Sepenggal Kisah di Hari Ibu

Ahad, 29 Desember 2019 - 20:15 WIB
Mak Iru

RIAUMANDIRI.ID - Sosok itu terlihat bungkuk, ia tengah memasuki sebuah kafe yang terlihat ramai dipadati pengunjung, Minggu (22/12/2019). anehnya ia tak mencari meja yang kosong, ia justru mendekati setiap meja yang sudah diduduki pengunjung lain.

Seolah tak terlihat canggung, sosok yang memakai penutup kepala lusuh, berbaju kebaya dengan motif old yang koyak di bagian bawah ketiak sebelah kanan itu terlihat komat-kamit sambil mengulurkan tangan.

Ia tampak berdiri lebih lama jika ada yang sadar akan kehadirannya, mulutnya dari jauh terlihat komat-kamit penuh khusuk, sayup-sayup seperti untaian doa.

Akhirnya sosok itu, menghampiri meja kami. Seperti di meja sebelumnya, iapun mengulurkan tangan yang keriput dimakan usia.

"Makan Mak (ibu,red)," tawar kami sambil mempersilahkan dirinya duduk.

"Ndak yuong, ndak omuo salegho amak makan de (tidak nak, tidak ada selera makan)," jawabnya sambil duduk.

Kami pun memesan pisang goreng dan secangkir teh untuknya, dengan harapan teh panas bisa menghangatkan tubuh ringkihnya dari kondisi dingin bulan Desember tahun ini. Sambil menyeduh teh ia pun tak sungkan untuk cerita tentang nasibnya, anak dan jati dirinya.

Nama lengkapnya Rusmaniar (71), namun ia mengaku kerap dipanggil Mak Iru. "Amaknya Gitok", begitu orang kampung dan tetangga memanggilnya.

Tapi bagi Pemerintah, Mak Iru seolah hanya "hantu" yang tak terlihat dan tercatat di data kependudukan, ia tak punya data diri secarik kertaspun, ia memahami betul alasan kenapa dirinya tak mendapat bantuan dari pemerintah. Paling tidak seperti itulah pengakuannya kepada kami.

"Ndak ado amak manawuo apo juo de nak, KK ndak ado, KTP apolagi," 
ungkapnya.

"Pernah dulu Pak Kades datang minta KK dan KTP supayo dapek bantuan, tapi dek ndak ado, ndak jdi dapek do," terang Mak Iru.

"Dulu amak jo laki amak kojo di Dumai, tukang sapu jalan, tinggal diuma yang di bai dek pemerintah," ungkapnya berkisah.

Sekitar 10 tahun ikut suami kerja sebagai petugas kebersihan, ia pun kembali ke kampung halaman tanpa suami yang sudah meninggal dunia dan tanpa data diri secuilpun, seolah KK dan KTP nya ikut dibawa suami tercinta ke liang kubur.

Ditinggal suami dan ulang Kampung ke Desa Simpang Petai Kecamatan Rumbio Jaya, tak begitu menguras kesedihan Mak Iru. Setidaknya ia masih punya buah hati semata wayang, Gitok namanya yang sudah menikah dengan gadis asal Medan.

"Anak amak sebenarnya tiga orang, namun yang dua meninggal waktu kecil," beber Mak Iru sambil mengigit potongan pisang goreng.

Namun mendadak raut wajahnya yang tadi tenang berubah menjadi iba, saat ia menyebut anak semata wayangnya itu pulang ke kampung istrinya ke Medan, dan sudah setahun tak ada kabar berita.

"Kata tetangga, mungkin sekarang anak dan minantu saya lagi ngumpulin piti untuk balik ke sini," ujarnya seolah menghibur hati.

Ia mengisahkan, sejak ditinggal Gitok, tubuh Mak Iru semakin rapuh, ia tak punya penghasilan tetap, untuk bertahan hidup, terpaksa ia harus meminta balas kasih dari orang-orang yang mau bersedekah kepadanya.

Meski hanya meminta-minta, bukan berarti rutinitas yang ia lakukan 2 hingga 3 hari dalam seminggu itu bukan tanpa perjuangan, ia harus usaha ekstra untuk bisa sampai ke Kota Bangkinang untuk mencari rezeki ditengah sakit maag yang ia derita. 

Dari rumah gubuknya yang berdinding papan, ia harus menumpang dengan penggendara lain hingga sampai ke  Air Tiris, ia pun harus penumpang "Superben" angkutan umum sampai ke Kota Bangkinang, 

"Dai uma, amak numpang ke uwang naiok honda sampai pasar Ayu tiyi. Naiok Superben sampai ka uma sakik lamo, dai situ naik becak amak nak, (Dari rumah numpang sama orang naik motor sampai Pasar Air Tiris. Naik Superben ke RSUD lama (Kota Bangkinang,red)," ungkapnya.

Sambil sesekali melihat hujan yang masih mengguyur, Mak Iru bercerita sambil mengenang kenangannya bersama anak menantunya.

"Sayang menantu amak tuh samo amaknyo, dicucinyo kain amak, dimasakkanyo amak," sambil meletakkan sisa goreng pisang yang tinggal sedikit dipiring, dan hendak minum.

Namun cangkir teh yang ada ditangannya urung disedu, karena ia kuburu berujar, "payah kalau anak awak laki-laki takuik samo bini, bininyo bongi kek inyo kalau mambai awak banyak, mungkin," ujarnya lirih sambil menahan air matanya.

"Tapi cak la yuong, di dunia kalah deyen tapi akhirat deyen dapek surga yang paling indah (tapi biarlah, di dunia saya kalah, tapi di akhirat saya mendapat syurga yang paling indah)," tambahnya penuh harap.

Ia pun memperlihatkan telapak tangan yang penuh dengan goresan dan urat tuanya yang tampak menonjol menggambarkan kerasnya perjuangan hidup yang ia lalui.

"Dulu saat membesarkannya, telapak tangan ini habis mengais rezeki diladang orang, saat iatirahat siang, saya gak berhenti kerja, agar jatah makan siang itu dapat saya bawa pulang untuk dimakan anak," ucapnya terisak.

Suasana seolah hening, tak ada lagi kata yang terucap dari bibir tua itu. Kerinduan dan kekecewaan seolah berkecamuk dalam relung batinnya, sepertinya ia tak berharap kata-kata puitis dari anaknya di media sosial, toh dia juga tak punya FB, IG atau twitter, Mak Iru pun tak tahu kapan dan apa itu hari ibu, ia hanya ingin hari-hari disisa usianya, bisa ia habiskan bersama anak, menantu dan cucunya.

Selamat hari Ibu Mak Iru, semoga doamu dikabulkan tuhan.

 

Penulis: Ari Amrizal

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler