Syahrul Aidi: Permenhub 41 Berpeluang Munculkan Gelombang Kedua Covid-19

Syahrul Aidi: Permenhub 41 Berpeluang Munculkan Gelombang Kedua Covid-19

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Anggota DPR RI Komisi V, Syahrul Aidi Ma'azat mengkritisi perubahan Permenhub 18 Tahun 2020 menjadi Permenhub 41 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Mencegah Penyebaran Covid-19. Salah satu aturan yang dikritisi Aidi adalah revisi jumlah penumpang moda transportasi dari maksimal 50 persen dari kapasitas, menjadi 70 persen. 

"Permenhub ini membuka peluang besar terjadinya gelombang kedua pandemi Covid-19 yang luar biasa. Karena ketidakkonsistenan isinya, di saat orang di suruh jaga jarak namun persentase orang berkumpul dalam 1 moda transportasi melebihi 70% atau tidak dibatasi di beberapa moda," ujarnya kepada Riaumandiri.id, Selasa (9/6/2020).

Ia menambahkan, "Pertanyaan selanjutnya, logika apa yang mau dibangun pemerintah untuk menyelamatkan masyarakatnya? Orang-orang di suruh mengikuti protokol kesehatan, tapi di lain sisi orang-orang dihadapkan dengen peperangan yang  nyata di garda terdepan dengan pandemi Covid-19."


Selain itu, menurut Aidi perubahan Permenhub ini tidak didasari referensi yang jelas dan akan mengakibatkan pelaksanaan absurd di lapangan. 

"Relaksasi pembatasan dalam Permenhub 41 Tahun 2020 ini tidak ada referensi yang jelas karena memang new normal hanya diklaim sepihak pemerintah tanpa beleid yang jelas," ujarnya.

"Efek dari ketidakjelasan new normal ini mengakibatkan teknis pelaksanaan lapangan menjadi absurd. Contoh saja, Permenhub ini pada pasal 14a mengambil diskresi menteri dengan tidak mencantumkan persentase/kuantitas pembatasan. Alhasil, nanti akan terjadi kemungkinan diskriminasi penerapan di lapangan. Ada yang diperbolehkan ada yang tidak," paparnya. 

Ia meminta kepada pemerintah agar tidak gegabah mengambil keputusan tanpa dasar riset yang jelas. Sebab, persoalan epidemologi tak bisa diselesaikan dengan klaim tanpa standar yang jelas.

"Sekali lagi kami menghimbau pemerintah agar lebih arif dan bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan berdasarkan riset. Sekali lagi riset dulu baru keluarkan kebijakan. Karena persoalan epidemologi tidak bisa memakai perkiraan sepihak yang tidak jelas goal dan standarnya," tutupnya.

 

Reporter: M. Ihsan Yurin