Heboh Mutasi Pemprov Riau, Pakar Otda: Tak Ada yang Salah dan Mesti Dipersoalkan

Rabu, 15 Januari 2020 - 08:05 WIB
Pakar otonomi daerah Prof Djohermansyah Djohan.

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Pakar Otonomi Daerah Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA menilai tak ada yang salah dan harus dipermasalahkan terkait mutasi lebih dari 500 pejabat eselon III dan IV di Pemprov Riau belum lama ini. Sebab  tidak ada aturan yang dilanggar ataupun bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam penetapan pejabat baru tersebut. 

"(Menurut saya) semuanya sudah sesuai aturan, prosedur dan mekanisme. Jadi tidak yang salah atau mesti dipersoalkan dengan pengangkatan pejabat eselon IV dan III di Pemerintahan Provinsi Riau," kata Djohermansyah Djohan dalam perbincangan lewat telepon dengan wartawan, Selasa (14/1/2020) petang. 

Menurut Pak Djo, begitu mantan Pejabat  Gubernur Riau ini akrab disapa, di satu sisi heboh dan viralnya pelantikan lebih dari 500 pejabat eselon IV dan III di Riau ada nilai positif untuk koreksi kebijakan.

"Tapi sayangnya tidak berdasarkan pengetahuan yang memadai tentang dunia  birokrasi pemerintahan," kata mantan Dirjen Otda Kemendagri tersebut. "Bisa juga (viralnya berita mutasi pejabat Riau) kemungkinan karena efek Pilkada dan belum kunjung move on," tambahnya. 

Dijelaskannya, pengangkatan pejabat eselon III dan IV memang tidak melalui pansel seperti eselon I dan II. Tapi tetap ada assesment dengan syarat-syarat, kompetensi, pengalaman atau jam terbang serta kemampuan manajerialnya. "Jadi orang-orang yang akan dilantik itu ada penilaiannya. Terutama yang berperan dalam hal ini adalah BKD, Badan Kepegawaian Daerah," terang Pak Djo. 

Menurut Djohermansyah, penilaian itu kalau dilakukan secara objektif, tidak melihat asal usul atau karena hubungan perkawinan, pertalian darah baik dengan pejabat BKD, Sekda maupun gubernur, tentu akan dianggap normal dan sudah sesuai  aturan. "Jadi siapapun kalau sudah memenuhi persyaratan-persyaratan secara normatif, tidak ada pelanggaran dan tidak sedang menjalani hukuman atau tidak ada catatan, maka boleh menduduki jabatan itu," tegas Djohermansyah. 

Apalagi sampai saat ini, sebut Djohermansyah, belum ada aturan dalam dunia pemerintahan yang mengatur tentang hubungan keluarga, pertalian darah atau kekerabatan seperti lembaga korporasi. "Misalnya kalau di perbankan, tidak boleh suami atau isteri yang bekerja dalam unit organisasi yang sama. Nah, di dunia pemerintahan belum ada aturan itu," katanya.  

Sebagai birokrat senior yang menempati banyak jabatan strategis di pemerintahan, Djohermansyah mengaku. banyak menemukan perlakuan tidak fair terhadap pejabat karir, berprestasi dan berpengalaman akibat isu nepotisme maupun politik dinasti. Misalnya, tentang seorang asisten I Bidang Pemerintahan di Sultra yang disorot publik, sementara hasil  seleksi yang dilakukan tim pansel menempatkannya di urutan pertama dari tiga calon Sekdaprov setempat. 

"Ada hal yang harus kita maklumi bahwa orang yang sudah berkarir di birokrasi, jangan diperlakukan tidak adil ketika ada kakak atau saudaranya  menjadi pejabat politik seperti  gubernur, bupati atau walikota. Mesti dilihat secara baik dan cermat sehingga fair menilainya. Jangan langsung dicap sebagai nepotisme," kata Djohermansyah mengingatkan. 

Nepotisme sendiri beda dengan politik dinasti yang kini banyak dialamatkan kepada Gubernur Syamsuar maupun Sekdaprov Riau Yan Prana Jaya. Menurut Pak Djo, politik dinasti itu berkaitan dengan seorang Gubernur, Bupati maupun Walikota setelah dua kali menjabat kemudian "mewariskan" jabatannya kepada anaknya yang baru tamat kuliah.  "Atau isterinya yang tidak jelas sekolahnya, tiba-tiba dari ketua tim PKK lalu maju menggantikan posisinya sebagai Gubernur, Bupati atau walikota. Itu patut dipersoalkan," kata Djohermansyah Djohan.

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler