Fakta Firli Bahuri, Ditolak 500 Pegawai hingga Tersangkut Kasus Gratifikasi

Fakta Firli Bahuri, Ditolak 500 Pegawai hingga Tersangkut Kasus Gratifikasi

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Ketua KPK Firli Bahuri kembali menjadi sorotan terkait penonaktifan penyidik senior KPK Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK. Penonaktifan Novel dan pegawai lainnya termaktub dalam Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021, yang diteken Ketua KPK Firli Bahuri tertanggal 7 Mei 2021.

Berikut 4 fakta soal Firli Bahuri:

1. Ditolak 500 pegawai KPK


Sebanyak 500 pegawai KPK menandatangani penolakan terhadap Irjen Firli untuk menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023.

Hal tersebut diungkapkan oleh pegiat antikorupsi Saor Siagian.

Menurut Saor, penolakan kepada Irjen Firli seharusnya menjadi pengingat kepada Panitia Seleksi Capim KPK dalam menjaring sepuluh nama capim KPK yang nantinya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.

"Saya bayangkan saya bisa suarakan ini bukan hanya 200 tetapi 500, barangkali ini pesan kepada Pansel apakah dia akan memilih orang yang akan ditolak, ya terserah, tetapi itulah peran-peran yang bisa kita lakukan sebagai publik," kata Saor, Rabu (28/8/2019) dikutip dari Kompas.com.

Penolakan itu, menurut Saor, berasal dari penyidik dan pegawai lainnya yang merasa gelisah karena Firli pernah melanggar kode etik ketika menjabat Direktur Penindakan KPK dan tidak mengakuinya.

"(Gelisah karena) dia sudah berbohong. Dia bilang dia tidak pernah melanggar kode etik, ternyata tidak pernah komisioner bilang seperti itu. Berarti dia sudah bohong," ujar Saor.

Saor mengaku mendapat informasi penolakan kepada Irjen Firli dari Penasihat KPK M Tsani Annafari.

Menurut Tsani, penolakan tersebut menunjukkan bahwa para pegawai KPK tidak mau dipimpin oleh seorang yang bermasalah.

"Bayangkan saja kalau orang yang belum masuk saja sudah ada mosi 500 pegawai yang tidak percaya, kemudian masuk, kalau itu jadi 1.500 gimana? Mau rekrutmen semua pegawai?" kata Tsani.

2. Miliki harta lebih dari Rp18 miliar

Diberitakan Kompas.com, (6/8/2019), Berdasarkan laporan harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Firli tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp18.226.424.386 dengan tanggal pelaporan 29 Maret 2019.

Selain itu, Firli tercatat terakhir kali mengurus laporan harta kekayaannya pada saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

Pada dokumen tersebut, diketahui Firli memiliki 8 bidang tanah dan bangunan dengan ukuran yang beragam di wilayah Bandar Lampung dan Bekasi.

Satu di antaranya adalah warisan tanah seluas 250 meter per segi dan bangunan seluas 87 meter per segi di Bekasi dengan nilai Rp 2,4 miliar.

Adapun total nilai aset tanah dan bangunan milik Firli mencapai Rp 10.443.500.000.

Tak hanya tanah, Firli tercatat juga memiliki 5 kendaraan. Yakni, motor Honda Vario tahun 2007 dengan nilai Rp 2,5 juta, Yamaha N-Max tahun 2016 dengan nilai Rp 20 juta, mobil Toyota Corolla Altis tahun 2008 dengan nilai Rp 70 juta.

Kemudian, Toyota LC Rado tahun 2010 dengan nilai Rp 400 juta dan Kia Sportage 2.0 GAT tahun 2013 senilai Rp 140 juta. Selanjutnya, Firli tercatat memiliki kas dan setara kas senilai Rp 7.150.424.386.

3. Laporan masyarakat soal gratifikasi Firli

Dari pemberitaan Kompas.com (27/8/2019), terdapat laporan dari masyarakat soal gratifikasi yang pernah diterima Firli.

Anggapan tersebut muncul saat Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan kepada Firli.

Gratifikasi tersebut berupa pembayaran penginapan hotel.

"Soal gratifikasi, Bapak bisa jelaskan bahwa pada waktu pindah dari Lombok ke Jakarta, menginap di hotel kurang lebih 2 bulan dan ada pihak tertentu yang membayar, ini hanya dari masukan. Saya hanya menyampaikan, bukan menuduh, bisa klarifikasi Pak?" kata Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih kepada Firli saat tes wawancara dan uji publik di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).

Firli membenarkan telah menginap di sebuah hotel bersama anak dan istrinya pada 24 April hingga 26 Juni. Tetapi, ia tidak menyebutkan tahunnya.

Ia juga membantah bahwa uang yang digunakan untuk membayar hotel berasal dari orang lain.

"Mohon maaf, saya tidak pernah dibayari orang. Ini adalah contoh kecil memberantas korupsi," kata mantan Deputi Penindakan KPK ini.

4. Dinilai menghambat dalam penanganan kasus

Diberitakan Kompas.com (13/9/2019), saat Firli menjabat Deputi Penindakan KPK, pegawai KPK mengeluarkan petisi berjudul "Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus".

Walaupun ditujukan kepada Pimpinan KPK, petisi tersebut berisi jajaran Kedeputian Penindakan KPK saat itu mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke tingkat pejabat yang lebih tinggi, kejahatan korporasi, maupun ke tingkatan tindak pidana pencucian uang.

Dalam petisi tersebut mengungkap 5 poin, di antaranya adalah terhambatnya penanganan perkara pada ekspose tingkat kedeputian; tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan tertutup; dan tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan khusus terhadap saksi.

Tak hanya itu, tidak disetujui penggeledahan pada lokasi tertentu dan pencekalan; dan adanya pembiaran atas dugaan pelanggaran berat di dalam kedeputian penindakan.



Tags KPK