Mengkaji Kebijakan Pengampunan Pajak

Kamis, 10 Maret 2016 - 09:21 WIB
Ilustrasi

Pembahasan mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty sedang ramai diperbincangkan.

Banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan, baik para praktisi yang terlibat di dalamnya maupun para akademisi yang mencoba mengkritisi.

Kebijakan pengampunan pajak dinilai beberapa kalangan akademisi seperti Andreas Lako dapat menjadi bumerang bagi pemerintah apabila diteruskan.

Andreas Lako, salah satu guru besar akuntansi menilai, kebijakan ini tidak efektif dilaksanakan, sebab dengan adanya opsi bagi wajib pajak hanya akan menimbulkan efek yang tidak baik terhadap wajib pajak lain yang selama ini sudah berperilaku baik (taat pada peraturan yang ada).

Kita meragukan adanya regulasi pengampunan pajak tersebut sebagai jawaban atas persoalan mangkir pajak saat ini. Ini jika dilihat dari konsep utilitarianisme tradisional Jeremy Bentham, pemikir asal Inggris, yang mengatakan bahwa suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari sebuah tindakan, lebih besar dari jumlah utilitas yang dihasilkan.

Utilitas diartikan sebagai suatu kegunaan dari sebuah tindakan. Konsep ini berkaitan dengan biaya-manfaat, bahwa kebijakan yang paling tepat adalah kebijakan yang memberikan utilitas paling besar. Dari konsep ini pemerintah seharusnya dapat menilai dengan bijak seberapa besar manfaat dan biaya yang akan diterima dan dikeluarkan ketika menetapkan RUU Pengampunan Pajak tersebut.

Konsep biaya dan manfaat tersebut tidak hanya dilihat dari besaran uang yang diterima atau dikorbankan, namun juga harus dilihat dari keseluruhan aspek yang ada.

Seperti, bagaimana dampak kebijakan ini di masa mendatang bagi para wajib pajak. Selaras dengan pendapat Andreas Lako, kebijakan pengampunan pajak tersebut dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif pada wajib pajak, baik wajib pajak ‘nakal’ ataupun wajib pajak yang sudah baik.

Bagi para wajib pajak nakal, dengan adanya pengampunan pajak dapat semakin menjadi sebuah habit yang ‘dibenarkan’. Jika dilihat dari konsep retributive-juctice atau keadilan retributif, kebijakan tax amnesty merupakan sebuah keputusan yang yang kurang tepat.

John Rawls, salah satu filsuf asal Amerika, menjelaskan retributive-juctice sebagai suatu keadilan dalam menyalahkan atau menghukum seseorang yang telah melakukan kesalahan.

Dalam konteks pengampunan pajak, para wajib pajak nakal dengan tidak patuh dan tidak taat dalam membayar pajak malah diberikan sebuah pengampunan atas hukuman yang harusnya diterima dari kesalahan yang telah diperbuat. Hal ini akan menimbulkan moral hazard nantinya, para wajib pajak nakal akan semakin bertindak oportunis.
 
Berdasarkan teori retributive-juctice, para wajib pajak nakal seharusnya mendapatkan hukuman yang setimpal dari apa yang telah diperbuatnya, yakni berupa denda yang harus dibayarkan, bukan malah menghapus denda yang seharusnya dibayarkan.

Dari sisi wajib pajak yang telah patuh dan taat terhadap aturan, hal ini akan membentuk framing negative. Mereka akan cenderung melakukan hal yang sama, karena melihat hal ini sebagai sebuah hal menguntungkan yang dapat dilakukan.

Untuk itu, pemerintah seharusnya dapat lebih jeli untuk belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Kebijkan tax amnesty yang pernah 2 kali periode sebelumnya dilaksanakan dan mengalami kegagalan seharusnya dapat menjadi pertimbangan untuk pemerintah sebagai dasar kebijakannya saat ini, yakni pada tahun 1984 dan 2008 lalu.

Dikutip dari Koran Tempo (29/3), Wiko Saputra, peneliti kebijakan ekonomi menilai, kedua periode tersebut tidak berdampak pada meningkatnya kepatuhan pajak.

Kebijakan tax amnesty hanya merupakan kebijakan jangka pendek, untuk menumbuhkan kepatuhan wajib pajak yang continue dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang dapat memberikan efek pada kesadaran wajib pajak untuk membayar pajaknya. Pasalnya, kebijakan tax amnesty yang baik hanya jika dilaksanakan sekali.

Jika kebijakan ini dilaksanakan beberapa kali maka akan membentuk pola yang diyakini dapat membuat para wajib pajak berfikir akan ada kebijakan yang sama di masa mendatang, sehingga kesadaran mereka untuk membayar pajak menjadi semakin menurun dan cenderung untuk menunggu kebijakan yang sama terjadi kembali pada tahun-tahun berikutnya.

Perlu adanya sistem tata kelola yang baik dari Dirjen Pajak yang dapat membangun dan mendorong kesadaran para wajib pajak untuk taat dan patuh terhadap peraturan yang ada, termasuk dalam penentuan besaran tarif pajak.

Seseorang akan cenderung mematuhi kebijakan ketika dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Seperti dikatakan oleh Habermas bahwa dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibutuhkan sebuah komunikasi yang baik yang dikenal dengan konsep ideal speech.

Ideal speech mungkin dibutuhkan antara pihak-pihak terkait seperti Dirjen Pajak dari sisi pemerintah dan perwakilan dari para wajib pajak seperti APINDO dan serikat pekerja, untuk duduk bersama-sama dalam menentukan besaran tarif pajak yang sesuai.

Selain itu, adanya penghindaran pajak oleh para pihak wajib pajak bisa saja ditimbulkan dari terlalu besarnya rate pajak di Indonesia.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, negara Indonesia termasuk yang memiliki tarif pajak yang besar yaitu sebesar 25 persen sedangkan negara lain seperti Singapura hanya mematok sebesar 18 persen.

Perbedaan tarif ini memungkinkan menjadi penyebab banyak para wajib pajak yang memilih untuk menempatkan kekayaannya di negara lain, karena merasa tarif yang dikenakan di Indonesia terlalu besar. ***

 Penulis adalah mahasiswi S2 Magister Ilmu Akuntansi Universitas Gajah Mada (UGM)

Editor:

Terkini

Terpopuler