Chusnul: Aktivis Partai Jangan Baca 'Doraemon', Anda Bukan Pemimpin Kalau Baca Itu

Chusnul: Aktivis Partai Jangan Baca 'Doraemon', Anda Bukan Pemimpin Kalau Baca Itu

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Chusnul Mariyah meminta para aktivis di partai politik (parpol) untuk tidak menggunakan cerita 'Doraemon' sebagai cara memahami berbagai persoalan bangsa dalam kehidupan sehari-hari. 

Sebab, untuk memahami dan menyelesaikan persoalan bangsa tidak bisa diselesaikan dengan 'kantong ajaib' saja, tapi aktivis partai, terutama perempuan harus benar-benar berkualitas dan cerdas, sehingga bisa memahami ketika berbicara mengenai narasi kebangsaan.

Cerita fiksi dan animasi dari Jepang ini, populer di kalangan anak-anak di Indonesia, dikenal memiliki 'kantong ajaib' yang bisa menyelesaikan masalah.


Doraemon, yang digambarkan seekor kucing ini akan mengeluarkan alat yang diminta Nobita Nobi, untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.  

"Anda pasti bukan pembaca yang baik, seorang aktivis partai yang dibaca jangan Doraemon. Kalau anda tidak bisa membaca (narasi, red), anda bukan pemimpin yang baik, you are not a leader," kata Chusnul dalam 'Orientasi Kepemimpinan (OKE) API Gelora dengan tema 'Perempuan di Tengah Digitalisasi Demokrasi' yang diselenggarakan Partai Gelora, Sabtu (15/8/2020).

Menurut Chusnul, aktivis perempuan di partai harus memiliki kemampuan 'komunikasi membaca' persoalan yang dihadapi bangsa dan rakyatnya. Sehingga bukan hanya sekedar sebagai pelengkap atau pemanis kuota perempuan saja dalam politik.

"Ngerti persoalan rakyatmu aja nggak, apalagi ngerti persoalan perempuan, juga nggak. Bagaimana anda membangun narasi soal persoalan bangsa, sementara tidak mempunyai kemampuan komunikasi membaca. Makanya ketika ditanya wartawan, jawabannya a,i,u,e,o, nganu," ujar Chusnul.

Staf pengajar FISIP UI ini menilai perempuan Indonesia harus sadar diri dalam meningkatkan kemampuannya dalam berpolitik. Ia menyadari, kesalahan ini tidak mutlak dari perempuan itu sendiri, melainkan dari proses rekrutmen di partai.

"Biasanya kalau perempuan cerdas dikatakan galak, sehingga tidak direkrut. Yang direkrut yang feminim tunduk pada kemauan pimpinan partai dan bandar, makanya yang diambil, istrinya, saudaranya, pacarnya dan orang-orang terdekat," ungkapnya.

Akibatnya, para perempuan berpendapat, politik itu kotor dan memilih tidak terlibat dalam aktivitas politik, meskipun kuota perempuan di parlemen sudah mencapai 21 persen saat ini.

"Perempuan tetap menganggap politik kotor, tapi dia sendiri tidak mau ikut membersihkan. Inilah problem kita saat ini, nah Partai Gelora sebagai partai baru jangan seperti partai-partai yang sudah ada," tegas Chusnul.

Chusnul berharap para perempuan yang menjadi aktivis partai dan aktif dalam dunia politik, berani 'bertarung (fight)  dan tidak sekedar menjadi follower, tetapi harus berperan aktif dengan didukung kemampuan komunikasi membaca narasi persoalan bangsa.

"Jadi, perempuan itu harus percaya diri, perempuan masih dipandang sebelah mata, makanya jangan heran kalau partai politik banyak artisnya. Saya tanya kok seneng banget, rupanya kalau rapat ada artis, bapak-bapak senang. Mereka direkrut karena followernya banyak, tapi kalau dilihat masih kalah dengan followernya Puan Maharani," pungkas Chusnul.



Tags PARTAI