REVISI UU PILKADA

Dana Pilkada Sebaiknya dari APBD

Dana Pilkada Sebaiknya dari APBD

JAKARTA (HR) – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah  membutuhkan kepastian, termasuk kepastian pendanaan. Karena itu, biaya pilkada lebih baik dialokasikan dalam APBD dan mendapatkan dukungan dari APBN.

Karena itu, revisi UU Pilkada tentang pendanaan pelaksanaan pilkada harus dijelaskan adanya pembagian pendanaa, APBD menanggung berapa persen dan APBN berapa persen. Calon tetap harus menyiapkan dana kampanye dan alat peraga.

Penegasan ini disampaikan pengamat ketahanan nasional Prof Iskandar Agung, Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Fadli Nasution dan Ketua Umum Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia (Pekat IB) Markoni Koto, secara terpisah di Jakarta, baru-baru ini.

Jika ada pendanaan yang pasti dari APBD dan dukungan APBN, kepastian pelaksanaan pilkada itu akan ada. Kepastian ini untuk menghindari adanya beban biaya di APBD yang lebih besar. Daerah tidak mungkin dibebani biaya yang begitu besar.

Sedangkan biaya kampanye dan alat peraga, menurutnya, semuanya harus ditanggung calon. Jika APBD dan APBN masih harus dibebani biaya kampanye dan alat peraga, beban negara akan terlalu berat.

Markoni Koto menyoroti masalah biaya kampanye dan penyiapan alat peraga. Menurutnya, jika calon peserta pilkada tidak dibebani biaya kampanye sendiri, mereka akan mengalokasikan dana pribadinya untuk menjaring massa dengan cara-cara yang mungkin melanggar hukum.

“Jangan sampai terjadi calon bupati atau gubernur lebih mengalokasikan dananya untuk money politic. Ini berbahaya,” katanya.

Sedangkan Fadli Nasution menganggap revisi UU Pilkada itu bisa dilakukan sepanjang memang diperlukan untuk kebaikan pelaksanaan demokrasi. Jangan sampai revisi hanya akan menguntungkan kelompok tertentu.

“Perlu ada aturan baru terkait persyaratan atau kewajiban bagi PNS, Anggota DPR, DPRD untuk mengundurkan diri dari jabatannya sejak penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Persyaratan bolehnya mantan narapidana untuk maju juga demikian. Kemudian soal syarat calon tunggal. Itu perlu diatur dalam revisi,” kata Fadli yang juga kuasa hukum dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, mengatakan revisi beleid yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah itu harus segera dilakukan.

“Dengan merevisi UU tersebut, pemerintah dan DPR mampu mendorong adanya reformasi desain sistem pilkada yang mampu mencapai tujuan dasar dari pilkada itu sendiri yakni meningkatkan kualitas representasi masyarakat daerah dengan kepala daerahnya, sampai dengan mendorong adanya pemerintahan yang efektif dan produktif,” kata Titi.

Sebelumnya, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Abdul Azis Khafia, mengungkapkan, sulitnya syarat untuk calon perseorangan (independen) dalam pilkada membuat jumlah calon perseorangan menjadi sedikit. Kondisi ini juga membuat partisipasi masyarakat menjadi rendah.

Semakin banyak jumlah calon perseorangan, kata Abdul Azis, akan semakin meningkat partisipasi pemilih. “Supaya dia (calon perseorangan-Red) bisa mengakses partisipasinya untuk ikut memilih. Jadi lebih baik dipermudah calon-calon independen itu supaya ruang kompetisi itu semakin terbuka,” katanya. (sk/ivi)