Untuk Apa Beribadah?

Untuk Apa Beribadah?

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA*

RIAUMANDIRI.ID - Hakikat ibadah adalah penghambaan diri kepada Tuhan. Layaknya seorang hamba sahaya dengan tuannya. Ia akan selalu dekat dan tidak akan pernah jauh dari tuannya. Ia selalu siap bila dipanggil dan melaksanakan apa saja yang diperintah oleh tuannya. Tidak pernah ada kata “tidak”. Patuh dan taat terhadap semua perintah dan aturan yang diberikan oleh tuannya. Begitu juga hakikatnya orang yang beribadah. Mereka  adalah orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah di mana dan dalam situasi apa pun adanya. 

Ketaatan dan kepatuhan atas segala aturan Allah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kesehariannya. Baginya, ketaatan beribadah harus berimbas dan mewujud menjadi prilakunya sebagai orang yang taat beribadah. Baginya, ibadah harus berbuah ketaatan kepada aturan apa saja yang sejalan dengan aturan Allah. 


Lalu, apa tandanya sebuah aturan sejalan dengan aturan Tuhan?

Pada prinsipnya, semua aturan yang berguna untuk melindungi dan bermanfaat untuk kepentingan orang banyak adalah aturan yang sejalan dengan aturan Tuhan, walaupun datangnya tidak langsung dari Allah, seperti aturan yang dibuat oleh pemerintah atau pihak yang punya otoritas untuk itu di semua level kehidupan masyarakat. Orang yang beribadah, adalah orang yang juga taat kepada aturan-aturan seperti itu.

Seminggu yang lalu, saya dihadapkan kepada sebuah pemandangan yang berlawanan dengan apa yang seharusnya terjadi pada diri seorang yang rajin beribadah. Ketika itu saya singgah shalat zhuhur di sebuah mesjid. Karena terletak di pinggir jalan, banyak orang yang ikut shalat berjamaah di sana. Saya dapat shaf ke tiga dari depan. Shafnya rapat dan banyak jamaah yang tidak pakai masker. Tapi saya tetap pakai masker.

Selesai shalat, baru saya sadar bahwa pada dua shaf di depan saya ada tanda silang berwarna hitam secara berselang seling dengan yang tidak ada tanda. Saya yakin, tanda silang itu menandakan di mesjid itu ada aturan merenggangkan jarak ketika shalat berjamaah sesuai protokol kesehatan di masa pandemi virus corona. Pengurus membuat aturan agar shaf tidak dirapatkan, diselang-selingi antara satu orang dengan yang lainnnya. Tanda silang berarti orang dilarang shalat di atas tanda itu. 

Tapi, yang saya lihat adalah sebaliknya. Tanpa rasa bersalah, semua tanda itu diisi oleh orang yang berada di dua shaf itu, dan tidak satu pun di antara mereka yang memakai masker. Ketika itulah hati saya berkata, “Kok ada orang yang taat beribadah, tetapi tidak taat aturan. Jasadnya  rukuk dan sujud ke hadapan Allah, tetapi hatinya tetap membangkang dan menentang kepada aturan yang ada di dalam rumah Allah sekalipun.” 

Saat semua mulai berdiri mau keluar dari mesjid setelah shalat, saya pandangi orang-orang yang duduk di atas tanda silang itu—sepertinya—orang yang rajin shalat, tetapi nampak sikapnya masih keras dan tidak mau peduli dengan aturan, walau aturan itu sendiri ada di rumah Allah. Hati saya berbisik lagi, “Mungkinkah ini yang dimaksud dalam ayat 4-5 surat al-Ma’un, yaitu  orang yang lalai akan hakikat shalatnya? Shalat rajin, tetapi hakikat shalat tidak membekas sama sekali kepada prilakunya menjadi prilaku yang diajarkan dalam salah satu hakikat shalat, yaitu taat kepada aturan. Orang seperti ini sama saja artinya dengan tidak shalat sama sekali. Baginya, seolah, shalat adalah sesuatu, sementara prilaku adalah sesuatu yang lain. Tidak ada hubungan shalat dengan prilaku. Selesai shalat ditunaikan, prilaku kembali kepada prilaku semula sewaktu sebelum shalat. 

Baginya, shalat adalah rangkaian ritual rutin yang harus dikerjakan setiap hari tanpa ada pengahayatan yang cukup untuk apa sebenarnya shalat itu dikerjakan. Baginya, shalat cukup sekadar simbol bahwa ia adalah seorang muslim, sebagai sebuah simbol tanpa makna apa-apa. Ia tundukkan kepala kepada Allah, tetapi hatinya tetap keras menentang aturan Allah. Shalatnya berhenti pada gerakan fisik. Bacaan shalatnya berhenti sampai di kerongkongan, tidak sampai menyentuh hati untuk menumbuhkan prilaku yang terpunji. Terlepas dari perdebatan perlu atau tidak perlu, boleh atau tidak bolehnya merenggangkan shaf dalam shalat berjamaah saat pandemi covid, yang jelas di sana sudah ada aturan yang dibuat pengurus dan harus ditaati oleh siapa saja yang shalat di mesjid itu.

Pertanyaan berikutnya adalah kenapa ada orang yang seperti itu, taat shalat tapi tidak taat aturan? 

Agaknya, surat al-Ma’un di atas adalah jawabannya. Itulah orang yang lupa akan hakikat shalat atau ibadahnya kepada Allah. Penghambaan dirinya sekadar ritualis, tidak tumbuh berkembang menjadi spiritualis. 

Oleh sebab itu, perlu direnungkan kembali firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 103, yang esensinya menyuruh kita terus menerus dalam keadaan berzikir kepada Allah setelah melaksanakan shalat, dalam semua keadaan. Ayat itu menjadi pengingat agar kita senantiasa sadar bahwa kita adalah orang yang tetap dalam keadaan shalat, sehingga semua hal yang akan membuat shalat menjadi batal harus ditinggalkan. 

Mengerjakan shalat ada waktu-watunya, seperti disebut dalam ayat itu, tetapi mendirikan hakikat shalat dalam hati adalah keharusan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan kepribadian yang mengejawantah dalam prikaku hidup. Itu jugalah makna yang dikandung dalam hadis Nabi yang menyuruh kita berkekalan dalam keadaan berwudhu’, agar selalu ingat bahwa kita orang yang shalat, maka jangan berhenti menegakkan hakikatnya kapan dan di manapun. Ingatan seperti itu akan menjadi sangat penting arti dan pengaruhnya bila yang melakukannya adalah seorang pemimpin. 

Penegakan aturan secara sungguh-sungguh dan terus menerus oleh pemimpin akan menjadi ikutan bagi yang dipimpinnya, sehingga negeri yang dipimpinnya menjadi negeri yang tertatur dan aman dari berbagai pelanggaran hukum. ***


*Penulis adalah Ketua ICMI Riau dan Ketua Perti Riau