Akankah Laut Cina Selatan Menjadi Ajang Konflik?

Kamis, 07 Januari 2016 - 10:08 WIB
Ilustrasi

Era awal abad ke 21 ini ditandai konflik bersenjata. Lihatlah Kawasan Timur Tengah. Mulai Lybia,Nigeria, Syria, Yaman. Begitu juga kawasan  Asia Barat Iraq. Di Asia Selatan Afghanistan, tidak ketinggalan Eropa Timur, Ukraina.

 Dalam kiraan rasional konflik  tersebut di atas belum akan selesai. Kini kawasan Laut Cina Selatan mulai ada peningkatan ketegangan. Karena Cina mengklaim wilayah kawasan sebagai teritorialnya. Sementara Jepang, Filipina,Vietnam termasuk Amerika menolak klaim tersebut. Akankah laut Cina Selatan menjadi ajang konflik?

Pertanyaan ini cukup berdasar. Bahkan sudah  menjadi isu penting kawasan Asia Timur dan Asean. Terutama karena responsif Cina di kawasan ini. Di satu pihak mengatakan sebagai pertahanan bela diri karena  khawatir terhadap peran  militer Amerika, di sisi lain mengatakan bahwa  Laut Cina Selatan merupakan milik Cina sejak zaman  dahulu.  

Dengan begitu, kawasan laut Cina Selatan menjadi ajang konflik. Para pengamat militer memang cenderung  menilai  bahwa ambigu style militer Cina dimaksud berbahaya. Karena  memancing kekuatan lain untuk bersikap yang sama. Misalnya Amerika, Jepang dan Vietmam serta Filipina. Tiga negara terakhir ini memang sudah terlibat dalam pertikaian masalah wilayah.

Dalam kaitan ini  menarik untuk membaca  artikel  Liselotte Odgaard yang mengatakan,  gelagat Cina itu berbahaya. Dalam artikelnya dalam New York Times 10 Desember 2015, berjudul, Cina Dangerous Ambigue In The South Cina Sea (Sikap  Cina yang tersamar  berbahaya di wilayah Laut Selatan Cina). Liselotte bertolak dari ucapan pemegang strategi keamanan Cina, yaitu  May. Jen  Yao Yunzhu dari Academic Miltary Science Beijing. Disampaikan dalam  Xiangshan Forum Dialog Military rutin bulan Oktober lalu,

Mayor Jenderal Yao mempertanyakan mengapa  kekuatan militer Amerika terus beroperasi di kawasan Cina Selatan.Tanpa ada yang mempersoalkannya, kecuali  hanya negara Cina secara  sendirian. "Kami ingin menunjukkan kemampuan mengamankan wilayah ini." Militer Amerika, kata  Jenderal Yao, dengan kapal perang menjelajahi sejak Lautan Pasifik. Bahkan dengan tanpa peduli terhadap  keberatan negara kawasan. Demikian tulis Liselotte  Odgaard, mengutip kata  petinggi militer Cina tersebut.

Liselotte Odgaard  adalah pengamat  masalah  militer Royal Danish University Kopenhagen, Denmark. Ia juga penulis buku ”Cina  Cooisistency Beijing’s  National Security  Strategy 21st Century”.

Ia menyatakan bahwa, ungkapan Jenderal  Yao bukan satu satunya penjelasan penggambaran sikap  militer Cina tentang  kawasan  Laut Cina Selatan. Ada pejabat  paling tinggi Cina, yaitu Presiden  Cina Xi Jianping, yang menyatakan hal yang berkenaan strategi pertahanan dan keamanan negerinya Presiden Xi Jianping menegaskan, pada 27 Oktober 2015  kapal induk Uss Lassen  mencoba mendekat ke  Subi Reef kawasan 12 mil dari pantai Laut Cina Selatan.

Kata Presiden Xi,  kawasan kepulauan di Laut Cina Selatan adalah merupakan milik dari zaman dahulu kala. Ini merupakan  batas wilayah dipegang teguh pemerintah sekarang. Wilayah Cina yang berdaulat  legal yang  harus dijaga  seacra sah.

Ucapan  itu disampaikan  Presiden Xi Jianping  dalam pidatonya di National  University Singapura, November 2015.  Ini menjelaskan  ada dua  poin unsur strategi  keamanan  Cina. Pertama, mencoba melakukan upaya sebagai imbangan kekuatan super power lain yang ada di kawasan Laut Cina Selatan.

Artinya sebagai respon atau reaksi karena  faktor luar. Pendapat ini  adalah datang dari ucapan May Jen Jao Yunzhen. Bagi dia, sikap Cina  dalam rangka mempertahankan diri. Bukan dalam rangka opensif, atau provokasi kekuatan terhadap pihak lain. Poin  kedua, apa yang disampaikan Presiden Xi Jianping, yaitu wilayah  Laut Cina Selatan adalah  wilayah  yang  sudah menjadi milik Cina. Sebagai wilayah yang sah harus  dipertahankan dan dijaga. Butir ini merupakan jawaban yang  menentang. Bahwa  tidak betul ada wilayah pertikaian di Laut Cina Selatan. Karena sah  adalah milik Cina.

Jadi kegiatan militer dalam rangka menjaga kedaulatan milik sah tersebut.
Jadi antara respon berjaga-jaga atau untuk bela diri, dan klaim menjaga Laut Cina Selatan sebagai milik Cina, jelas ada double pernyataan yang tidak sama dan tersamar, bahkan berlawanan. Bagi Indonesia, persoalan Laut Cina Selatan dapat dikatakan sebagai wilayah yang  tidak bersentuhan lansung dengan Indonesia. Karena jarak letak kawasan ditempati negara lain seperti Vietnam Korea, Filipina dan Malaysia. Namun demikian bila kawasan Cina Selatan terganggu, tetap membawa dampak kepada Indonesia.

Karena kawasan itu merupakan kawasan lalu lintas ekonomi perdagangan yang  penting. Penulis berpendapat, wilayah itu seharusnya dijaga netralitasnya sebagai kawasan damai. Semua pihak haruslah mendahulukan kemauan damai dan menjauhkan sikap permusuhan.

Ini merupakan kesepakatan  pendapat dari negara Asean dalam KTT  akhir November  lalu. Bila  ada sengketa, coba didahulukan  perundingan dan menjauhkan penggunaan cara militer. Artinya ada kesan kuat kawasan Laut Cina Selatan bisa saja  jadi ajang konflik.

Namun kita tidak ingin  konflik dialami oleh  negara sekarang  di Timur Tengah dan lainnya itu terjadi  di kawasan Laut Cina Selatan.K ita ingin kawasan ini tanpa konflik, agar negara bangsa  wilyah ini dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. ***

Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Editor:

Terkini

Terpopuler