Lanjutan Sidang Yan Prana, JPU Hadirkan 5 Saksi...

Lanjutan Sidang Yan Prana, JPU Hadirkan 5 Saksi...

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Lanjutan sidang dugaan korupsi anggaran rutin di Badan Pendapatan dan Belanja Daerah (Bappeda) Kabupaten Siak tahun 2013-2017 dengan terdakwa Sekretaris Daerah Provinsi Riau nonaktif, Yan Prana Jaya Indra Rasyid berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (12/4). Agenda sidang mendengarkan keterangan saksi-saksi. 

Ada 5 orang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina itu. Seluruh saksi juga dihadirkan ke ruang sidang.

Saksi-saksi tersebut diketahui pernah bertugas di Bappeda Siak kala Yan Prana memimpin instansi tersebut. Dalam keterangannya, saksi menyebut adanya pemotongan 10 persen dari anggaran rutin, baik itu perjalanan dinas, alat tulis kantor, maupun makan/minum, di Bappeda Siak.


Seperti yang disampaikan saksi Anton Fitriadi. Dikatakan dia, saat Yan Prana menjabat sebagai Kepala Bappeda Siak, ada pemotongan 10 persen dari setiap anggaran perjalanan dinas. Saat itu, Yan Prana juga bertindak selaku Pengguna Anggaran.

"Siapa yang memegang potongan itu?" tanya JPU. Atas pertanyaan itu, Anton mengaku tidak tahu.

"Kami hanya terima dari bendahara sudah dipotong. Semua perjalanan dinas dipotong 10 persen. Bendahara saat itu Donna Fitria," jawab Anton.

Disampaikan Anton, pemotongan anggaran 10 persen mulai dilakukan sejak 2014. Diyakini, pemotongan anggaran itu merupakan hasil kesepakatan bersama.

"Pemotongan itu hasil dari kesepakatan. Disampaikan pada saat rapat. Tapi tidak ada melakukan tandatangan perjanjian atas pemotongan 10 persen itu," jelas Anton

Menurut Yan Prana, kata saksi, pemotongan itu digunakan untuk operasional kantor di Bappeda Siak. Namun, Anton tidak bisa menyebut secara rinci, operasional apa saja uang hasil pemotongan itu.

"Operasional yang mana, saya tidak tahu," tutur dia.

Anton menerangkan, Yan Prana menjabat sebagai Kepala Bappeda Siak sejak 2012 hingga 2017. Setelah terdakwa tidak lagi menjabat, pemotongan 10 persen itu sudah tidak ada lagi.

Atas keterangan saksi yang menyebutkan pemotongan anggaran disampaikan dalam rapat, Yan Prana membantah. Dia mengaku hanya mengusulkan soal dana operasional.

"Dalam rapat tahun 2014, tidak ada langsung mengatakan pemotongan, tetapi usulan. Saya tanya bagaimana dengan operasional? Akhirnya disepakati pemotongan 10 persen," tegas Yan Prana saat diberi kesempatan menanggapi keterangan saksi tersebut.

Saksi lainnya adalah Doni Asliyndo. Dia pernah menjabat selaku Kasubbid Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup pada Bappeda Siak. Jabatan itu diembannya sejak 2012 akhir hingga 2015. 

Dalam kesaksiannya, Doni juga menyatakan adanya pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 10 persen. Namun dia mengaku tidak mengetahui siapa yang memerintahkan adanya pemotongan itu.

"Setelah saya terima uang, bendahara bilang ada pemotongan 10 persen," kata Doni.

Dengan adanya pemotongan itu, tentu saja yang diterimanya berbeda dengan bukti penerimaan yang ditandatanganinya. Hal itu sebagaimana pertanyaan Hakim Ketua Lilin Herlina.

"Setiap ada perjalanan dinas, setiap yang diteken, yang diterima sama atau tidak? tanya Hakim Ketua.

"Tidak, yang mulia," jawab dia. Kendati dipotong, Doni mengaku tidak merasa dirugikan.

Dalam kesempatan itu, dia juga mengaku tidak mengetahui kegunaan uang yang dipotong tersebut. Dia pun tidak ada menanyakan, untuk apa uang hasil pemotongan itu.

Selain dua nama di atas, tiga saksi lainnya adalah Azmarman Yohanto, Nursyamsiah, dan Muhammad Rafi.

Dalam dakwaannya, JPU menyebutkan dugaan korupsi itu sekitar Januari 2013-2017. Saat itu, Yan Prana menjabat selaku Kepala Bappeda Siak.

Dugaan rasuah itu dilakukannya bersama-sama Donna Fitria (perkaranya diajukan dalam berkas perkara terpisah), bersama-sama pula dengan Ade Kusendang dan Erita. Perbuatan dilakukan berlanjut secara melawan hukum.

Ada tiga anggaran kegiatan yang diduga dikelola secara melawan hukum oleh terdakwa. Yaitu, anggaran perjalanan dinas, anggaran pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan pengelolaan anggaran makan minum.

Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperkaya terdakwa sebesar Rp2.896.349.844,37 sebagai mana laporan hasil audit Inspektorat Kota Pekanbaru.

Jaksa kemudian menguraikan perbuatan terdakwa dalam pemotongan perjalanan dinas tahun anggaran 2013-2016. Disebutkan JPU, terdakwa melakukan pemotongan sebesar 10 persen.

Adapun rincian realisasinya, anggaran 2013 sebesar Rp2.757.426.500, anggaran 2014 sebesar Rp4.860.007.800, dan anggaran 2015 sebesar Rp3.518.677.750. Lalu, anggaran 2016 sebesar Rp1.958.718.000, dan anggaran 2017 sebesar Rp 2.473.280.300.

"Berdasarkan DPPA SKPD Nomor 1.06.1.06.01 tahun 2013-2017 itu, total realisasi anggaran perjalanan dinas yakni sebesar Rp15.658.110.350.

Pada bulan Januari 2013, saat terjadi pergantian Bendahara Pengeluaran dari Rio Arta kepada Donna Fitria, terdakwa mengarahkan untuk melakukan pemotongan biaya sebesar 10 persen dari setiap pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas.

Donna Fitria sebagai Bendahara Pengeluaran, kemudian melakukan pemotongan anggaran perjalanan dinas Bappeda Siak TA 2013 sampai dengan Maret 2015 pada saat pencairan anggaran SPPD setiap pelaksanaan kegiatan.

Besaran pemotongan berdasarkan total penerimaan yang terdapat didalam Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) perjalanan dinas, dipotong sebesar 10 persen.

Uang yang diterima masing-masing pelaksana kegiatan, tidak sesuai dengan tanda terima biaya perjalanan dinas," kata JPU lagi.

Pelaksana kegiatan sebagaimana yang tercantum pada Surat Perintah Tugas (SPT), terkait pelaksanaan perjalanan dinas Bappeda Siak pada tahun 2013, sebelumnya sudah mengetahui bahwa terdapat pemotongan anggaran perjalanan dinas atas arahan terdakwa Yan Prana

Alhasil, pemotongan anggaran perjalanan dinas itu dilakukan setiap pencairan. Uang dikumpulkan dan disimpan Donna Fitria selaku Bendahara Pengeluaran di brankas bendahara, Kantor Bappeda Siak.

Donna Fitria mencatat dan menyerahkan kepada terdakwa secara bertahap sesuai dengan permintaannya.

Jabatan Donna selaku Bendahara Pengeluaran kemudian digantikan oleh 
Ade Kusendang. Kepada Ade, Yan Prana tetap memberikan arahan agar pemotongan sebesar 10 persen terhadap perjalanan dinas. Atas arahan itu, Ade Kusendang mengatakan kepada terdakwa, 'Takut menimbulkan fitnah, karena ada desas-desus yang kurang enak atas pemotongan 10 persen'.

Namun terdakwa berupaya meyakinkan Ade Kusendang. Sampai akhirnya dia menerima dan menjalankan apa yang diinginkan terdakwa.***