Tegang! China 'Senggol' Kedaulatan Indonesia dengan Minta Pengeboran Minyak di Natuna Utara Berhenti

Tegang! China 'Senggol' Kedaulatan Indonesia dengan Minta Pengeboran Minyak di Natuna Utara Berhenti

RIAUMANDIRI.CO - China kembali mengusik kedaulatan Indonesia dengan meminta menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim di Laut Natuna Utara.

Perairan laut itu juga diklaim oleh China sebagai wilayahnya lautnya di Laut China Selatan dianggap dengan Sembilan Garis Putus-putus atau Nine Dash Line.

Permintaan ini belum pernah terjadi sebelumnya hingga mengakibatkan meningkatkan ketegangan atas sumber daya alam antara kedua negara di wilayah strategis dan ekonomi global yang saat ini sedang bergejolak.


Satu surat dari diplomat China kepada kementerian luar negeri Indonesia dengan jelas mengatakan kepada Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak lepas pantainya di Laut China Selatan.

Muhammad Farhan, seorang anggota DPR RI dimintai arahan terkait dengan surat dari diplomat itu dengan tegas menolak aktivitas pengeboran minyak lepas pantai.

"Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan seperti yang dilansir dari Reuters, Kamis (2/11/2021).

Seorang juru bicara kementerian luar negeri Indonesia mengatakan bahwa informasi komunikasi diplomatik bersifat rahasia dan tidak bisa disebarluaskan.

"Setiap komunikasi diplomatik antar negara bersifat pribadi dan isinya tidak dapat disebarkan," katanya dan menolak berkomentar lebih lanjut.
Kedutaan China di ibu kota Indonesia Jakarta tidak menanggapi komentar surat diplomatik itu.

Sementara itu tiga orang lainnya, yang mengaku telah diberi pengarahan tentang masalah tersebut dan membenarkan adanya surat tersebut. Dua dari orang-orang itu mengatakan China berulang kali menuntut agar Indonesia menghentikan pengeboran.

Negara terbesar di Asia Tenggara itu mengatakan ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan menamakan wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.

China keberatan dengan perubahan nama tersebut dan bersikeras bahwa perairan berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan yang ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U, sebuah batas yang ditemukan tidak memiliki dasar hukum oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada tahun 2016.

"(Surat itu) sedikit mengancam karena itu adalah upaya pertama diplomat China untuk mendorong agenda sembilan garis putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut," kata Farhan kepada Reuters.

China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi terbesar kedua, menjadikannya bagian penting dari ambisi Indonesia untuk menjadi ekonomi papan atas.

Para pemimpin Indonesia tetap diam tentang masalah ini untuk menghindari konflik atau pertengkaran diplomatik dengan China, kata Farhan dan dua orang lainnya yang berbicara kepada Reuters.

Farhan mengatakan bahwa China, dalam surat terpisah, juga memprotes latihan militer Perisai Garuda yang sebagian besar berbasis darat pada Agustus, yang berlangsung selama ketegangan kedua negara.

Latihan tersebut, yang melibatkan 4.500 tentara dari Amerika Serikat dan Indonesia, telah menjadi kegiatan rutin sejak 2009.

Ini merupakan protes pertama China terhadap Indonesia.

"Dalam surat resmi mereka, pemerintah China mengungkapkan keprihatinan mereka tentang stabilitas keamanan di daerah itu," kata Farhan.
Dalam beberapa hari setelah rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur minyak potensial pada 30 Juni.

Saat itu sebuah kapal Penjaga Pantai China langsung bereaksi berada di lokasi, menurut data pergerakan kapal. Langkah itu ditanggapi oleh kapal TNI AL yang menjaga lepas pantai Indonesia.

Kementerian luar negeri China mengatakan keberadaan kapal Penjaga Pantai China cuma melakukan kegiatan patroli normal di perairan di bawah yurisdiksi China.

Mereka tidak menanggapi pertanyaan tentang komunikasi dengan Indonesia selama pengeboran.

Sementara itu Kementerian pertahanan China menolak untuk berkomentar.

Menurut analisis data identifikasi kapal dan citra satelit oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) selama empat bulan ke depan, kapal China dan Indonesia saling membayangi di sekitar ladang minyak dan gas, sering kali datang dalam jarak 1 mil laut satu sama lain.

Data dan gambar yang ditinjau oleh AMTI dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sebuah wadah pemikir independen yang berbasis di Jakarta, menunjukkan sebuah kapal penelitian China, Haiyang Dizhi 10, tiba di daerah tersebut pada akhir Agustus, menghabiskan sebagian besar dari tujuh minggu berikutnya.

Kapal itu bergerak lambat dalam pola grid Blok D-Alpha yang berdekatan.

Menurut studi pemerintah Indonesia diperkirakan cadangan minyak dan gas di perairan blok Natuna yang diperebutkan itu bernilai $500 miliar.

"Berdasarkan pola pergerakan, sifat, dan kepemilikan kapal, sepertinya sedang melakukan survei ilmiah terhadap cadangan D-Alpha," kata Jeremia Humolong, peneliti di IOJI.



Tags Ekonomi