Pengamat Sebut Vonis Terhadap Penyiram Novel Hanya Basa-Basi

Pengamat Sebut Vonis Terhadap Penyiram Novel Hanya Basa-Basi

RIAUMANDIRI.ID. PEKANBARU - Direktur Legal Culture Institute, M. Rizqi Azmi menilai bahwa vonis yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara atas kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan hanya basa-basi untuk meredam tuntutan publik. 

Dia menyebut, dari awal tuntutan 1 tahun terhadap Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis sudah memberi sinyal hukuman yang dijatuhkan tidak akan jauh berbeda dari tuntutan jaksa. 

"Karena jaksa sudah memberikan frame dalam logika hukum publik bahwasanya actus reus (kejadian tindak pidana) dan mens rea (sikap kebatinan) dalam kejadian ini bukan hal yang luar biasa," jelas M Rizqi Azmi kepada Riaumandiri.id, Jumat (17/7/2020). 


"Kita melihat konstruksi vonis tetap berpatokan pada pasal 353 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 sesuai arah mata angin tuntutan. Jadi memang tidak ada hal yang luar biasa dalam vonis ini," sambungnya.

Rizqi menuturkan, tidak ada pemaknaan ultra petita dalam putusan hakim karena masih di bawah hukuman  pasal 353 ayat 2, yaitu seharusnya maksimal 7 tahun. Hakim juga tidak berani memutuskan dengan dakwaan primer, yaitu pasal 355 ayat 1 yang berbunyi penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 

"Inilah kelemahan dan basa basi, seakan-akan meredam tuntutan publik dan kebutuhan terpidana," tambahnya. 

Selain itu, Azmi juga mengatakan ada pemelintiran makna oleh hakim dari pembunuhan berencana dengan permufakatan jahat menjadi penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.

Sebagai bahan eksaminasi hukum, lanjut Rizqi, hakim sebenarnya mempercayai bahwa kasus ini adalah kasus yang berat dan perlu pendalaman seperti kasus Munir dan Marsinah. Namun, hakim tidak mengambil delik penganiayaan berat dengan perencanaan. 

Selain itu, Azmi menilai hakim memutuskan vonisnya atas dasar tekanan dari luar meja hijau. Menurutnya hakim harus kebal dari segala intimidasi.

"Dalam kasus ini terlihat beban hakim untuk memutuskan secara adil dan menggunakan ultra petita. Ada banyak tekanan di luar meja hijau yang menjadi pertimbangan para hakim. Namun, sebagai pemutus keadilan dan pemberi kepastian hukum, hakim harus kebal dari segala intimidasi dan kukuh mempertahankan naluri dan nuraninya," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) ini.

"Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakan keadilan meski langit akan runtuh). Seharusnya adagium inilah yang dipertahankan hakim sehingga kemandirian hakim bisa teruji dan lepas dari segala campur tangan dan kepentingan kekuasaan," kata dia.


Reporter: M Ihsan Yurin