Ketum Demokrat: RUU HIP Bernuansa Ateistik dan Sekularistik

Ketum Demokrat: RUU HIP Bernuansa Ateistik dan Sekularistik

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Ketua Umum Partai Demorkat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut rancangan undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) bernuansa ateistik dan sekularistik karena memuat konsep Trisila.

Dia mengatakan konsep Trisila itu berbahaya karena berpotensi menimbulkan konflik ideologi, polarisasi politik, hingga menimbulkan perpecahan bangsa.

"RUU HIP memuat nuansa ajaran sekularistik dan juga ateistik sebagaimana tercermin dalam pasal 7 ayat (2) RUU HIP yang berbunyi ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu sosionasionalisme, sosiodemorkasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan," kata AHY dalam webinar yang digelar Partai Demokrat, Jumat (26/6/2020).


AHY juga mengkritisi ketiadaan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme sebagai konsideran. Hal itu disebut membuat RUU HIP melupakan aspek historis.

Ia sendiri tak memaparkan lebih jauh soal kaitan antara tudingan ateistik dan sekularistik itu dengan Trisila itu.

Putra Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu juga tidak sepakat Pancasila diatur dalam undang-undang. Sebab, Pancasila adalah dasar negara yang menjadi rujukan pembentukan konstitusi.

"RUU ini berpotensi memfasilitasi monopoli tafsir terhadap Pancasila yang selanjutnya berpotensi menjadi alat kekuasaan yang mudah disalahgunakan dan tidak sehat bagi demokrasi," ujarnya.

Dia menegaskam Demokrat menolak RUU HIP sejak awal. Dia bilang Fraksi Partai Demokrat DPR RI akan menjalankan aspirasi masyarakat untuk menolak RUU itu.

"Kita menolak RUU HIP yang penuh kontroversi dan bisa menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang tidak perlu. Bahkan bisa menghadirkan setback, mundur ke belakang," ucap dia.

Tudingan AHY ini sejalan dengan para tokoh ormas keagamaan yang menentang RUU HIP yang memiliki konsep trisila dan ekasila serta ketiadaan pelarangan komunisme di dalamnya.

Trisila sendiri terdiri atas sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Sementara, ekasila adalah gotong royong.

Kedua konsep ini sendiri dikemukakan oleh Presiden Sukarno dalam pidato pada 1 Juni 1945. Bila menyimak isinya, maksud perasan ide Pancasila itu bukan untuk mereduksi sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, ketuhanan yang tak lepas kehidupan masyarakat dan sebaliknya.

Dalam 'Sekali Lagi tentang Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi', 'Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I', Sukarno tak merujuk makna sosio pada sosialisme ataupun komunisme, tetapi kepada 'masyarakat'.

Artinya, nasionalisme dan demokrasi yang tak lepas dari upaya memperjuangkan perbaikan kondisi sosial sehari-hari saat penjajahan yang penuh dengan penindasan dan ketimpangan ekonomi.