Dipercaya Sebagai Simbol Tolak Bala, Kirab Kebo 1 Suro Justru Ditiadakan Saat Pandemi

Dipercaya Sebagai Simbol Tolak Bala, Kirab Kebo 1 Suro Justru Ditiadakan Saat Pandemi

RIAUMANDIRI.ID, Solo - Pandemi virus Corona atau COVID-19 dan malam 1 Suro mengingatkan kembali pada sejarah era Kerajaan Demak pada abad ke-15. Sejarah mencatat bahwa wabah penyakit juga pernah terjadi pada masa itu. Mengorbankan hewan kerbau kemudian dipercaya sebagai penolak bala.

Kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Puger menceritakan bahwa pada masa itu terjadi pagebluk atau yang kini juga dikenal sebagai pandemi. Para petinggi kerajaan dengan para wali berdialog mencari solusi memusnahkan pagebluk.

"Dengan melihat sejarah masa lalu, Sultan Patah yang merupakan pemimpin kerajaan Islam memutuskan salah satunya menggelar kirab pusaka. Karena pusaka dianggap berhubungan dengan Tuhan," kata Puger, Rabu (19/8/2020).


Selain itu, dilakukan pula upacara mahesa lawung, yakni mengorbankan kerbau sebagai penolak bala. Hal ini berkaitan dengan kisah pewayangan ketika Yudhistira melakukan bersih-bersih seusai perang Bharatayuda dengan cara mengorbankan kuda.

"Di Demak, diputuskan mengorbankan kerbau, yang disebut mahesa lawung. Dengan upacara ini, pagebluk pun sirna sehingga kehidupan kembali normal," kata dia.

Tradisi tersebut terus dilakukan turun-temurun dari Kerajaan Demak hingga Keraton Surakarta. Kerbau kemudian selalu diikutkan dalam kirab sebagai simbol.

Selain tanda sebagai masyarakat agraris, kerbau juga merupakan pengingat atas sejarah masa lalu. Puger mengatakan peristiwa tersebut juga bisa dikaitkan dengan masa sekarang.

"Artinya kerbau itulah yang dulu dikorbankan untuk menolak wabah. Sekarang digunakan sebagai simbol dalam kirab. Lalu bagaimana untuk menolak wabah ini? Pemerintah harus berdialog dengan keraton, dengan semua pihak untuk mencari solusi," kata dia.

Puger menjelaskan bahwa sebenarnya kirab pusaka awalnya digelar setiap hari Kamis atau malam Jumat. Itu pun dalam skala kecil, yakni mengelilingi keraton saja.

Bahkan dalam perjalanannya, saat kepemimpinan Pakubuwono XII, kirab sempat dihentikan karena masyarakat sudah tidak memahami makna kirab. Namun pemerintah memberikan atensi, bahwa kirab harus kembali berjalan, terlebih bisa meningkatkan pariwisata.

"Setelah itu lingkupnya diperbesar, jumlah pusaka bertambah, peserta bertambah. Dan kemudian diambilah momen malam 1 Suro untuk dilakukan kirab pusaka dan kerbau," katanya.

Namun di masa pandemi Corona ini, Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, Solo tidak menggelar tradisi kirab pusaka malam 1 Suro. Pandemi COVID-19 menjadi alasan tak digelarnya kirab budaya tersebut.

"Kirab pusaka tahun ini ditiadakan karena pandemi, kan rawan sekali kalau berdesak-desakan," kata Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, KRA Dani Narsugama Adiningrat saat dihubungi wartawan, Rabu (19/8).

Menurut Dani, akan sulit mengatur masyarakat yang datang menonton kirab. Sebab kirab pusaka tersebut bisa ditonton ratusan ribu orang.

Seperti diketahui, kirab pusaka Keraton Kasunanan Surakarta biasanya juga diikuti kerbau Kiai Slamet. Pasukan keraton melakukan kirab mengelilingi pusat Kota Solo.

Meski kirab tidak digelar, keraton tetap melaksanakan upacara adat secara terbatas. Kegiatan tersebut dilakukan sesuai protokol kesehatan.

"Tapi kalau upacara adat wilujengan tetap diadakan terbatas dengan protokol kesehatan," kata dia.

Malam 1 Suro juga memiliki sejarah besar ketika Pakubuwono X mangkat. Meninggalnya raja kaya raya itu menjadi titik perekat hubungan antara Keraton Kasunanan Surakarta dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menceritakan hari itu menjadi masa yang sangat menyedihkan bagi seluruh pihak, terutama rakyat Surakarta yang sangat mencintai rajanya. Bahkan Belanda turut menghormati kepergian raja berbadan besar itu.

"Raja Pakubuwono X merupakan menantu dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang meninggal pada 1 Suro. Beliau menjadi rel penyambung paseduluran antara dua anak kandung Kerajaan Mataram," kata dia.

Heri mengatakan sudah selayaknya malam 1 Suro digunakan sebagai momen berkontemplasi. Berbeda dengan tahun baru Masehi yang selalu dirayakan dengan hingar bingar.

"Sekarang malam 1 Suro tidak sekadar memandikan keris, kirab kerbau atau mempersembahkan sesaji di laut. Tetapi kini saatnya berkontemplasi dan bermuhasabah agar kita dilindungi oleh Tuhan," katanya.