MEA, Antara Ranjau dan Senjata

MEA, Antara Ranjau dan Senjata

Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sudah dimulai awal tahun 2016 ini. ASEAN telah menyepakati sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut.

Pada KTT ASEAN ke-9 di Bali pada tahun 2003 dihasilkan Bali Concord II, yang menyepakati pembentukan ASEAN Community yang disesuaikan dengan 3 pilar di dalam ASEAN Vision 2020, yaitu pada bidang keamanan politik, ekonomi, sosial budaya. MEA adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan dalam ASEAN Vision 2020, yang menyebutkan, “To create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic region in which there is free flow of goods, services, investment, skill labor and free flow of capital, equitable economic development and reduced poverty and socio economic disparities in year 2020.”

Dengan berlakunya MEA 2016 berarti negara-negara ASEAN menyepakati perwujudan integrasi ekonomi kawasan yang penerapannya mengacu pada ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint. Saat ini pemerintah telah menggantungkan harapan yang besar terhadap paket ekonomi jilid VIII agar mampu memperbaiki dunia usaha, serta semakin menjaga ketahanan ekonomi nasional. Meskipun saat ini, diterjang sejumlah sentimen negatif dari perekonomian global.

Dalam paket itu, setidaknya ada tiga kebijakan utama yang diberikan pemerintah. Pertama, percepatan pelaksanaan satu peta atau one map policy dengan skala 1:50.000. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, mengatakan bahwa penerapan kebijakan satu peta terbilang mendesak, lantaran masih ditemukannya tumpang tindih izin penggunaan lahan, yang pada akhirnya menghambat aktivitas perekonomian dalam negeri.
Kedua, berkaitan dengan pembangunan ketahanan energi, yakni percepatan pembangunan kilang minyak. Darmin mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan insentif fiskal maupun non fiskal bagi terselenggaranya pembangunan kilang yang dimaksud. Adapun selama ini pembangunan kilang ditugaskan kepada PT Pertamina. Ke depannya, swasta bisa berinvestasi di kilang (Viva, 21/12).

Sayang sekali, sebenarnya kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA 2016 baru mencapai 82 persen. Hal ini ditengarai dari 4 isu penting. Pertama, Indonesia berpotensi menjadi sekedar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari SDA minimal. Tetapi defisit neraca perdagangan barang Indonesia yang saat ini paling besar diantara negara-negara ASEAN semakin bertambah. Kedua, melebarkan defisit perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang.  Ketiga, membebaskan aliran tenaga kerja sehingga Indonesia harus mengantisipasi dengan menyiapkan SDM karena potensi membanjirnya tenaga kerja asing (TKA). Keempat, masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN.

Namun perlu disadari, adanya liberalisasi ekonomi akan menghilangkan peran negara dalam aktivitas ekonomi dan lebih mengedepankan peran individu, dalam hal ini swasta. Memang terdapat dampak positif dari adanya pasar bebas, seperti terbukanya akses pasar ekspor keluar negeri, meningkatnya arus investasi antar negara, dan meningkatnya kerja sama antara pelaku bisnis antar negara. Akan tetapi, dampak negatifnya yakni sektor-sektor ekonomi negara berkembang akan hancur, negara lemah akan mengalami deindustrialisasi, menumbuhkan ekspor bahan mentah daripada bahan jadi, dan adanya pergeseran jenis usaha dari produsen menjadi importir atau pedagang.

Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara negara Islam dan negara lain, yang berada dalam tanggung jawab negara. Negara Islam memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan, ataupun yang lainnya. Oleh karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol.

Perdagangan bebas saat ini asasnya adalah kapitalisme. Perdagangan bebas adalah strategi penjajahan negara barat terhadap negeri-negeri Islam, padahal Allah SWT berfirman, “Allah tidak membolehkan orang-orang kafir menguasai kaum muslim” (QS. An-Nisa 141).

Dengan demikian, dalam membuat berbagai perjanjian kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan negara lain, negara wajib terikat pada syariah Islam. Dengan begitu kepentingan ekonomi dan kehidupan dari seluruh rakyatnya dapat terjaga.
Dalam negara Islam, seorang Khalifah bertanggung jawab untuk mengontrol, mengendalikan, dan mengaturnya sesuai dengan ketentuan syariah. Membiarkan bebas tanpa adanya kontrol dan intervensi negara sama dengan membatasi kewenangan negara untuk mengatur rakyatnya. Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Imam itu adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”

 Penulis adalah Guru TK Khoiru Ummah