Pancasila dan Keutuhan Bangsa Indonesia

Pancasila dan Keutuhan Bangsa Indonesia

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA 

RIAUMANDIRI.ID - Bangsa Indonesia yang hidup hari ini dihadapkan kepada ujian besar, apakah akan tetap setia menjaga  Negara Kesatuan Republik Indonesia warisan para pejuang  yang telah mengorbankan segenap kemampuan dan nyawa mereka atau berkhianat dengan “mempreteli” warisan itu demi kepentingan-kepentingan sesaat. Terlepas dari benar atau tidaknya isu yang berkembang, adanya sekelompok orang yang ingin mengubah atau bahkan mengganti Pancasila adalah di antara bentuk pengkhianatan itu.

Paling tidak ada lima warisan sangat fundamental yang diwariskan oleh para pendiri bangsa ini untuk rakyat Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda 1928, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45), Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Semua warisan ini mengandung nilai-nilai yang tidak ternilai harganya, sehingga perlu dipahami secara baik dan dipertahankan eksistensinya agar perjalanan bangsa Indonesia tidak salah arah. Memahami serta menghayati nilai-nilai itu harus dijadikan sebagai sebuah keniscayaan, bila kita memang tidak menginginkan negara dan bangsa ini hancur sebagai akibat pengkhianatan kepada para pejuang tersebut.


Tanpa mengurangi arti dari yang lainnya, penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai dasar falsafah hidup bangsa, harus menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dikhawatirkan, bila upaya ini tidak segara dilakukan, kelelompok-kelompok tertentu yang ingin mengubah Pancasila seperti disebut di atas akan dengan leluasa melakukan apa yang diinginkannya, sehingga Indonesia di masa depan menjadi sebuah negara kenangan yang tidak lagi wujud dalam kenyataan. 

Sebelum masuk kepada kajian tentang nilai-nilai yang terkandung di setiap sila yang ada dalam Pancasila, sebuah pemahaman yang perlu disepakati terlebih dahulu adalah bahwa sebenarnya, antara Pancasila dan UUD’45 adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Pancasila ada dalam mukaddimah UUD’45 yang menjadi dasar filosofi bangsa dan menjiwai pasal demi pasal dalam batang tubuh UUD’45 itu sendiri. 

Hakikat dari Undang-Udang Dasar

Konstitusi atau undang-undang dasar bagi suatu negara yang merdeka dan berdaulat menjadi sesuatu yang amat penting dan fundamental keberadaannya, karena merupakan :
1. Falsafah hidup dan idiologi suatu bangsa
2. Dasar dan sumber hukum tertinggi bagi penyelenggaraan negara
3. Kompas yang menentukan arah kehidupan masa depan suatu bangsa berupa idiologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,                      keamanan, dan lain sebagainya.
4. Dasar pembentukan kepribadian dan watak bangsa yang berisi cita-cita nasional.

Substansi UUD’45 dan Pancasila   
1. Tidak dibuat secara instan, tetapi melalui :
    a. Hasil perenungan jiwa yang tulus dan bersih.
    b. Rasa kepedihan dan keprihatinan yang mendalam sebagai bangsa yang lama terjajah.
    c. Keinginan luhur untuk membangun kehidupan berbangsa yang mulia.
    d. Permohonan tuntunan dari Tuhan Yang Maka Kuasa.

2. Sangat menghargai dan memperhatikan :
    a. Latarbelakang sejarah bangsa yang panjang.
    b. Faktor persamaan rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan.
    c. Keinginan bersama menuju cita-cita di masa depan.  

Dua sub judul di atas mengingatkan bahwa keberadaan konstitusi bagi suatu negara berdaulat menjadi sesuatu yang amat fundamental, karena di sana tidak hanya tercantum norma-norma yang bicara secara eksplisit, tetapi juga dasar falsafah hidup dari bangsa bersangkutan. Begitu juga halnya dengan Pancasila dan UUD’45. Falsafah dan undang-undang dasar negara ini bukanlah sesuatu yang dibuat dan jadi secara instan oleh orang-orang yang berfikir sesaat dan sarat dengan kepentingan –kepentingan pribadi, kelompok dan lainnya. Ia merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini dan danut oleh bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang silam sehingga menjadi darah daging dan karakter kehidupan keseharian mereka. 

Hal-hal itulah yang dikristalkan oleh para pendiri bangsa dengan hati yang tulus dan rasa pengabdian yang tinggi untuk negeri. Hal itu juga jauh berbeda dari produk perundang-undangan yang dibuat dalam beberapa dekade terakhir, terutama pasca reformasi yang kental dengan nuansa kepentingan-kepentingan orang atau kelompok-kelompok tertentu. Produk hukum atau nilai-nilai falsafah yang diukir oleh para pejuang telah terbukti membuat bangsa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, suku dan lain sebagainya menjadi bangsa yang bersatu. Riak atau gejolak-gejolak politik yang terjadi akhirnya dapat dirukunkan ketika semua yang bertikai kembali kepada nilai-nilai luhur yang ditorehkan oleh para pejuang itu. Beda halnya dengan apa yang dihasilkan dalam kurun satu setengah dasa warsa terakhir. Pertikaian di mana-mana semakin lama seakan semakin mengantarkan bangsa Indonesia ke jurang perpecahan dan bahkan “permusuhan” yang membahayakan. 

Oleh sebab itu, menumbuhkan kesadaran bersama akan bahaya yang sedang mengintai adalah menjadi kewajiban yang tidak dapat tidak harus ditunaikan oleh segenap pihak yang masih punya kesadaran itu. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk itu. Pengkajian kembali akan falsafah dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila untuk mempertahankan kesatuan bangsa adalah di antara cara yang dipandang representatif untuk dipilih.

Nilai-nilai Filosofi dalam Pancasila

Kita harus jujur bahwa apa yang dilakukan oleh Orde Baru di masa Presiden Soeharto tentang upaya memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila melalui Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) adalah upaya yag harus dihargai dan dipertahankan adanya. Paling tidak, melalui penataran itu, rakyat dan bangsa Indonesia akan menjadi paham dan tidak akan melupakan betapa substansialnya Pancasila untuk negara dan bangsa Indonesia. Memang, dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa masalah dan kekeliruan yang harus diperbaiki, tetapi tidak dengan menghilangkannya samasekali. 

Namun, amat disayangkan, yang dilakukan justru menghilangkan kegiatan itu, sehingga generasi muda sekarang semakin awam dengan falsafah bangsanya sendiri. Ibarat rumah yang banyak tikusnya, bukan tikusnya saja yang dibuang, tetapi rumahnya yang dibakar, sehingga semua anggota keluarga kehilangan rumah tinggal karena benci kepada tikus. Orang Minang menamsilkan perbuatan itu dalam ungkapan “karena tikus seekor, rangkiang dibakar.”

Maka, sebelum keawaman seperti disebut di atas bertambah parah, tulisan ini mencoba mengajak pembaca untuk menggali kembali falsafah dan nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila untuk mempertahankan kesatuan bangsa tetap kokoh di kemudian hari. 

1. Ketuhanan Yang Maha Esa 

Bila dirujuk kepada sejarah lahirnya Pancasila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila utama dan dasar kepribadian bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Sila ini lahir setelah mempelajari dan menghayati perikehidupan bangsa Indonesia sekian lama yang mempercayai adanya Tuhan di jagat raya ini. Walau dalam praktek perwujudan kepercayaan itu terdapat perbedaan, namun secara substansial, jiwa spritualis orang Indonesia mengatakan adanya kekuatan Maha Kuasa yang mengatur alam, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Sila ini menjadi roh yang menjiwai sila-sila berikutnya. Sila ini menjadi dasar pengingat bahwa semua gerak yang dilakukan dalam mengurus bangsa dan negara tidak boleh lepas dari ajaran dan nilai-nilai yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Sila ini memerintahkan manusia Indonesia untuk tunduk dan patuh kepada aturan Tuhan dalam hidup dan dalam menyelenggarakan roda pemerintahannya. Hakikatnya, sila ini mengatakan bahwa orang Indonesia adalah orang yang bertuhan, mempercayai adanya Tuhan, sehingga tidaklah termasuk dalam kategori falsafah bangsa adanya orang Indonesia yang tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, selama dalam agama yang dipeluk terdapat keyakinan akan keesaan Tuhan, maka selama itu pula orang yang menganutnya diakui sebagai bangsa Indonesia, sehingga saling menghormati antara sesama pemeluk agama itu adalah hal yang substansial untuk bangsa Indonesia.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila ini memuat pengakuan yang tinggi terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai sesame anak Adam adalah makhluk yang sama derajatnya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, perlakuan untuk semua adalah perlakuan yang adil, tidak diskriminatif, dan jauh dari unsur-unsur kezaliman. Sila ini memuat azas egalitarianisme, memperlakukan manusia sebagaimana layaknya manusia yang bermartabat, seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam kitab sucinya.

3. Persatuan Indonesia

Sila ini menempatkan persatuan Indonesia sebagai salah satu kewajiban bersama bagi seluruh bangsa Indonesia. Kesatuan dan kepentingan bangsa harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Apa pun bentuknya, semua prilaku atau tindakan yang dilakukan di Indonesia harus mempertimbamngkan prinsip kesatuan dan keutuhan bangsa sebagai bangsa yang satu. Perpecahan menjadi hal yang sangat dilarang dan harus dicegah sekuat tenaga, dengan tetap menghargai perbedaan sebagai dipesankan oleh nilai-nilai Bhinneka Tungal Ika. Perbedaan yang ada tidak dijadikan sebagai alasan untuk berpecah, tetapi sebagai ramuan yang harus dirangkai menjadi sebuah untaian perhiasan yang membuat keindahan untuk bersama. Menjalin persatuan dengan menjadikan wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai alat untuk menghadapi setiap persoalan yang berkaitan dengan persatuan bangsa.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Sila ini mengingatkan bahwa kepemimpinan dalam negara Indonesia adalah kepimimpinan rakyat yang menganut azas kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang menentukan jalannya negara dan rakyat jugalah yang berhak menentukan nasibnya di negara Indonesia. Namun, karena rakyat adalah orang banyak, dan bahkan sangat banyak, maka dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diambil dalam rangka menjalankan roda pemerintahan negara, perlu dilakukan musyawarah. Sila ini memberi garis yang tegas bahwa kerakyatan itu dilaksanakan melalui permuyawaratan yang dilakukan di dalam lembaga perwakilan dengan mengedepankan hikmah (ilmu yang mendalam), bukan dengan kekuatan suara terbanyak atau suara terkeras. 

Sila ini menganut azas demokrasi perwakilan (representatives democracy) yang menuntut agar bangsa Indonesia mengedepankan hikmah dan kebijaksanaan, bukan demokrasi langsung (direct democracy) yang menggunakan kekuatan dan kekuasaan suara mayoritas dan lain sebagainya. Nilai Ketuhanan menjiwai sila ini secara kental, karena dalam kitab suci dikatakan bahwa setiap urusan orang yang beriman itu diambil atas dasar musyarawah mufakat, bukan atas paksaan dengan kekuatan fisik atau suara terbanyak. Sila ini menjunjungtinggi ilmu pengetahuan untuk dijadikan alat dalam bermusyawarah menemukan hikmah kebijaksanaan. Karena, alat musyawarah adalah ilmu, bukan kekuatan. 

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia

Menurut saya, sila ini lebih tertuju kepada pemimpin negara atau para penyelenggara pemerintahan agar memperlakukan seluruh bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan secara adil. Oleh sebab itu, prilaku nepotism, kolutif, dan dan dsikriminatif sangat bertentangan dengan sila ini, dan juga bertentangan dengan yang diajarkan oleh wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa.  

Dari 75 tahun perjalanan sejarah bangsa ini, Pancasila ternyata mampu mampertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cukup banyak pemberontakkan yang terjadi dan gejolak-gejolak politik yang mengarah kepada perpecahan bangsa, namun dengan tetap berpegang kepada filosofi dan rasa tanggungjawab atas amanah para pendiri bangsa, pemberontaan dan gejolak itu akhirnya bisa disatukan, karena memang ada idiologi yang diakui dan dijunjungtinggi keberadaanna secara bersama. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi bila falsafah bangsa yang disusun dengan hati yang begitu tulus oleh para pendiri bangsa itu diubah atau diganti, atau dipreteli atas dasar kepentingan-kepentingan golongan. 

Keteguhan kepada nilai-nilai Pancasila mulai hari ini dan seterusnya harus dijadikan prioritas dan keniscayaan bagi seluruh bangsa Indonesia hari ini, karena bukti empiris di lapangan akhir-akhir ini menunjukkan betapa negara dan bangsa ini sedang berada diambang bahaya perpecahan, ketika nilai-nilai Pansasila mulai dilengahkan. Hampir di setiap sila dari falsafah bangsa itu terjadi penyimpangan-penyimpangan yang signifikan. Dari sila pertama muncul gejolak faundamentalis dan ekstrimis atas nama agama dan atau ketuhanan. Agama akhirnya dijadikan alat pemecahbelah, karena menganggap paham yang dianut oleh sekelompok orang dijadian sebagai alat untuk menyerang kelompok lain yang tidak sepaham. Sila kedua dilanggar dengan prilaku ketidakadilan dan bahkan kebiadaban yang melanggar hak-hak milik orang lain dengan menggunakan kekuasan atau kekuatan yang dimiliki. Sila ketiga dikhianati dengan memperbesar sentimen kesukuan dan kedaerahan secara ekstrim, sehingga secara lagsung juga mengkhianati sumpah pemuda tahun 1928. Sila ke empat dikhianati dengan menonjolkan kekuatan kelompok dan mengenyampingkan nilai-nilai keilmuan dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. 

Hampir semua level pasca reformasi menggunakan suara terbanyaknya untuk mengejar kepentingan dan keinginan-keinginannya dengan mengalahkan orang atau kelompok lain yang tidak mempunyai suara terbanyak itu. Demokrasi di Indonesia pasca reformasi menjadi kacau balau, karena keluar dari prinsip demokrasi yang diajarkan dalam sila ke empat Pancasila ini, yaitu musyawarah dengan hikmah. 

Akhrinya sampailah kita kepada kesimpulan bahwa bangsa dan negara Indonesia akan tetap utuh bila berpegangteguh kepada Pancasila. Inilah jati diri yang sebenarnya dari bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, mengubah Pancasila, apalagi mempermain-mainkannya dengan memeras-merasnya menjadi tri dan eka sila demi kepentingan politik sesaat, berarti negara ini tidak lagi bernama Indonesia. ***

*Penulis adalah Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI ) Riau dan Ketua Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Riau