Ulama dan Negara

Ulama dan Negara

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA

RIAUMANDIRI.ID - Berbicara tentang ulama, adalah berbicara tentang salah satu bagian terpenting dari dunia dan isinya. Karena, secara substansial, manusia tidak akan punya pengetahuan tentang dunia dan segala isinya secara mendasar, bahkan termasuk tentang dirinya sendiri, bila ia tidak diberitahu oleh yang mencipta dunia itu sendiri, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. 

Pengetahuan yang disebut wahyu itu tidak akan sampai kepada manusia bila Allah tidak mengutus nabi atau rasul sebagai penyampai pesan-pesanNya. Nabi atau rasul pulalah yang diberi otoritas oleh Allah untuk menerjemahkan pesan-pesan tersebut melalui ucapan, tindakan, atau sikapnya yang diperlihatkan kepada manusia. Pengetahuan tersebut ada yang hanya berupa  pengetahuan sebagai ilmu, dan ada pula sebagai aturan yang mesti dipatuhi sebagai pedoman dalam segala aspek dan gerak gerik kehidupan di dunia. 


Paling tidak ada  empat  tugas utama  nabi diutus ke dunia: sebagai saksi; pembawa kabar gembira; pemberi peringatan;  sebagai pelita yang menerangi manusia kepada agama Allah. (QS.33:45-47). 

Tugas-tugas itulah yang diperankan oleh Nabi selama masa kerasulannya sampai meninggal dunia, saat dimana beliau telah selesai melaksanakan misi kerasulannya,  dipanggil kembali kepada Allah. Setelah itu, ulamalah yang ditunjuk oleh nabi untuk melanjutkan tugas-tugas tersebut sebagai pewaris. Nabi sendiri yang memberi amanah itu dalam sabdanya, “ulama adalah pewaris para nabi.” 

Atas dasar itulah kita menyebut bahwa membicarakan ulama adalah membicarakan hal yang sangat substansial  bagi kehidupan manusia di dunia. Tanpa ulama, Risalah Allah akan terhenti hanya sampai nabi atau utusannya meninggal, sementara kehidupan terus berjalan tanpa henti sampai kiamat. Tanpa ulama, kehidupan akan berjalan sepenuhnya atas dasar kemauan dan fikiran bebas manusia, termasuk dalam memahami wahyu yang dibawa oleh Rasul, sebagai fikiran yang pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan individualistis atau primordialistis, dan sangat rawan dengan konflik yang akan membuat manusia jatuh kepada penderitaan.

Ulama dan Negara

Sudah menjadi ketentuan Allah bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka memerlukan kehidupan  bersama dalam kelompok, kecil atau besar. Baik di kelompok kecil, seperti desa, apalagi di kelompok besar, seperti negara, manusia memerlukan aturan aturan atau norma-norma yang harus ditaati  secara bersama pula.  Aturan itu diperlukan, karena,  setiap manusia punya kepentingan, dan setiap yang punya kepentingan ingin mendapatkan apa yang diinginkan untuk dirinya masin-masing. Oleh sebab itu, dalam kehidupan bersama akan terjadi kompetisi antara satu individu dengan individu yang lain. 

Adalah hal yang alamiah, bila dalam berkompetisi, setiap orang ingin menang, dan setiap yang ingin menang akan melakukan apa aja untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Di saat itulah mereka memerlukan perlindungan untuk melindungi diri dan hak-haknya dari segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi ketika sedang dalam berkompetisi tersebut. Perlindungan itu diatur dalam aturan main yang disebut sebagai hukum, atau norma-norma yang diakui dan ditaati bersama dalam sebuah komunitas berupa masyarakat atau negara. 

Aturan atau norma tersebut tidak akan berjalan dan dapat ditegakkan secara efektif bila tidak ada yang ditunjuk sebagai pemimpin dalam melaksanakan aturan itu sendiri. Ketika itulah  diperlukan adanya seorang pemimpin yang akan menjadi komando dalam melaksanakan semua aturan itu. Pemimpin  di sebuah negara disebut sebagai kepala negara. Di tangan kepala negara itulah tergantung terlindungi atau tidak terlindunginya masing-masing orang yang ada di negaranya, dan di tangannya pulalah terletak baik atau buruknya negara yang bersangkutan.

Persoalan yang segera harus dijawab adalah, aturan atau hukum seperti apa yang dapat menjamin secara pasti terwujudnya keselamatan semua warga yang di suatu negara, selamat atau hancurnya  negara tersebut ?

Jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu hanya satu, yaitu hukum yang dibuat oleh Si pencipta manusia dan negara itu sendiri, yaitu Allah swt. Dialah Yang Maha Tahu tentang manusia, dan Dia juga Yang Mahu tentang dunia yang dihuni oleh mamnuisa. Karena Dia Yang Maha Tahu tentang itu, maka aturan yang dibuatnya pulalah yang lebih pasti dan lebih menjamin terpeliharanya seluruh kepentingan manusia atau ciptaanNya itu sendiri. Hal ini harus diyakini oleh semua manusia. Keraguan terhadapnya akan membuat terbukanya celah bagi masuh abadi manusia, iblis, masuk mengacaukan sistem aturanNya untuk menjadikan kehidupan manusia kacau dan rusak, lalu jatuh ke jurang kebinasaan.

Oleh karena aturan-aturan atau hukum Allah yang dituangkanNya dalam kitab suci yang diturunkan kepada Nabi sudah berhenti turunnya sejak Nabi meninggal dunia, maka ulamalah yang menjadi penyampai dan “penerjemah” pesan-pesan tersebut kepada manusia, termasuk kepada kepala negara sebagai pemimpjn yang akan melaksanakan pesan-pesan wahyu itu. 

Di sini, ulama menjadi bagian yang sangat penting untuk tegaknya hukum dan selamatnya suatu negara dari bencana. Atasa dasar itu, ulama di suatu negara, harus menyatu dengan negara dan menjadi komponen inti dari negara itu sendiri. Sebagai pelanjut estafet risalah kenabian, ulama tidak boleh dipisahkan dari negara bila kita menginginkan terwujudnya kebahagaiaan manusia dalam arti yang sebenarnya, baik di dunia dan juga di akhirat kelak.

Ulama dan Penguasa

Sama halnya dengan pembicaraan tentang  ulama dan negara seperti di atas, maka pembicaraan tentang ulama dan penguasa perlu dijadikan pembicaraan penting berikut. Karena, seperti disebutkan, sebuah negara tidak akan ada bila tidak ada pemimpin yang diberi kuasa untuk memimpin dan menegakkan hukum di negara itu. Bedanya, bila ulama dan negara harus menyatu, sehingga ia mampu merasakan setiap denyut nadi yang terjadi dan dirasakan oleh negara, maka ulama tidak boleh terlalu menyatu dengan penguasa dan kekuasaannya. Karena, penguasa atau kepala negara, adalah pemegang tampuk kekuasaan politik yang sangat sarat dengan kepentingan. 

Seorang yang sedang berada di tampuk kekuasaan, pada umumnya adalah orang yang sedang berada di lingkaran banyak kepentingan yang bergantung kepadanya, baik kepentingan dirinya sendiri, maupun kepentingan keluarga dan kelompoknya. Maka, sama halnya dengan manusia sebagai individu seperti dibicarakan di atas, semua orang yang punya kepentingan sangat rawan untuk melakukan perbuatan ada saja demi mencapai apa yang diinginkannya. Semua potensi yang ada di dekatnya akan digunakan untuk mendukung kepentingan itu, termasuk ulama, bila pihak yang disebut terakhir ini berada terlalu dekat dengannya. 

Maka untuk ini, ulama perlu menjaga jarak, agar keberadaannya tidak sampai membuat penguasa menjadikannya sebagai alat kekuasaannya sendiri. Oleh sebab itu, ulama yang sebenarnya akan menempatkan diri pada posisi yang tidak terlalu dekat dan tidak pula  terlalu jauh dengan penguasa. Posisi yang terlalu dekat membuat sang ulama rawan akan tarikan magnet kakuasaan yang begitu kuat, sehingga melemahkan kekuatannya untuk menyampaikan kebenaran secara jujur kepada penguasa. 

Disadari atau tidak, ulama dalam posisi ini akan terbawa derasnya arus kekuasaan, lalu masuk dan tengelam dalam pusaran kekuasaan itu sendiri. Ia lebur dengan penguasa dan menjadi alat buat kekuasaan sang penguasa. Jadi, bukan nasihat ulama lagi diperlukan, tetapi fatwanya untuk mendukung apa saja yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan. Saat itu, jadilah ulama tidak lagi sebagai penasihat tetapi menjadi pembela kekuasaan, walau bertentangan dengan keyakinan keilmuan yang dimilikinya. Ulama tidak lagi mempengaruhi, tetapi dipengaruhi oleh kekuasaan untuk mengikuti apa saja yang diingini penguasa. 

Ilmu dan dalil-dalil agama yang seharusnya disampaikan apa adanya kepada penguasa dan rakyat negara, direkayasa sedemikian rupa menjadi dalil untuk membenarkan keinginan-keinginan penguasa. Ulama seperti inilah yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai ulama su’, “ulama istana,” laksana sapi ditusuk hidung, nurut saja apa dan kemana maunya penguasa.

Begitupun sebaliknya. Bila ulama berada pada posisi yang terlalu jarak dengan penguasa,  maka dakwah atau nasehat yang harus disampaikan kepada penguasa menjadi sesuatu yang sulit atau bahkan tidak bisa samasekali, sehingga berjalanlah kekuasaan tanpa ada yang menjaga dan menasehatinya dengan nasihat-nasihat yang bersumber kepada wahyu Allah.  

Oleh sebab itu, bila suatu bangsa ingin masyarakatnya aman dan sejahtera, tidak hanya ulama yang harus konsisten berada pada posisinya, tetapi rakyat dan  bahkan juga penguasapun perlu membuat ulama tetap berada pada posisinya itu. Penguasa tidak boleh menarik ulama masuk ke dalam pusaran kekuasaannya sehingga “sulit bernafas” menghembuskan hawa kebenaran dan pesan-pesan Tuhan, tetapi tidak juga boleh membiarkan ulama berada jauh dari pusat kekuasaan, sehingga rawan diadudomba oleh orang-orang yang menginginkan negara kacau untuk mencari peluang “menangguk di air keruh.” 

Ulama dibuat curiga kepada penguasa, dan penguasapun mencurigai ulama. Ulama dan penguasa harus saling menghormati, lalu bersinergi secara positif, untuk menghasilkan produk-produk kebijakan yang menyejahterakan bangsa dan negara dalam arti yang seluas-luasnya. Ulama bertugas menjaga kepala negara agar tidak salah dalam menentukan kebijakan. Tugas itu adalah kewajiban yang mesti dilakukan sebagaimana tugasnya makmum mengingatkan imam yang tersalah dalam memimpin shalat berjamaah, diminta atau tidak diminta.  

Sebaliknya, ulama juga harus siap menerima risiko bila imam tidak mengindahkan tegurannya, atau bahkan menerima murka sekalipun bila yang diberiteguran merasa tersinggung dengan teguran itu. Itulah risiko seorang ulama, tetapi di situ pulalah martabat seorang ulama di sisi Allah dan di sisi manusia. Itulah ulama sesungguhnya ulama, dan itu pulalah ulama yang disebut sebagai pewaris nabi.

Selanjutnya, pemimpin yang sebenar-benar pemimpin, adalah yang memposisikan ulama sebagai penasihat, dan menghormatinya sebagai orang berilmu yang ilmunya diperlukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan kekuasaan yang sedang dipegangnya.  

Oleh sebab itu, pemimpin yang benar akan menjaga ulama dari segala hal  yang akan merusak keulamaannya. Seandainya memberi suatu, pemberiannya tidak dengan maksud mempengaruhi ulama, melainkan sebagai wujud penghargaan dan penghormatan agar ulama senantiasa teguh dan kuat menggali ilmu serta nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam wahyu dan sunnah Nabi untuk digunakan buat kepentingan rakyat banyak. 

Dengan kondisi seperti itu, ulama akan mengawasi penguasa dari tersalah, dan penguasa akan mengapresiasi ulama agar tidak jemu memberi nasihat. Ulama akan menguatkan penguasa dengan nasiihatnya. Penguasa akan menguatkan ulama dengan penghargaan dan penghormatannya. Maka, negara yang baik, adalah negara dimana ulama dan penguasanya saling menghargai, bukan saling mencederai.

Tidak mudah, memang, menjadi ulama ketika berhadapan dengan penguasa. Imam al Ghazali, seperti diungkap oleh Sa’id Hawwa, dalam bukunya, al-Mustakhlash fi Tazkiyat al-Anfus,  memberi resep agar ulama berlemah lembut kepada penguasa seperti berlemah lembut kepada bayi. Lemah lembut kepada penguasa berarti bersiap diri menghadapi kemungkinan berubahnya sikap sang penguasa secara tiba-tiba, seperti berubahnya sikap bayi tanpa diduga. Memberikan nasihat kepada penguasa tentulah tidak sama dengan memberi nasihat kepada orang yang bukan penguasa. 

Sikap bijak dan lemah lembut adalah sikap yang tepat  digunakan untuk mengingatkan penguasa. Karena, kekuasaan identik dengan kebesaran, dan kebesaran yang dimiliki oleh seseorang sangat rawan untuk membuat orang itu merasa besar dan bahkan berlaku sombong di hadapan orang lain yang tidak punya kekuasaan. 

Pada kondisi seperti inilah peringatan Allah dalam surat Ali Imran ayat 159 perlu diamalkan, “maka dengan rahmat Allah, hendaklah kamu berlemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka manjauhkan diri darimu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohon ampunkanlah mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan. Kemudian, bila tekadmu sudah bulat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” 

Perlu diingat, bahwa kelembutan ulama kepada penguasa, langsung atau tidak langsung, adalah dakwah ulama kepada penguasa agar kelembutan itu perlu ditanam dalam dirinya dan menjadi hiasan bagi gerak gerik dan kebijakan-kebijakannya dalam memimpin negara. 

Setiap tindakan dan kebijakan didasari oleh kesantuan, sehingga rakyat yang terkena kebijakan akan menerima dengan kesantunan pula, karena hati mereka telah tersentuh oleh kesantunan pemimpinnya. Sikap seperti ini, sebagaimana disebut oleh Nabi dalam sebuah hadisnya, akan melahirkan perasaan saling cinta antara rakyat dan pemimpin, sebagai syarat utama wujudnya sebuah negara yang baik. 

Sebaliknya, bila ulama bersikap keras dan kasar, maka “rasa berkuasa” yang ada dalam diri si penguasa bisa muncul dan berubah menjadi keras dan kasar pula melebihi apa yang diterimanya dari ulama. Bila ini yang terjadi, penguasa akan mengambil jarak dan bahkan akan menjauhi ulama. 

Lalu, jauh pulalah nasihat ulama dari penguasa. Ketika itu, ruang kosong di sekitar penguasa akan terbentuk dan memberi peluang kepada pihak lain untuk mendekati penguasa dengan mudah. Adalah hal yang baik bila yang masuk itu adalah orang baik pula, tetapi akan menjadi terbalik bila yang masuk itu orang-orang jahat yang sedang mencari kesempatan. Bila hal yang disebut terakhir ini yang terjadi, maka rusaklah penguasa dengan kekuasaannya, lalu rusak dan sengsara jugalah rakyat yang berada dalam naungan kekuasaan itu sendiri.

Oleh sebab itu, ulama dan penguasa harus saling menjaga. Ulama menjaga penguasa agar kekuasaan yang dipegangnya tetap berada di jalur moral dan akhlak mulia. Penguasa menjaga ulama dari tangan-tangan pelaku politik yang rusak akhlaknya. Karena, merusak ulama berarti merusak jalan yang akan menjadi penunjuk kebenaran yang akan berakibat kepada kerusakan pula. 

Sebagai pewaris nabi, ulama bukan kendaraan kepentingan. Maka, penguasa yang baik adalah penguasa yang tetap  memposisikan ulama berada dalam keulamaannya sebagai pemberi nasihat, bukan  yang membuat ulama berhutang budi kepadanya, sehingga keluar dari jalur keulamaannya yang berakibat rusaknya rakyat yang dipimpin oleh penguasa. 

Imam al-Ghazali berkata, “Rusak rakyat karena rusaknya penguasa. Rusak penguasa karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama karena lemahnya dari godaan harta dan tahta.” Kata al-Ghazali lagi, “harta dan tahta adalah cita-cita dunia. Barang siapa dikuasai oleh cita-cita dunia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil. “  

Dengan ucapan ini, seakan al-Ghazali berkata bahwa orang yang dikuasi oleh cita-cita dunia adalah orang lemah. Orang lemah tentu tidak akan mampu mengurus rakyat kecil yang lemah. Mengurus orang lemah memerlukan pengorbanan, sementara orang yang mencintai dunia tidak akan mau berkorban untuk orang yang tidak akan memberi keuntungan kepadanya secara dunia. 

Jadi, sekali lagi, penguasa yang baik adalah penguasa yang tetap  memposisikan ulama sebagai pemberi nasihat,  bukan  yang membuat ulama sebagai alat karena telah berhutang budi kepadanya. (*)


*Penulis adalah Ketua ICMI Riau dan Ketua Perti Riau