Mengawal Netralitas PNS dalam Pilkada

Mengawal Netralitas PNS dalam Pilkada

Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki peran signifikan dan sentral dalam menggerakkan roda pemerintahan. Untuk itu PNS diharapkan menampilkan dirinya sebagai aparatur yang netral dan profesional, selaras dengan nilai-nilai filosofis pembentukan UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Yakni, ASN yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selama ini, publik menengarai bahwa PNS tidak netral dalam setiap ajang pilkada. Mulai dari hanya sekedar menjadi simpatisan sampai terjun langsung di lapangan, seperti ikut menjadi tim sukses dan terlibat dalam kampanye calon. Perilaku ini sesungguhnya tidak lahir begitu saja, tapi telah lama hadir dalam lipatan sejarah bangsa. Kita bisa melihat bagaimana pada awal kemerdekaan dengan Demokrasi Liberal melahirkan sosok politik bureau-nomia yakni suatu relasi politik dimana kekuatan nonbirokrasi (parpol,ormas, DPR, dan sebagainya) mendominasi birokrasi. Birokrasi ibarat lahan yang telah dikapling-kapling oleh partai politik. Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin, setiapPNS diharuskan menjadi anggota dari salah satu parpol yang termasuk di dalam kategori Nasakom (Alfian : 1981). Dan pada zaman Orde Baru, PNS diharuskan menjadi anggota Golkar.

Kini, seiring perkembangan demokrasi, loyalitas tidak lagi monopoli partai-partai tertentu saja. Namun demikian bukan berarti keberpihakan hilang serta merta, malah  disinyalir PNS secara rela maupun “terpaksa” terlibat dalam mendukung calon kepala daerah. Apalagi posisi PNS yang strategis dalam birokrasi dan pemerintahan serta jumlahnya yang lebih 5 juta, semakin menarik minat calon kepala daerah untuk menjadikannya sebagai mesin pemenangan dalam pilkada.Akibatnya PNS terperosok dalam jebakan labirin-labirin kepentingan. Dan bila tidak dicari solusinya, netralitas PNS akan terus tergerus dan berpotensi menjadi “kuda troya politik”.

Oleh karena itu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN-RB)Yuddy Chrisnandimengeluarkan Surat Edaran nomor B/2355/MPANRB/07/2015, untuk mempertegas UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang isinya melarang seluruh PNS terlibat dalam kegiatan kampanye, baik menjadi anggota maupun terlibat di dalamnya. Dan akan memberikan sanksi tegas bila PNS terbukti terlibat dalam politik.

Himbauan ini sejatinya sangat baik dalam mengawal netralitas PNS, namun harus diikuti dengan aksi nyata di lapangan. Kalau tidak, himbauan ini akan dilihat sebagai regulasi basi yang tidak menarik banyak pihak untuk menaatinya. Alhasil  surat edaran hanya  akan beredar dan berputar-putar dalam wilayah etis PNS saja, tidak menjadi acuan praksis. Apalagi kultur PNS kita yang lebih mengutamakan hubungan patron klien atau paternalistik. Sehingga loyalitas PNS bergeser menjadi loyal kepada atasannya, (Mahrus Irsyam: 2001).

Sesungguhnya tanggungjawab mengawal netralitas PNS tidak cukup dilakukan oleh pemerintah melalui KemenPAN-RB saja, tapi juga harus dilakukan oleh segenap masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya. Masyarakat harus pro aktif melaporkan kepada Bawaslu atau pihak yang berwenang bila melihat keterlibatan PNS dalam pilkada. Tentu dengan bukti yang jelas dan valid bukan hanya isu atau niat ingin menjatuhkan citra positif PNS tersebut.

Apalagi tidak semua yang terlibat politik itu murni keinginan pribadi, tapi banyak oleh situasi dan kondisi yang menyebabkan mereka untuk berpihak kepada salah satu pasangan calon. Seperti yang diungkapkan Ketua Bawaslu RI Muhammad,“ bahwa banyak PNS yang stres menjelang pilkada akibat tekanan dari oknum-oknum tertentu”. Seperti memutasi atau mencopot jabatan bagi PNS yang tidak loyal kepada atasan. Walaupun dalam peraturan sudah ada yang melarang mutasi enam bulan sebelum dan pasca pilkada.

Tak kalah pentingnya adalah memberikan ruang dan jaminan dari pemerintah bagi PNS yang merasa dirugikan dengan sikap atasannya. Selama ini saluran PTUN dirasa tidak memberikan garansi yang pasti dan hanya berhenti pada putusan PTUN. Eksekusinya di lapangan tetap kepada pemerintah setempat. Akibatnya, bisa saja PNS yang dirugikan,dan menang di PTUN tidak memperoleh jabatannya kembali. Sebab, pejabat yang kalah di PTUN ternyata menang dalam pilkada. Akhirnya PNS terus mengalami “intimidasi” politik dan terisolasi dalam dunia kerjanya atau dinonjobkan.

Khittah PNS
Menjaga dan mengawal netralitas PNS adalah tugas semua anak bangsa agar PNS kembali ke khittahnya sebagai pelayan seluruh rakyat Indonesia. Menjadi aparatur yang netral dalam setiap perhelatan pilkada, walaupun pilihan politik berbeda. Tidak netralnya PNS dalam pilkada hanya akan melahirkan masalah. Pertama, pelayanan yang diberikan menjadi tidak adil karena ada kecenderungan mengutamakan golongan masyarakat yang memiliki kesamaan aliran politik, sifat pelayanan tidak objektif, dan tidak mau dikontrol. Kedua, munculnya patronikrasi yakni budaya “gotong royong”, saling menolong yang membuahkan nepotisme.

 Dan ketiga, profesionalisme dan integritas birokrasi yang idealnya memiliki akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas, dan akseptabilitas yang jelas akan terpengaruh dengan adanya perbedaan aliran politik, (Wayan Gede Suacana: 2014).
Oleh karena itu, janji sebagai aparatur yang profesional dan netral serta memberikan pelayanan maksimal dan baik tanpa membedakan latarbelakang politik haruslah menjadi panduan seluruh PNS.Apa yang diungkapkan oleh Woodrow Wilson bahwa sebagai pelaksana kebijakan politik, birokrasi harus berada di luar kajian politik haruslah terealisasi dengan baik. Bukan malahmerusaknya dengan dengan laku politik partisan yang akan menjatuhkan maruah PNS itu sendiri. Dan sudah saatnya bangsa ini menjadikan PNS sebagai milik bersama dan bekerja untuk kepentingan seluruh anak bangsa.

Semoga dengan mengawal dan menjaga netralitas PNS dalam pilkada serentak, akan lahir pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas. Lahir dari proses politik yang sportif dengan mengedepankan kejujuran dan keteladanan. Bukan pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk menggapai kekuasaan. Seperti teori Machiavelli yang melihat kekuasaan adalah sebagai tujuan dan menihilkan kebenaran dan kejujuran dalam memperolehnya. Akibatnya banyak pejabat setelah menjabat terjerat korupsi dan akhirnya menginap dibalik jeruji besi.Wallahu’alam.***

Pengamat Sosial, Politik dan Keagamaan.