Dana Asing Rp17 T ‘Kabur’

Kamis, 18 Desember 2014 - 07:56 WIB
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Mirza Adiyaswara

JAKARTA (HR)-Hingga saat ini, daya tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, belum mengalami perubahan signifikan. Sama dengan hari sebelumnya, daya tukar Rupiah masih berkisar pada angka nyaris mencapai Rp13 ribu.  

Sementara itu, dana asing yang keluar dari pasar keuangan Indonesia terhitung luar biasa. Hanya dalam waktu dua pekan, dana asing yang keluar mencapai Rp17 triliun. Kondisi ini terjadi sepanjang 1-16 Desember 2014. Kondisi ini juga ikut menjadi kontributor melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Mirza Adiyaswara, Rabu (17/12), membenarkanya adanya dana asing yang keluar
(capital outflow) tersebut. Dikatakan, kondisi ini terjadi di pasar dan bond. Namun menurutnya, kondisi serupa juga terjadi di negara-negara lain. "Jadi pelemahan nilai tukar bukan hanya terjadi pada rupiah, tapi juga pada nilai tukar negara lain," papar Mirza.

Menurutnya, saat ini para investor asing memang sedang ramai-ramai menanamkan modalnya ke AS. Mereka menantikan keputusan bank sentral AS The Federal Reserves/The Fed, yang disebut-sebut akan segera menaikkan suku bunga.

Selain itu, investor pun melihat perkembangan ekonomi di Negeri Paman Sam yang semakin membaik. Oleh karena itu, wajar jika dolar AS menjadi instrumen favorit investor saat ini.

"Faktor yang menjadi penguatan dolar adalah, ekspektasi suku bunga AS yang akan meningkat dari 0,25 menjadi 3 persen dalam 3 tahun ke depan. Seiring dengan ekonomi AS yang tumbuh dengan turunnya angka pengangguran. Wajar kalau kemudian dana yang selama ini ditempatkan di negara lain kembali ke AS dan dolar menguat," jelas Mirza.

Selain AS, menurut Mirza, perkembangan di Rusia juga punya pengaruh besar. Ekonomi Rusia tengah dilanda masalah besar karena pelemahan mata uang ruble yang mencapai lebih dari 50 persen sepanjang tahun ini, dan anjloknya harga minyak.

"Rusia yang sedang terpuruk membuat sentimen negatif bagi negara emerging market seperti Indonesia. Seperti waktu 2008, saat ada masalah di AS maka kita terkena imbasnya. Waktu 2011 Eropa kolaps, kita kena juga," terang Mirza.

Peluang
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, kondisi ini tidak perlu dikhawatirkan. "Banyak orang khawatir. Padahal itu (penguatan dolar) peluang baik untuk memajukan ekonomi kita," ujarnya.

JK menambahkan, dirinya tidak setuju bila rupiah disebut melemah. Kondisi yang terjadi saat ini, dolar tengah menguat terhadap hampir seluruh mata uang di dunia, karena ekonomi Amerika Serikat (AS) yang tumbuh kuat. Ini membuat aliran dana banyak lari ke AS. "Rupiah menguat dibanding dengan (mata uang) yen, ringgit, Australia, bahkan dengan Rusia," tuturnya.

Jadi, menurut JK, kekuatan rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara Asia.

Menguatnya dolar, kata JK, merupakan kesempatan untuk maju. Selain itu, juga berpotensi mendongkrak ekspor ketimbang impor, sehingga defisit neraca perdagangan bisa teratasi. "Kemungkinan banyak yang beli barang-barang dari Indonesia. Kesempatan kita untuk maju dalam kondisi itu," tandasnya.

Saham Anjlok
Aksi investor yang berbondong-bondong mengincar investasi di Amerika Serikat, juga berdampak terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah mengikuti depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Dalam periode 5-16 Desember, IHSG sudah turun 3,1 persen. Anjloknya IHSG ini juga diikuti saham-saham berkapitalisasi besar.

"Pada 5 Desember sampai kemarin, market goyang. Bukan hanya Indonesia tapi semua bursa saham. Ada saham-saham yang kita amati turunnya paling banyak. Fundamental bagus, tapi memang ada pengaruh sentimen di market," kata Head of Equity Research Mandiri Sekuritas John Rachmat.

John menyebutkan, saham-saham yang terkena imbas penguatan dolar AS biasanya yang punya biaya operasional dan utang valas yang tinggi. Misalnya adalah saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dengan kapitalisasi pasar US$ 2,39 miliar. Selama 5-16 Desember 2014, harga saham perseroan anjlok 10 persen dari Rp1.845 menjadi Rp1.660.

Kondisi serupa dialami PT Pakuwon Jati Tbk (PWON). Perusahaan berkapitalisasi pasar US$ 1,78 miliar ini harga sahamnya sudah jatuh 8,7 persen dalam 2 pekan terakhir, dari Rp515 ke Rp470.

Ada juga PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP). Perusahaan ini memiliki kapitalisasi pasar US$ 6,72 miliar. Harga sahamnya merosot 7,6 persen dalam dua pekan terakhir dari Rp25.200 menjadi Rp23.275.
PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) juga demikian. Kapitalisasi pasar APLN mencapai US$ 529 juta. Harga sahamnya turun 7,6 persen dari Rp356 menjadi Rp329. PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dengan kapitalisasi pasar US$ 7,21 miliar juga sahamnya turun 6,3 persen dari Rp16.550 menjadi Rp15.500.

Sementara saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), emiten berkapitalisasi pasar US$ 8,48 miliar, merosot 6,1 persen dari Rp6.175 menjadi Rp5.800.

"Namun tahun depan ekonomi Indonesia jauh lebih kuat. Saham perbankan bisa jadi pilihan seperti BRI, BCA, BTN. Kemudian sektor infrastruktur seperti SMGR, PTPP, PGAS, karena infrastruktur lagi digenjot," jelasnya. (dtc)

Editor:

Terkini

Terpopuler