Asap Kian Mengkhawatirkan

Dibiarkan, Ekonomi Riau Lumpuh

Dibiarkan, Ekonomi Riau Lumpuh
PEKANBARU (HR)-Pemerintah dan instansi terkait lainnya, diharapkan secepatnya menuntaskan permasalahan kabut asap, yang masih mendera Riau.
 
 Bila dibiarkan, dikhwatirkan aktivitas perekonomian di Riau bakal lumpuh.
 
 Asumsi-asumsi yang dibuat pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi, diyakini tidak akan bisa tercapai seperti yang diharapkan.
 
"Kita bisa bayangkan, dalam kondisi normal saja, jajaran perangkat kerja di Pemprov belum mampu menggenjot anggaran.
 
Apalagi ditambah dengan kabut asap sekarang ini, tentulah akan semakin parah," ungkap pengamat ekonomi Riau, Peri Akri, akhir pekan kemarin. 
 
Peri yang juga sebagai anggota Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Riau, menegaskan, kondisi perekonomian di Riau dengan adanya kabut asap sangat terganggu. Karena banyak aktivitas perusahaan yang tidak berjalan maksimal di lapangan.
 
 Dengan kabut asap yang tebal, masyarakat jadi enggan bekerja dan beraktivitas di luar ruangan. 
 
"Bila tingkat kerugiannya sudah mencapai triliunan, bisa saja perusahaan besar yang beroperasi di Riau bakal menutup perusahaannya.. Bila sudah demikian, tentu saja akan menimbulkan kerugian terhadap negara," tambahnya. 
 
Bila digambarkan, tambah Peri, Riau diibaratkan sebuah pesawat. Saat ini, satu sayapnya sudah tidak berfungsi karena serapan anggaran yang rendah. Dengan kondisi ini saja, sudah membuat banyak pihak sempoyongan.
 
 "Ditambah kabut asap, sama saja permisalannya sayap yang satu lagi bakal rusak. Bila sektor swasta dan usaha kecil menengah terganggu, maka lengkaplah sudah," ujarnya memberi ilustrasi. 
 
»Kurang Sinergitas Penegak Hukum Picu Lemahnya Penegakan Hukum
»Pemprov Riau Harus Tingkatkan ke Tanggap Darurat
 
Sinergi Kurang 
Sementara itu, pengamat hukum Kasmanto Rinaldi, SH, MSi menilai, salah satu penyebab masih maraknya kabut asap di Riau karena kurangnya sinergitas antar para penegak hukum dalam memberi tindakan terhadap pelaku Karhutla. Akibatnya, baik masyarakat atau pun perusahaan tidak takut akan sanksi pidana yang akan menjeratnya jika melakukan pembakaran lahan.
 
"Persoalannya dalam penegakan hukum, masing-masing pihak mengatakan sudah berupaya maksimal. Baik itu Kepolisian Kejaksaan, maupun Pengadilan. Namun pertanyaannya, kok masih ada pembakaran. Kok masih ada asap di mana-mana," ujarnya. 
 
Ditambahkannya, indikasi masalah dalam pengungkapan kasus Karhutla tidaklah terlalu sulit, karena pembakaran lahan bisa dideteksi. "Artinya bukan barang yang tersembunyi.
 
 Cuma persoalannya, saat sudah diidentifikasi siapa pelakunya, punya semangat yang sama tidak untuk mengungkap ini secara terang benderang," tambah dosen Universitas Islam Riau (UIR) tersebut.
 
Divonis Bebas 
Kasmanto juga merasa heran dengan penafsiran hukum yang dipakai para penegak hukum. Sebagai contoh, sebutnya, pihak Kepolisian sudah berupaya dengan menangkap beberapa orang. Juga mengupayakan ada perusahaan yang terindentifikasi terlibat.
 
 Kemudian pihak Kejaksaan telah menaikkan ke Pengadilan. Namun yang menjadi pertanyaannya, ketika sampai di pengadilan mengapa para pelaku bisa divonis rendah bahkan bebas.
 
"Ini ada apa? Karena di dalam hukum acara pidana, baik Polisi, Jaksa, maupun Hakim, sama-sama mengacu ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,red) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,red). Artinya, mereka hanya berpatokan kepada ke satu undang-undang, tapi kok hasilnya berbeda," tanya heran.
 
Penafsiran berbeda bisa saja terjadi, jika Polisi punya Undang-Undang (UU) sendiri, Jaksa punya UU sendiri, dan Hakim punya UU sendiri. "Kalau seperti itu, silakan berbeda tafsiran. Tapi kalau yuridisnya sama, dasar hukumnya sama, mengapa pandangannya berbeda," kembali dia bertanya.
 
Hal ini pun, menurut Kasmanto, dari dulu terjadi di dalam sistem peradilan pidana yang terdiri dari berbagai unsur. Bahwa kesinergian itu tak muncul. Masing-masing pihak punya ego dengan pandangannya masing-masing. Yang terjadi, lanjutnya, jika terjadi suatu kasus, pandangannya berbeda.
 
"Akibatnya, ini sering dimaanfaatkan pihak tertentu. Apakah polisi bermain-main dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan,red) nya, Jaksa bermain-main dengan tuntutannya, dan hakim bermain-main dengan putusannya," pungkasnya.
 
Sementara itu, Anggota Komisi A DPRD Riau, Kordias Pasaribu, meminta agar seluruh komponen, baik pemerintah maupun penegak hukum untuk duduk semeja, untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang selalu terjadi dalam 18 tahun terakhir.
 
"Tidak selayaknya para penegak hukum saling lempar. Seharusnya duduk semeja untuk mencari solusi terkait masalah ini," sebut Kordias.
 
Menurut Ketua DPD PDIP Riau ini, pihaknya selalu memberikan informasi dan solusi agar Pemprov  Riau meningkatkan status kabut asap di Riau ke status tanggap darurat.
 
 "Ini sudah jadi jadi masalah nasional. Agar (pemerintah) pusat juga memperhatikan Riau dan menyediakan anggaran untuk mengatasi permasalahan ini," tukas Kordias.
 
Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Riau (UR), Dr Erdianto Effendi SH MHum, menyebut kalau permasalahan kabut asap ini tidak lagi muncul dari sisi penegakan hukum.
 
 Menurutnya, kejahatan itu tidak bisa dicegah sampai titik nol. Karena kalau ditilik dari kondisi sekarang, relatif berhasil.
 
"Namun saat ini, yang lepas kontrol adalah yang di Jambi dan Sumsel (Sumatera Selatan,red). Penanggulangan Karhutla  ini tidak bisa sepenggal-penggal secara sektoral, melainkan harus ditangani pemerintah pusat," sebut Erdianto.
 
Pemerintah pusat, sebutnya, harus bisa memprediksi kalau setiap tahun pasti terjadi karlahut di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
 
 "Jadi harus ada pencegahan-pencegahan di luar hukum pidana. Tidak hanya bisa mengandalkan penegakan hukum pidana. Bagaimanapun penegakan hukum pidana ada keterbatasannya," tukas Erdianto. (her, dod)