Istana Angkat Bicara Soal Bayar Influencer: Salahnya di Mana?

Istana Angkat Bicara Soal Bayar Influencer: Salahnya di Mana?

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adiansyah mengatakan, total anggaran belanja yang dicatat Indonesia Corruption Watch (ICW) Rp 90,45 miliar bukanlah pengeluaran sepenuhnya untuk influencer. Melainkan, anggaran kehumasan untuk iklan serta alokasi promosi lainnya.

"Jadi Rp90 miliar itu kan anggaran kehumasan. Kehumasan itu banyak slotnya atau alokasinya. Misalnya untuk iklan layanan masyarakat, untuk memasang iklan di media cetak, audio visual, sosialisasi, bikin buku atau apa. Itu kan enggak semua influencer," katanya, Jumat (21/8/2020).

Anggaran yang dirilis ICW, kata dia, harus dilihat lebih teliti. Sebab tidak mungkin anggaran sebesar Rp90,45 miliar diberikan para influencer.


"Enggak mungkin Rp90 miliar diberikan kepada influencer. Influencer itu berapa? Jadi influencer kalau memang tidak ada masalah. Karena kan memang yang dipilih juga orang-orang kompeten, yang punya kemampuan, menguasai substansi," ungkapnya.

Donny tidak mempermasalahkan pemerintah menggunakan influencer untuk promosi. Sebab hal tersebut bertujuan dalam sektor positif sesuai dengan fakta.

"Saya tidak melihat salahnya dimana. Kecuali influencer digunakan untuk menyampaikan kebohongan. Kalo untuk menyampaikan kebenaran, why not?" jelasnya.

Sebelumnya diketahui Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi besarnya anggaran belanja pemerintah pusat untuk menggandeng influencer demi mensosialisasikan berbagai kebijakan. Tercatat total anggaran belanja untuk aktivitas yang melibatkan influencer sejak tahun 2017 sampai saat ini mencapai Rp90,45 miliar.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha mengatakan, temuan anggaran jumbo itu diperoleh dari penelusuran aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) terkait aktivitas digital dan pelibatan para influencer dalam mensosialisasikan berbagai program pemerintah. PBJ sendiri diperoleh melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian maupun Lembaga Non Kementerian (LPNK).

"Dalam aktivitas digital terkait influencer ini ada 34 kementerian, 5 LPNK, dan 2 lembaga penegak hukum yakni Kejaksaan RI dan Kepolisian RI. Pengumpulan data ini kita lakukan secara singkat dari 14-18 Agustus 2020," ujar dia dalam diskusi virtual via Facebook ICW, Kamis (20/8).

Egi mengatakan, pelibatan influencer untuk mempromosikan sebuah produk oleh perusahaan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Mengingat peran influencer masih terus efektif dalam mensosialisasikan sebuah produk terhadap masyarakat luas.

Namun, tren penggunaan jasa influencer ini mulai dilirik oleh pemerintah sejak tahun 2017. Tercatat ada 5 paket pengadaan dengan nilai kontrak mencapai Rp17,68 miliar dan terus meningkat pengadaannya dari tahun ke tahun.

Menurutnya hal itu, menggambarkan adanya rasa ketidakpercayaan diri pada pemerintah pusat atas kebijakan yang dilahirkan. Seperti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus menggelontorkan anggaran Rp114.400.000 pada 2019 lalu, untuk pengadaan sosialisasi PPDB melalui influencer media sosial artis Gritte Agatha dan Ayushita W.N. Masih di tahun yang sama sosialisasi PPDB juga kembali melibatkan influencer artis Ahmad Jalaluddin Rumi dan Ali Syakieb dengan nilai kontrak serupa Rp114.400.000.