Enam Amicus Curiae Dilayangkan Bela Bongku, Petani Sakai yang Dikriminalisasi

Enam Amicus Curiae Dilayangkan Bela Bongku, Petani Sakai yang Dikriminalisasi

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Hingga saat ini, ada 6 amicus curiae dari akademisi yang bertujuan membela Bongku, masyarakat adat Sakai yang dikriminalisasi sebab diduga berniat merusak hutan.

Keenam amicus tersebut dilayangkan oleh Hariadi Kartodihardjo (guru besar kebijakan kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor), Erdianto (dosen hukum pidana Universitas Riau), Mexsasai Indra (dosen pada program magister Ilmu Hukum Universitas Riau), Hayatul Ismi (dosen Fakultas Hukum Universitas Riau), Zainul Akmal (dosen Fakultas Hukum Universitas Riau).

Selanjutnya Grahat Nagara (dosen hukum adminitrasi negara Universitas Indonesia sekaligus dosen hukum agraria Sekolah Tinggi Hukum Jentera) dan Roni Saputra (peneliti hukum Yayasan Auriga Nusantara). Kemudian satu amicus curiae dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM).


Amicus curiae yang secara harfiah berarti "teman pengadilan" adalah seseorang (seorang atau pun kelompok dan organisasi) yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang berkaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Namun, pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak.

Kasus ini bermula ketika Bongku membuka lahan untuk ditanami ubi kayu dan ubi menggalo. Ia menggarap lahan tanah ulayat yang berada di areal Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT. Arara Abadi distrik Duri II, Kabupaten Bengkalis.

"Minggu, 3 November 2019 Bongku ditangkap oleh security PT Arara Abadi. Bongku kemudian ditahan oleh Kepolisian Sektor Pinggir, Kabupaten Bengkalis sebelum akhirnya disidangkan pertama kali pada 24 Februari 2020," ujar Direktur LBH Pekanbaru, Andi Wijaya, Selasa (28/4/2020).

Bongku adalah masyarakat adat Sakai yang merupakan suku adat di Suluk Bongkal. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani tradisional untuk menghidupi keluarganya dengan bertanam ubi kayu, ubi menggalo (ubi racun) yang dapat diolah menjadi menggalo mersik, salah satu makanan tradisional masyarakat adat Sakai.

Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menghadirkan 3 orang, yaitu saksi Harianto Pohan (Security PT AA), Usman (Security PT AA), dan Sudarta (Planing Survey).

Sementara itu, penasehat hukum Bongku menghadirkan 6 orang saksi, yaitu Syafrin, Jumadel, Azri, Rabi Muslim yang merupakan masyarakat adat suku sakai, kemudian Ridwan selaku Batin Pembumbung, serta Goldfried Pandiangan selaku mantan Humas PT AA.

"Kesemua saksi menerangkan bahwa lokasi kejadian merupakan lahan perjuangan masyarakat suku Sakai yang sejak dulu sudah menjadi tanah ulayat mereka. Ada sekitar 7.158 ha yang menjadi hasil perjanjian mediasi dan disepakati oleh saksi Goldfried Pandiangan selaku humas pada saat itu. Dan sampai saat ini belum terselesaikan oleh pemerintah," jelas Andi.

Penasehat hukum juga menghadirkan ahli Datuk Al Azhar dari LAM Riau untuk menjelaskan terkait sejarah masyarakat adat dan konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan yang ada di Riau, khususnya masyarakat adat suku Sakai.

Selain itu ada juga Dr Ahmad Sofian selaku ahli pidana menjelaskan tentang muatan dari UU P3H yang diterapkan kepada terdakwa.

"Pada intinya UU P3H dibentuk untuk kejahatan yang terstruktur dan teroganisir, bukan untuk masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan," ucap Andi.

Dalam pledoi, penasehat hukum berpendapat bahwa jaksa penunut umum tidak tepat menggunakan pasal dalam UU P3H karena undang-undang ini hanya tepat digunakan bagi perusahaan besar, cukong, dan pelaku perusakan hutan dengan skala besar. UU P3H tidak tepat digunakana bagi masyarakat tempatan atau masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan dan hasil pertanian.

"Dalam fakta persidangan, terungkap tidak satu pun fakta menjelaskan bahwa terdakwa melakukan penebangan pohon tersebut bertujuan ataupun berniat untuk merusak hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 Ayat (1) huruf c, 82 Ayat (1) Huruf b dan c UU Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sesuai dalam surat dakwaan jaksa," jelas Andi.

"Terdakwa melakukan penebangan bertujuan untuk berladang tradisional. Terdakwa akan menaman ubi kayu, ubi racun atau ubi menggalo yang merupakan makanan tradisional masyarakat adat Sakai. Bahwa berladang tradisional yang dilakukan oleh terdakwa tidak akan menimbulkan kerusakan hutan sebab adat suku Sakai memiliki tradisi untuk menjaga ekosistem hutan, alam dan lingkungan," tambah Andi.

Terkait keterangan saksi dalam persidangan tersebut, penasehat hukum menghadirkan alat bukti yang dilampirkan dalam nota pembelaan, yaitu sejarah konflik dan bukti mediasi yang dilakukan antara PT AA dan masyarakat suku Sakai.

"Saat ini penegakan hukum perusakan hutan hanya mampu menyasar pada orang miskin dan buta hukum yang hanya menggunakan lahan untuk bertanam tanaman tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari hari. Hal itulah yang membuat LBH Pekanbaru hadir mendampingi Pak Bongku agar mendapatkan pembelaan dan hak-haknya dalam proses hukum agar terciptanya prinsip persidangan yang fair. Jangan jadikan hukum itu sebagai alat untuk memenjarakan orang-orang miskin dan buta hukum dan jangan jadikan hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas," tutup Andi.


Reporter: M. Ihsan Yurin