Jelang Hari Tani, LBH Beberkan Data Kriminalisasi Petani

Jelang Hari Tani, LBH Beberkan Data Kriminalisasi Petani

RIAUMANDIRI.CO – Sejumlah jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di berbagai daerah menyoroti kasus-kasus dugaan kriminalisasi petani jelang Hari Tani Nasional pada 24 Desember mendatang.

Salah satunya LBH Semarang yang mengungkap kriminalisasi warga petani di Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dugaan kriminalisasi itu terjadi bermula dari rencana pembangunan pabrik semen di Rembang pada 2009 silam.

Nico Wauran dari LBH Semarang mengatakan dalam proses pembangunan pabrik tersebut perusahaan semen harus mencari lahan pengganti untuk dijadikan tanah hutan atau kawasan hutan. Alhasil, lahan di Surokonto Wetan yang diolah warga sejak dekade 1970an karena terlantar pun dibeli dari sebuah PT.


Nico mengatakan, dalam proses penjualan tersebut sama sekali tak melibatkan warga yang telah mengelola lahan terlantar itu sebelumnya.

"Proses kriminalisasi dari 2016 sudah mulai berjalan, di mana tahun 2016 warga ditetapkan jadi tersangka, disidangkan di PN Kendal, sampai PN Kendal beri putusan di mana ada tiga warga dipidana dengan pidana penjara 8 tahun dan denda Rp10 miliar," ujarnya dalam rangkaian diskusi daring yang digelar YLBHI, Selasa (21/9).

Tiga orang petani yang dikriminalisasi yakni Nur Azis, Sutrisno, dan Mujiono. LBH Semarang kemudian mendampingi warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun belum berhasil membebaskan mereka. Hingga akhirnya pada 2019, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada ketiganya.

"Dari proses ini, kita melihat bahwa penetapan kawasan hutan secara sepihak ternyata berdampak pada petani yang telah mengelola lahan tersebut dengan jagung, ketela untuk mencukupi kebutuhan mereka," ujarnya.

Kasus serupa juga pernah terjadi di Riau. Noval Setiawan dari LBH Pekanbaru mengungkapkan, salah satu kasus kriminalisasi terjadi kepada Pak Bongku bin Jelodan, warga suku Sakai di Dusun Suluk Bongkal, Kabupaten Bengkalis.

Ia sempat dipenjara karena menanam ubi di lahan perusahaan. Menurut Noval, Bongku didakwa dengan 3 pasal Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)

"Dalam persidangan kita juga menghadirkan beberapa ahli untuk menangkis semua dakwaan jaksa. Kita hadirkan ahli dari lembaga adat melayu Riau, kemudian kita hadirkan juga ahli dari dosen pidana," ujar Noval.

"Kita temukan bahwa memang dalam tatanan adat melayu, kebatinan masyarakat Sakai sudah turun temurun melakukan perladangan dan hidup memang di hutan," paparnya.

Noval menerangkan Bongku sebelumnya dipolisikan karena menanam bumi di lahan perusahaan. Padahal, sambungnya, lahan itu sudah sejak lama dihuni masyarakat Sakai dan mengambil lahan adat.

Menurut Noval, bukan hanya kriminalisasi terhadap warga. Ia mengatakan pihak-pihak yang mendukung Bongku juga sempat ditangkap polisi.

"Ada sekitar empat mahasiswa yang kemudian ditangkap saat melakukan aksi dengan alasan melanggar prokes saat itu di Bengkalis. Lalu banyak ancaman kekerasan, bahkan ancaman pembunuhan terhadap mahasiswa," ujarnya.