Lagi-lagi Jokowi Lakukan Blunder

Lagi-lagi Jokowi Lakukan Blunder

Oleh M. Jamiluddin Ritonga*

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali melakukan blunder. Kali ini Jokowi melalui video mempromosikan makanan Indonesia, yang salah satunya bipang ambawang (panggang babi) dari Kalimantan.

Sebelumnya, Jokowi juga melakukan blunder dalam kasus Perpres Miras dan pernyataannya mengenai benci produk asing.

Hal semacam itu seharusnya tidak boleh terjadi bila ring satu Presiden, termasuk tim komunikasinya, sangat selektif dan korektif terhadap semua hal yang keluar dari istana.

Mereka harus mempertimbangkan secara komprehensif dan integratif dari setiap kebijakan yang diambil Presiden Jokowi.

Hal yang sama juga berlaku pada pidato dan pernyataan presiden yang ditujukan untuk konsumsi publik. Semuanya harus diseleksi, sehingga yang keluar dari presiden sangat terukur dan dampaknya sudah dapat diperhitungkan sebelumnya.

Kasus promosi bipang ambawang misalnya, sangat tidak sesuai disampaikan di bulan Ramadan. Komunikasi seperti ini sangat mengabaikan empati terhadap umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Karena itu, wajar kalau akhirnya munculnya reaksi keras dari masyarakat. Mereka menilai pesan promosi seperti itu tidak toleran terhadap umat Islam.

Memang ada upaya pelurusan atas apa yang disampaikan Jokowi, namun tetap saja tidak menolong. Justeru hal itu dinilai masyarakat hanya sebuah pembenaran.

Kalau pembenaran semacam itu terus dilakukan, dikhawatirkan akan memunculkan masyarakat lebih luas. Disini perlu kebesaran jiwa Presiden Jokowi mengakui kesalahan dengan meminta maaf kepada umat Islam.

Jadi, kalau presiden melakukan blunder dalam kebijakan dan pernyataan, maka dapat diduga orang-orang di ring satu dan tim komunikasi presiden bekerja tidak maksimal atau tidak menutup kemungkinan mereka memiliki agenda sendiri di luar agenda presiden.

Dalam komunikasi politik, blunder seperti itu tentu dapat menimbulkan ketidakpastian di masyarakat. Dalam setiap ketidakpastian akan memunculkan kebingungan di tengah masyarakat.

Dalam situasi demikian akan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada presiden. Padahal kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai prasyarat dipatuhinya suatu kebijakan dan diikutinya pernyataan pimpinan.

Kalau masyarakat sudah tidak percaya, dikhawatirkan kepatuhan masyarakat pada presiden akan turun drastis. Hal ini tentu sangat berbahaya manakala rakyat sudah tidak lagi mengikuti kebijakan dan pernyataan presidennya.

Untuk itu, presiden harus mengevaluasi orang-orang di ring satu dan tim komunikasinya, agar blunder seperti itu tidak terulang kembali. (*Penulis adalah pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul).