Memaknai Tradisi Halal Bihalal

Jumat, 24 Juli 2015 - 22:34 WIB
ILUSTRASI

Halal Bihalal merupakan salah satu tradisi khas masyarakat muslim pasca merayakan Idul Fitri. Sebuah kebiasaan yang lahir sebagai wadah saling menghalalkan segala kesalahan dan kekhilafan. Tradisi saling memaafkan satu sama lain.
Setiap orang sadar, bahwa tak ada yang luput dari kesalahan. Dengan Halal Bihalal menjadikan umat Islam melebur kesalahan dan kekhilafannya tanpa ada lagi sekat yang membatasi. Halal Bihalal sendiri merupakan tradisi domestik Indonesia yang tidak ditemukan di belahan bumi lain. Bahkan istilah ini tidak dikenal di negeri Arab, meski istilah ini berasal dari bahasa Arab. Istilah Halal Bihalal sendiri cukup unik. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Halal Bihalal berarti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, sehingga mengandung unsur silaturahmi.
Dalam bahasa Arab, Halal Bihalal berasal dari kata “Halla atau Halala” yang mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain: penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Karena itu, melalui pendekatan kedua bahasa di atas, maka arti Halal Bihalal adalah suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah Lebaran melalui silaturahim, sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari iri dengki menjadi empati, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas dari dosa.
Aktivitas ini sejatinya adalah penyempurnaan fitri yang diraih. Sebab, relasi baik makhluk dengan sang khaliq (vertikal) tidak serta merta menghapus dosa antara makhluk dengan makhluk (horizontal), kecuali dengan menjalin hubungan baik antar sesama makhluk itu sendiri. Untuk itu, menata hubungan baik dengan manusia lain menjadi titik sentral dan penting. Silang sengketa yang terjadi harus diurai kembali menjadi lurus, agar langkah menjadi tegap dan mantap dalam meniti dan menjalani kehidupan.
Halal Bihalal menyadarkan manusia akan hakikat dirinya, bahwa tidak ada diri yang sempurna. Silap dan salah menjadi menjadi bagian inheren dari manusia itu sendiri. Membungkus salah tanpa membuka dengan kata maaf, hanya akan membuat manusia akan terhina dan terjerembab dalam kehidupan hampa. Sebab manusia tidak bisa hidup sendiri. Mengutip ungkapan Aristoteles manusia adalah zoon politicon, makhluk yang  secara kodratnya memerlukan interaksi dengan manusia lain. Alangkah sulitnya kehidupan, bila kita tidak membangun relasi yang baik dengan orang lain. Relasi baik itu dibangun di atas jalinan saling memaafkan segala kesalahan.
Dalam perspektif  spritual, Halal Bihalal merupakan bagian dari perintah agama. Kita dianjurkan untuk saling bermaafan sebagai manifestasi dari Ramadan. Dalam Alquran Surah Ali Imran: 134-135, diperintahkan bagi seorang muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain. Sebab dengan meminta maaf dan memaafkan kesalahan orang lain berarti kembali menjadi manusia fitri. Tidak ada lagi kusut yang tak bisa diselesaikan, yang keruh menjadi jernih dan silang sengketa itu telah menjadi perekat ukhuwah. Semua itu bisa diraih hanya dengan “kedewasaan rohaniah”.
Sebab, musuh terbesar manusia itu adalah dirinya sendiri. Maka pantas Nabi Muhammad mengatakan ketika usai perang Badar mengatakan, ”kita baru saja pulang dari perperangan kecil dan akan menghadapi perperangan besar”. Perang melawan egoisme pribadi atau hawa nafsu dan sejatinya itulah makna Halal Bihalal. Orang tidak akan menjadi pribadi yang takwa, ketika tak mampu membuka jiwanya dengan saling maaf. Dan sifat inilah yang menghiasi para anbiya dan orang-orang yang bertakwa. Sebuah sifat yang terlahir dari meneladani sifat Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Sebagai sebuah tradisi, Halal Bihalal adalah media yang efektif untuk bangsa Indonesia dalam merajut dan mengurai kembali benang yang kusut. Baik pada level grass root maupun  elit politik. Terlebih lagi akibat persoalan politik yang melahirkan gesekan-gesekan, silang sengketa, fitnah yang berujung perselisihan dan saling bantah. Semoga tradisi Halal Bihalal bisa menjadikan bangsa Indonesia, bangsa yang saling memaafkan dan memiliki toleransi yang tinggi. Sehingga ke depan menjadi bangsa yang tidak disekat oleh dendam kesumat. Dan terlahir menjadi bangsa yang saling “menghalalkan” segala salah dan khilaf. Wallahu’alam. ***
Alumni Universitas Kebangsaan Malaysia dan Mahasiswa Program Doktor UIN Suska Riau

Editor:

Terkini

Terpopuler