Artinya, yang menuntut dalam satu kasus bukan semata-mata jaksa yang hadir di persidangan, melainkan lembaga (Kejati)-lah yang menuntut.


Sedangkan jaksa yang hadir di persidangan hanya sebatas juru bicara kejaksaan dalam suatu persidangan. Untuk itu, supaya terang benderang, KPK perlu memeriksa para petinggi di Kejati.

“Jadi, konsep tuntutan, dakwaan, itu semua dimatangkan secara kolektif, bukan perorangan. Dengan frame (bingkai) kerja kejaksaan yang seperti itu, patut diduga tidak hanya satu jaksa itu yang ikut bermain. Dan lagi, tidak mungkin permainan itu dimainkan tanpa sepengetahuan atasan di kejaksaan. Apalagi kasus-kasus seperti ini mendapat perhatian khusus. Pasti ada oknum jaksa lain yang ikut mengutak-atik perkara ini,” katanya.

Paling tidak, menurut Suharizal, para asisten di Kejati Sumbar mengetahui skenario yang dilakukan dalam satu perkara. Seperti pada rencana tuntutan yang tentu tidak dikerjakan hanya seorang jaksa.

“Kenapa akan dituntut sekian, dan kenapa hanya pasal ini, kenapa tidak pasal itu. Semua itu pasti dirapatkan. Tidak mungkin diputuskan oleh seorang jaksa saja. Jadi saya pikir, jika benar kasus ini menyeret seorang jaksa di Kejati, maka ‘kue’ ini, diduga kuat dibagi-bagi. Tidak mungkin hanya seorang jaksa saja yang menikmati. Tapi ingat, ini jika kasus ini dibenturkan dengan SOP di kejaksaan yang berlaku,” ujarnya meyakinkan.

Terkait kemungkinan hukum yang akan dijatuhkan jika benar seseorang jaksa melakukan tidakan seperti yang disangkakan kepada Farizal, maka menurut Suharizal kasus tersebut sudah masuk ke ranah pidana dan tindak korupsi.

Sehingga tidak ada jalan untuk menjatuhkan sanksi secara kelembagaan, melainkan harus dimejahijaukan. Kecuali jika ada oknum jaksa tertentu yang keterlibatannya sangat dangkal, sehingga sanksi kelembagaan masih mungkin dijatuhkan.

“Tapi secara kasat mata sekarang ini, tidak bisa sanksi, harus dimejahijaukan, harus dicopot. Ini jika kita tunduk pada UU Tipikor karena ini termasuk pidana murni. Karena dalam UU Kejaksaan, yaitu UU 16 Tahun 2004, tidak diatur jika perbuatan seperti ini dilakukan oleh seorang jaksa. Apalagi ini diduga membuatkan eksepsi untuk tersangka yang ia tuntut sendiri,” katanya lagi.

Adapun untuk kelanjutan sidang dugaan peredaran gula tanpa label SNI yang menyeret Xaveriandy Sutanto ke meja hijau di PN Padang, Suharizal menilai sidang tetap bisa dilakukan secara aturan yang berlaku. Karena agenda yang akan dilaksanakan adalah menghadirkan Saksi A De Charge (saksi meringankan). “Kalau agendanya A de Charge, sesuai aturan, tanpa kehadiran tersangka pun masih bisa lanjut,” katanya.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Xaveriandy diduga menyuap Farizal Rp365 juta. Penyuapan ini untuk membantu mengurus perkara pidana yang sedang dihadapinya di Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat.

Dalam proses persidangan, Farizal ternyata juga bertindak seolah-olah menjadi penasihat hukum terdakwa Xaveriandy. Contohnya, Farizal membuatkan eksepsi untuk terdakwa Xaveriandy. 

"Sidang kasus dugaan gula ilegal itu masih terus berjalan di Pengadilan Negeri Klas I A Padang, daerah setempat, hingga saat ini. Dengan agenda terakhir pemeriksaan para saksi yang dihadirkan JPU. Farizal . Farizal juga mengatur saksi-saksi yang menguntungkan terdakwa Xaveriandy," kata Alex.

Sementara itu Guru Besar Hukum Pidana Unand Profesor Elwi Danil, menilai, jaksa yang seharusnya bertindak selaku penuntut umum di pengadilan, namun ikut ‘bermain mata’ dengan terdakwa, mencerminkan tindakan yang tidak patut. Apalagi jika diiringi dengan penerimaan sejumlah uang oleh jaksa tersebut dari terdakwa. Sehingga jelas merupakan tidak kriminal.

“Seorang jaksa, sebagai seorang penyelenggara pejabat negara yang berwenang melakukan penuntutan. Tapi malah ‘bermain mata’ dengan terdakwa, tentu ini tidak patut. Apalagi jika benar bertindak sebagai penasihat hukum (PH) di belakang layar bagi terdakwa, dan diduga diiringi pula dengan penerimaan sejumlah uang, itu sudah kriminal. Itu sudah tindak pidana korupsi,” ucap Elwi.

Namun Elwi menegaskan, hanya KPK yang akan mengungkap soal keterlibatan oknum jaksa lainnya dalam kasus dugaan suap tersebut. Artinya, belum bisa dinilai apakah anggota tim jaksa lain yang melakukan penuntutan dalam kasus ini, juga terlibat dalam dugaan suap tersebut.

Soal sanksi yang akan dihadapi oleh jaksa jika benar terbukti menerima suap, Elwi menegaskan bahwa kasus tersebut pasti bermuara di pengadilan. Karena jika terbukti, berarti KPK menilai yang bersangkutan melanggar pasal 12 UU 31 Tentang Korupsi soal tindak pemberian atau penerimaan gratifikasi dengan ancaman hukuman paling ringan 4 tahun dan paling berat 20 tahun.

Sedangkan dalam Dalam UU Kejaksaan, lanjut Elwi, memang tidak diatur tentang pemberian sanksi terhadap jajaran yang melakukan prilaku menyimpang. Namun secara administratif kepegawaian, akan ada prosedur yang harus dilakukan pihak kejaksaan. Seperti pemberhentian, pemberhentian dengan tidak hormat dan seterusnya.

“Tapi secara hukum pidana jika terbukti maka akan diadili dengan Pasal 12 UU Korupsi itu. Soal keterlibatan jaksa lainnya, yang jelas, jaksa bekerja di bawah komando, karena di kejaksaan itu sistemnya ‘kan semi komando. Bisa jadi juga ketua timnya menyiapkan sesuatu, lalu disuruh jaksa lain menyampaikan, tapi belum tentu juga jaksa anggota itu menerima suapnya. Bisa saja. Tapi KPK yang akan mengungkapnya, termasuk soal aliran dana itu nanti, jika terbukti,” tutupnya.

Senada dengan Prof. Elwi Danil, pengamat Hukum Feri Amsari mengungkapkan bahwa trik yang dilakukan oleh oknum jaksa Farizal sudah masuk dalam wilayah perdagangan keadilan.

"Ini modus memperdagangkan keadilan. Buruknya wajah aparat kita karena mereka menjadi penjahat yang berkedok penegak hukum," jelas Feri Amsari, Minggu (18/9).

Menurutnya, ulah jaksa yang memperdagangkan pasal ini dan menerima suap hingga Rp365 juta, kejahatannya sudah terjadi. Tanpa menyingkirkan praduga tak bersalah, Kejagung harus bersih-bersih. "Dalam korupsi itu selalu ada trio: politisi, penegak hukum, dan pebisnis. Jadi tidak heran kalau ada oknum penegak hukum terlibat," tutupnya.

Sedangkan Wakil Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Erna Ratnaningsih meminta untuk ditelusuri dulu kebenaran sangkaan KPK tersebut. Pihaknya siap menindaklanjuti dengan terlebih dahulu menggelar rapat pleno di internal Komjak.

"Tugas kita kan melakukan pemantauan, kita lihat dulu kebenarannya. Kemungkinan bisa juga seperti yang lalu lalu kita ke KPK untuk menanyakan hal ini," ujar Erna.

"Memang mekanismenya di dalam Komjak akan rapat pleno, informasi ini akan dibawa ke rapat pleno. Apa yang kemudian akan dilakukan, apa misalnya kita ke KPK, mungkin ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan," lanjutnya.

Erna menjelaskan, pada akhirnya Komjak hanya bisa memberi rekomendasi di mana yang akan memberi sanksi adalah Kejaksaan. Meski begitu ia tetap mengimbau agar jaksa bekerja profesional dan mematuhi kode etik yang ada.

"Seharusnya seorang jaksa harus bekerja profesional mematuhi kode etik yang ada, kalau seperti itu dilakukan tidak akan terjadi penyalahgunaan kewenangan," imbau Erna.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Widodo Supriyadi ketika dikonfirmasi terkait penangkapan Farizal tersebut, Minggu (18/9) siang hingga sore, tidak berhasil dihubungi. Ponselnya sedang tidak aktif.  

Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumbar, Yunelda mengatakan bahwa dirinya mengakui mendapat informasi terkait keterlibatan oknum jaksa tersebut.

"Ya saya memang mendapatkan informasi terkait hal itu, tapi saya belum bisa memastikannya dan saya juga tidak tahu dimana ia tinggal di Padang ini. Nanti saya akan pastikan dulu dan saya harus koordinasi terlebih dahulu dengan Kajati," ucapnya, Sabtu lalu. (h/tim)