Peran Ulama Dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Peran Ulama Dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA

RIAUMANDIRI.ID - Menurut Moshe Dayan, ada tiga kelemahan mendasar umat Islam:
1.    Malas (termasuk malas membaca) 
2.    Tidak mau mempelajari sejarahnya sendiri
3.    Spontan, tidak terencana.

Dengan tiga kelemahan ini, kata Moshe dayan, umat Islam, terutama bangsa Arab, tidak akan pernah mampu mengalahkan Israil, sampai mereka mau belajar terlebih dahulu bagaimana membuat garis lurus ketika akan naik bus . 


Pasti ada alasan ilmiahnya kenapa seorang Moshe Dayan yang ahli perang dan menteri pertahanan Israil yang disegani dunia tahun 1960an itu membuat kesimpulan seperti itu.

Alasan itu, paling tidak: pertama, dengan sifat malas, termasuk malas membaca, seseorang atau bahkan suatu bangsa akan menjadi orang atau bangsa bodoh, orang yang hidup dalam ketidaktahuan dan kegelapan alam keilmuan, orang atau bangsa  yang hanya ingin bersenang-senang, menikmati apa yang ada tanpa mau bekerja keras. 

Orang atau bangsa seperti ini mudah disogok dan diarah-arahkan menurut keinginan orang orang berilmu dan berkepentingan dengan mereka; kedua, dengan tidak mengerti sejarah diri sendiri, mereka akan menjadi orang yang tidak paham dengan kemasalaluan tentang asal muasalnya dan segala hal yang terkait dengan kondisi kekiniannya, jati dirinya sendiri. 

Mereka akan mengalami krisis identitas, tidak mengerti hukum sebab akibat yang terkandung dalam sejarah, sehingga mudah jatuh atau dijatuhkan dengan sebab yang sama dan di lobang yang sama berkali-kali sebagaimana dialami oleh para pendahulu mereka. 

Bila suatu bangsa diibaratkan dengan seorang manusia yang sedang menjalani hidup dan kehidupannya di dunia, maka orang atau bangsa yang tidak tahu sejarahnya sama dengan orang atau bangsa buta yang berjalan di jalan yang tidak dia pahami, sehingga mudah disesatkan oleh orang-orang jahat yang ada di sekitarnya; ketiga, prilaku spontan dan tidak terencana dengan baik, akan menjadi pribadi reaktif, mudah dipancing dengan issu-issu sensitif, lalu bereaksi secara spontan tak terarah, tanpa mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi, sehingga mudah dijatuhkan musuh dengan kelemahannya sendiri. Kemampuan bisa berbaris lurus ketika naik bus seperti yang dinalogikan oleh Moshe Dayan adalah salah satu tamsilan bahwa segala sesuatu, termasuk perjalanan hidup suatu bangsa, akanberjalan dengan baik, bila mereka hidup dan berkerja dengan perencanaan dan keteraturan yang baik pula.

Secara jujur perlu kita akui bahwa tiga kelemahan seperti disebut di atas masih menjadi persoalan mendasar bagi umummya umat Islam, termasuk umat Islam Indonesia, sampai hari ini, sehingga kemungkinan untuk bangkit dan mencapai kegemilangan seperti yang sudah lama didengung-dengungkan masih jauh dari harapan.

Sebaliknya, perlu dipahami, bahwa lawan dari tiga kelemahan mendasar umat Islam seperti disebut di atas itu adalah tiga kekuatan utama bangsa-bangsa di negara maju dalam menguasai dunia, termasuk menguasai Indonesia sendiri. Malas dalam membaca dan mempelajari sejarah bangsa dan negara sendiri di kalangan umat Islam di negeri ini kini sedang dimanfaatkan oleh orang atau bangsa-bangsa  tertentu yang rajin untuk mengalihkan jalannya negara dan bangsa Indonesia ke depan, sesuai dan untuk kepentingan mereka sendiri. 

Di antara sekian banyak sejarah yang perlu dibaca dan dipelajari sebagaimana disebut di atas adalah apa dan di mana posisi ulama dalam sejarah kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia. Sejarah ini, kini, menjadi sangat penting diungkap kembali setelah munculnya gelagat dari pihak-pihak tertentu yang berusaha menghilangkan peran ulama dalam sejarah kemerdekaan Negara ini, sebagai usaha yang sangat berbahaya untuk keberlangsungan hidup bangsa ini sendiri.

Ada baiknya bila pembicaraan tentang peran ulama dalam kemerdekaan ini dimulai dari apa yang pernah diucapkan oleh Thomas S. Raffles EIC (1811-1816), Letnan Gubernur Inggris.  Sang Gubernur yang pernah berkuasa di Indonesia dan pendiri negara Singapura moderen itu berucap, “...karena mereka (ulama) begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar memberontak, dan menjadi alat yang palimg berbahaya di tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerintahan colonial.”

Ucapan Raffles di atas menggambarkan kekhawatirannya yang sangat tinggi akan bahaya ulama--dan dengan sendirinya juga umat islam--terhadap pemerintahan kolonilismenya di Indonesia. Yang berbahaya untuk kelangsungan penetintahan kolonial, menunrut Raffless adalah ulama, dan tentu juga pesantrennya, bukan kaum bangsawan dengan kalangan istananya. Mulai dari Tuanko Imam Binjol, Cik Ditiro, Pengeran Diponegoro, misalnya,  yang langsung terjun ke medan memimpin perang melawan penjajah di medan perang, sampai ke KH. Ahmad Dahlan dengan Persyarikatan Muhammadiyahnya (tahun 1912), KH Hasyim Asy’ari dengan Nadlatul Ulamanya (tahun 1926), H. Zamzam dengan Persatuan Islam (tahun 1923)nya yang bergerak di bidang pendidikan dan amal sosialnya untuk menderdaskan umat di pulau Jawa, Syeikh Sulaiman Arrasuli dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyahnya (tahun 1928), Muhammad Arsyad Thalib Lubis dengan Al-Jamiatul Washliyahnya (1930) yang bergerak di bidang pendidikan dan amal sosialnya di Sumatera. Dan puluhan ulama lainnya di luar Jawa dan Sumatera yang telah memberi kontribusi besar untuk lahirnya para pejuang bangsa dan akhirnya mengerucut dengan lahirnya kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dintahun 1945.

Begitu juga seterusnya, ketika mempertahankan Negara indonesia yang baru lahir dan menghadapi ancaman tentara sekutu yang ingin mengembalikan Belanda sebagai penguasa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, ulama dan dengan para santri di pondok-pondioknya beserta organisiasi-organisai yang mereka dirikan mendirikan pasuka-pasukan bersenjata yang mereka sebut dengan lasykar untuk berjuang bersama tentara yang masih masih sangat muda tradisional ketika itu. Umat Islam bangkit bersama ulamanya dengan ikut memanggul senjata berjuang mempertahankan kemerdekaan yang masih baru lahir itu. Di Jawa, mislanya, Muhammadiyah mendirikan Lasykar Hisbullah. NU mendirikan Anshar. 

Di Sumatera, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) mendirikan Lasykar Muslimin Indonesia (Lasymi), dan begitu juga di daerah-daerah lainnya yang hampir semua perlawanan rakyat itu digerakkan oleh ulama mereka, baik yang memimpin pesantren mapun yang bukan dengan mendirikan lasykar bersenjata seperti disebut di atas, untuk  berjuang bersama mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kaum penjajah. 

Peran ulama yang lebih jelas lagi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia diutarakan oleh, KH Khatib Umar, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Jember. Dengan keyakinan yang kuat, beliau mengatakan seandainya tidak ada kiyai (uama) dan pondok pesantrenya, niscaya tentara Indonesia, Tentara Kemanan Rakyat (TKR) pada waktu iyu  telah hancur. Karena,  mereka tidak memilik tempat berlindung, bertahan danmenyusun  strategi serta kekuatan kecuali di pesantren. Ulama dan pesantrenlah pusat perjuangan bangsa ini di masa dulu.

Dr Sufdjatmiko, futurulog dan salah seorang putra terbaik Indonesia yang pernah memimpin Universitas PBB di Jepang tahun 1980-1987, pernah berucap bahwa tidak ada yang paling ditakuti oleh penjajah di Indonesia selain ulama (santri dan tarekat). Ulamalah yang menjadi motor penggerak perjuangan sejak dulu, sampai akhirnya Indonesia merdeka pada tahun 1945. 

Kegigihan ulama dalam berjuang tentu tidak terlepas dari konsep jihad yang mereka pegang. Bagi mereka, penjajah adalah kaum zhalim yang telah merampas kedaulatan rakyat untuk menguasai Negara dan akan menhancurkan agama Islam. Maka,  memerangi penjajah adalah wajib hukumnya bagi kaum muslimin. Itulah sebabnya, hampir semua perlawanan rakyat di semua daerah kepada kaum penjajah di Indonesia digelorakan dan diawali dengan fatwa ulama, langsung atau tidak langsung. 

Resolusi Jihad dari Fatwa KH.Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya yang kemudian menggelorakan perang yang sangat heroik melawan tentara sekutu di Surabaya, misalnya, menjadi catatan sangat penting bagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang diabadaikan sebagai hari Pahlawan 10 November 1945.

Resolousi Jihad itu menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban fardhu  ‘ain bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari kedudukan musuh. Fardhu ini  berlaku baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, bersenjata atau tidak bersenjata. 

Begitu juga perang-perang yang terjadi sebelum kemerdekaan seperti Perang Paderi, Perang Aceh, Perang di Teluk Ketapang, Melaka, pemberontakan petani Banten, pemberontakan rakyat Singaparna dan lain-lain, semuanya dipicu oleh semangat jihad yang dikobarkan oleh olara ulama. Banyak lagi sejarah berjuangan bangsa Indonesia, baik sebelum merdeka, maupun setelah kemerdekaan dalam ranga mempertahankan kemerdekaan, dimulai dari semangat yang dikobarkan oleh parfa ulama. 

Pokoknya, sejarah membuktikan, bahwa sejarah Indonesia merdeka adalah sejarah perjuangan para ulama di negeri ini, dan sejarah para ulama adalah sejarah yang meneruskan perjuangan Rasulullah menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan ajaran Islam tentang amar makruf nahi mungkar dalam rangka menegakkan hak-hak manusia yang sebenernya dari kezaliman para orang zalim.  

Surat Kabar Belanda periode 1850-1930, seperti ditulis oleh Seraa Media 23 Mei 2017, menyebutkan Islam dan umat Islamlah yang menyebabkan munculnya perlawanan kepada penjajah di indonesia pada zaman penjajahan. Statemen ini seakan menyimpulkan sulit dibayangkan Indonesia bisa merdeka bila tidak ada ulama dan umat Islam di negri ini.

Lalu, apa yang harus kita lakukkan?

Melihat gejala yang semakin hari semakin nyata terlihat dan juga dirasakan tentang adanya upaya mengilangkan sejarah seperti disebut di atas, maka adalah tugas kita yang masih hidup sekarang untuk :

1. Merapatkan barisan umat dari berbagai golongan dan aliran sebagaimana dulu dilakukan oleh para pendahulu kita ketika menghadapi kaum penjajah yang menginjak harga diri dan menguasai bumi Indonesia dengan cara zalim.
Namun perlu diingat bahwa “merapatkan barisan” adalah kata atau kalimat yang ringan untuk diucapkan, tetapi tidak mudah dilaksanakan.  Merapatkan barisan di kalangan umat dan anak-anak bangsa pada umumnya hanya bisa terwujud bila :
a. Ada kemauan hati yang sungguh-sungguh untuk saling menghargai dalam perbedaan. Maka,
b. Ada kesepakatan untuk sama-sama mengupaya segala hal, apapun bentuknya, yang dapat mewujudkan terciptanya kesatuan, dan menghindari segala hal, apapun bentuknya, yang akan membuat retak atau putusnya kesatuan.  

Ayat 9-12 surat al-Hujurat, adalah diantara resep utama untuk mewujudkan persatuan dan menghindari perpecahan tersebut.

2. Mengajarkan dan menyampaikan pesan sejarah tentang sejarah negeri ini secara umum, dan sejarah ulama serta umat Islam secara khusus dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan kepada segenap lapisan masyarakat, terutama generasi muda, melalui cara dan media apapun yang dimiliki, agar umat tidak lengah dan dininabobokkan oleh rayuan dan kesenangan-kesenangan semu yang ditawarkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.

3. Mengamati dan mengontrol setiap gerak-gerak siapa saja yang mencurigakan akan memecahbelah umat dan menguasai para penguasa dalam rangka memuluskan tujuan mereka. Bahkan, bila perlu, dibentuk lagi badan-badan pergerakan perjuangan rakyat sebagaimana dulu dilakukan oleh para pejuang sebagai antisipasi dari berbagai kemungkinan untuk melindungi ulama, para tokoh bangsa dari berbagai kemungkinan buruk yang akan menimpa mereka, dan akhirnya membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. **

*Penulis adalah Ketua ICMI Riau dan Ketua Perti Riau



Tags HUT RI