Pemerintah Terus Percepat Pengakuan Hutan Adat

Pemerintah Terus Percepat Pengakuan Hutan Adat

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA -  Pengenaan baju adat sudah sering dilakukan Presiden Jokowi dalam momen-momen penting kenegaraan. Seperti pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI, di Gedung Nusantara, Komplek MPR/DPR/DPD RI,  Senin (16/8/201), Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Suku Baduy.

Hal tersebut merefeksikan dan aktualisasi kekayaan adat istiadat yang beraneka ragam. Salah satu alasannya adalah untuk menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, ras dan agama. Namun, tetap satu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kerangka Bhinneka Tunggal Ika.

"Presiden Jokowi menaruh perhatian yang sangat besar terhadap semua suku bangsa yang ada di Indonesia dan tidak memiliki keraguan sedikit pun untuk mengakui keberadaanya," sebut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, di Jakarta, Senin (16/8/2021).

Begitu juga terhadap pengakuan hukum adat. Hal tersebut dibuktikan dengan penyerahan 8 SK Penetapan Hutan Adat pada 30 Desember 2016, dan 35 SK selanjutnya pada 7 Januari 2021 oleh Presiden.

"Ini mempertegas ketidakraguan pemerintah untuk terus melakukan percepatan pengakuan terhadap kawasan hutan adat di seluruh Indonesia. Sebagai negara yang majemuk dengan beragam suku bangsa dan budaya, pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kawasan hutan adatnya, menjadi salah satu bukti kehadiran pemerintah untuk melindungi hak masyarakat tradisional sekaligus mensejahterakannya dalam bingkai sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia," jelas Siti.

Komitmen pemerintah dalam melindungi MHA dan kearifan lokalnya semakin nyata dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21/Menlhk/Setjen/ Kum.1/4/2019 tanggal 29 April 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak yang menjadi aturan teknis turunan dari peraturan perundangan di atasnya yang telah ada sebelumnya.

Di dalam aturan tersebut komitmen pemerintah diperjelas,, salah satunya dengan menetapkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat yang ditanda tangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas ± 1.090.755 Ha.

Data dan potensi hutan adat yang masuk dalam Peta hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat tersebut sebagiannya menunggu pengesahan keputusan tentang  perlindungan dan pengakuan masyarakat adat yang berhak atas kawasan adat dimaksud dari pemerintah daerah.

Keberadaan pemerintah daerah penting karena pengakuan dari pemerintah daerah melalui peraturan daerah atas MHA dan wilayahnya menjadi syarat kukuhnya keberadaan MHA di suatu provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan yang diatur dalam UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Khusus untuk Hutan Adat yang merupakan bagian dari Perhutanan Sosial, sampai dengan Bulan Juli 2021 telah ditetapkan sebanyak 59.442 Ha dengan jumlah SK sebanyak 80 unit yang mencakup 42.038 Kepala Keluarga. Selain itu wilayah indikatif  hutan merupakan areal  yang sudah jelas indikasi masyarakat adatnya dan sudah jelas arealnya yang tidak memungkinkan lagi untuk peruntukan lain, maka relatif  aman. 

“KLHK sedang terus upayakan fasilitasi bagi masyarakat adat dalam urusan hal-hal tersebut di Pemerintah Daerah sesuai UUCK. KLHK juga meminta bantuan aktivis adat untuk bersama menyelesaikan permasalahan tersebut, kita sedang kerja keras, termasuk masyarakat adat Danau Toba,” ujar Menteri LHK.

Menteri Siti menambahkan bahwa perlu adanya sinergisitas antar Kementerian dan Lembaga karena persoalan MHA ini tidak bisa dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, karena ada subyek (manusia), budaya maupun kawasan bukan hutan yang berada di kewenangan yang berbeda. Selain itu perlunya pemahaman Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai garda terdepan dalam upaya Perlindungan MHA dan kearifan lokalnya melalui upaya-upaya identifikasi, dan verifikasi MHA yang ada di wilayahnya.

“Akses kelola hutan adat ini akan memberikan beberapa manfaat kepada masyarakat adat, yaitu penguatan pengelolaan hutan adat berdasarkan kearifan lokal yang telah teruji selama puluhan tahun,” imbuhnya.

Ia pun menekankan salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penetapan hutan adat adalah pemahaman bahwa penetapan hutan adat tidak berarti mengubah fungsi hutan, sebagaimana tercantum dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, namun penetapan hutan adat merupakan penetapan status hutan yang tidak serta merta dapat merubah fungsi hutan. Artinya penetapan hutan adat harus mengarah untuk pengelolaan yang berkearifan lokal untuk mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan.

“Praktik-praktik hutan adat yang menjaga alam ikut mengatasi emisi gas rumah kaca, emisi global, dan mata air, serta aktualisasi partikularistik wilayah dan masyarakat adat sebagai wujud kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujar Menteri.

Realisasi Perhutanan Sosial
Selanjutnya, terkait perkembangan realisasi Perhutanan Sosial tercatat hingga Bulan Juli 2021 telah ada 4.720.474,89 hektar ijin perhutanan sosial yang diberikan dengan penerima manfaat sebanyak total 1.029.223 kepala keluarga, melalui sebanyak 7.212 unit SK.

Jika Program Perhutanan Sosial adalah program reforma agraria untuk keadilan akses masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang ditunjang dengan program pemerataan ekonomi agar memberikan manfaat ekonomi dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pemerintah berkomitmen meningkatkan alokasi lahan kawasan hutan dari 400 ribu ha menjadi 12,7 juta ha atau sepertiga (30%) dari total kawasan hutan Indonesia untuk dikelola oleh masyarakat setempat.

Perhutanan Sosial sendiri saat ini sudah secara formal termaktub dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) artinya dalam pengelolaan hutan masyarakat harus dilibatkan secara aktif, tidak boleh ada lagi petani kecil asal ditangkap, justru mereka harus dirangkul dan diberi akses mengelola kawasan dalam bentuk Perhutanan Sosial. Kebijakan baru ini mengkoreksi kebijakan di masa lalu yang akibat-akibatnya sekarang kita rasakan dan sedang dibenahi satu persatu. Tantangannya tidak mudah, tapi pemerintah terus berupaya berpihak kepada rakyat.

Perhutanan Sosial juga menjadi salah satu bentuk pengembangan ekonomi hijau seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2021 dan pidato kenegaraan pada Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI hari ini. Dengan Perhutanan Sosial, era sektor kehutanan yang pada era yang lampau didominasi ekploitasi komoditas kayu mulai digeser dengan model ekonomi baru yang lebih menghargai hutan secara tepat.

Perhutanan sosial menjadi salah satu jalan mewujudkan ekonomi hijau melalui pengelolaan sektor kehutanan yang mampu menjadi satu pilar mewujudkan berbagai target pembangunan nasional maupun global yang berkelanjutan, mulai dari Sustainable Development Goal’s (SDG’s), pembangunan rendah emisi (Low Emission Development), pemenuhan NDC (Nationally Determined Contribution), kemandirian energi yang bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT), kedaulatan pangan, dan program strategis nasional lainnya.(*)



Tags Adat