PKS Nilai Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Perlu Dikaji Kembali

PKS Nilai Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Perlu Dikaji Kembali

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mempertanyakan alasan putusan MA terkait Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, baru keluar belakangan.

"Catatannya kenapa baru dikeluarkan sekarang keputusannya?" kata Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera di Jakarta, Selasa (7/7/2020).

Mardani pun meminta KPU menindaklanjuti keputusan MA tersebut. "Apresiasi pada MA yang bekerja profesional. KPU perlu menindaklanjuti keputusan MA untuk perbaikan ke depan," ucapnya.


Melihat keputusan MA tersebut, Mardani menilai hasil Pemilu 2019 yang dimenangkan oleh Joko Widodo dan Ma'ruf Amin perlu dikaji kembali.

"Terkait keabsahan hasil pemilu, dampak keputusan ini masih perlu kajian lanjutan. PKS akan terus mendorong semua pihak berpegang pada ketentuan perundang-undangan," terangnya.

Dampak keputusan MA tersebut, lanjutnya, Peraturan KPU (PKPU) perlu diperbaiki segera. "Implikasi paling utama Peraturan KPU perlu diperbaiki. Karena yang digugat ke MK Peraturan KPU (PKPU)," katanya.

Seperti diketahui, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan sengketa Pilpres diajukan Rachmawati Soekarnoputri dan enam orang pemohon lainnya terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 3 Ayat 7. PKPU itu mengatur soal penetapan pemenang Pilpres.

Aturan itu menyatakan apabila terdapat dua pasangan calon (paslon) dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai paslon terpilih.

"Menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil/keberatan yang diajukan para pemohon untuk seluruhnya," demikian dikutip dari salinan di situs Direktori Putusan MA, Selasa (7/7).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim MA menilai pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang disadur dari UUD 1945.

Pasal itu menjelaskan bahwa paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di tiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Sementara majelis hakim MA menilai apabila aturan itu diterapkan maka tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari Pilpres ke depan Capres dan Cawapres hanya akan berfokus memenangkan Pilpres pada kemenangan di daerah-daerah strategis saja. Seperti Pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar.

"Sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority, yang tentunya justru bertolak belakang dengan maksud dibuatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan penjabaran ulang terhadap norma yang terkandung dalam Pasal 6A ayat 3 UUD 1945," demikian bunyi pertimbangan hakim.

Selain itu, jika dilakukan penafsiran secara sistematis terhadap PKPU tersebut, dapat dipahami bahwa ketentuan yang ada dalam ini berlaku untuk segala kondisi, termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan.

Adapun, ketentuan memperoleh suara Iebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di Iebih dari jumlah provinsi di Indonesia.

"Syarat tersebut, tidaklah menjadi sebuah syarat yang sulit untuk terpenuhi manakala kontestasi Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon, ketentuan tersebut telah dirumuskan dengan baik oleh pembentuk konstitusi dan Undang- Undang Pemilihan Umum sehingga syarat perolehan suara (Presidential threshold) tersebut tidak perlu direduksi pada rumusan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum objek Hak Uji Materiil a quo," kata hakim.

Hakim menilai syarat-syarat tersebut akan saling melengkapi, sehingga menunjukkan Presiden terpilih nantinya akan mencerminkan Presiden NKRI yang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam pemilihan umum baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di setiap provinsi.

"(Pasal 3 Ayat 7 PKPU) secara jelas, menghilangkan syarat Presidential threshold sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara provinsi yang tersebar di Iebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Oleh karenanya norma Ketentuan tersebut tidak mempedomani norma ketentuan diatasnya, yakni pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945."

Gugatan itu diajukan Rachmawati pada 13 Mei 2019 lalu. Rachmawati kala itu menjadi Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke MA terkait PKPU soal Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilu.

Rachmawati mengatakan, uji materi dilakukan karena pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5/2019 cacat hukum. Ia juga merasa hasil penghitungan suara pada pemilu 2019 diduga terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Ketentuan Pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5/2019 dinilai berada di luar kewenangan KPU selaku penyelenggara negara, yakni mengurusi teknis pemilu. PKPU tersebut dinilainya merupakan norma baru yang disebut tidak memiliki sandaran hukum, baik UUD 1945 dan UU Pemilu.

Diketahui, berdasarkan hasil Pilpres 2019, Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin saat itu berhasil meraup kemenangan 55,5 persen setelah menang di 21 provinsi. Sementara Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi.