Dosen Unri Ajukan Amicus Curiae Terkait Kriminalisasi Petani Rohul

Dosen Unri Ajukan Amicus Curiae Terkait Kriminalisasi Petani Rohul

RIAUMANDIRU.ID, PEKANBARU - Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau (Unri) mengajukan amicus curiae (pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan) terkait kasus kriminalisasi petani asal Rohul, Iwan, yang didakwa melakukan pembakaran lahan dan dituntut 4 tahun kurungan penjara serta denda Rp300 juta subsider 3 bulan.

Dilansir dari Riaupos.co, Iwan ditangkap Polsek Rambah Hilir pada 20 Agustus 2019 lalu sebab diduga membakar lahan dan hutan dengan sengaja seluas 1/3 dari 700 meter persegi atau sekitar 250 meter di lahan kebun karet tua milik pamannya. Rencananya, lahan tersebut akan ditanami padi.

Amicus curiae yang secara harfiah berarti "teman pengadilan" adalah seorang ataupun kelompok dan organisasi yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang berkaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Namun, pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak.


"Dasar JPU menuntut Iwan, pertama Iwan adalah seorang pekebun, kedua Iwan membakar beberapa tumpukan/kumpulan ranting dan tunggul kayu untuk membersihkan lahan, ketiga adanya usaha memadamkan api dari tumpukan/unggukan yang dibakar oleh polisi, keempat Iwan tidak ada izin dari pihak berwenang, kelima bukti surat keterangan ahli kebakaran hutan dan lahan, Bambang Hero Saharjo, 27 September 2019 yang tidak dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan, keenam lahan yang rusak akibat terbakar seluas 0,3 hektare," tulis Zainul dalam amicusnya, Jumat (28/2/2020).

Dalam amicus terhadap perkara bernomor Reg: 311/Pid.B/LH/2019/PN.Prp tersebut, terdapat beberapa argumentasi yaitu:

Argumentasi Peratama

1. UU yang bersifat spesialis dan berhubungan dengan larangan membakar ada tiga, yaitu UU No. 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Tiga UU ini tidak bisa dipandang terpisah antara satu dengan yang lainnya, dan juga tidak bisa dipandang yang satu lebih tinggi dari yang lainnya atau yang satu menegasi/meniadakan yang lainnya. Namun ketiga UU memiliki spesialisasi tersendiri. Hal yang perlu diperhatikan adalah di antara ketiga UU ini yang lebih spesipik dan menjadi induk tentang pengaturan larangan membakar. UU yang lain yang juga mengatur tentang larangan membakar, harus diselaraskan serta disesuaikan dengan undang-undang yang lebih spesifik dalam mengatur larangan membakar.

3. UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menjadikan usaha perkebunan sebagai alat membangun perekonomian. UU Perkebunan adalah UU spesialis tentang perkebunan. UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bertujuan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup yang baik sehingga bisa melindungi seluruh ekosistem. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah spesialis tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4. Larangan membakar bertujuan untuk melindungi dan melestari lingkungan hidup bukan untuk melarang orang berkebun atau bertani, oleh sebab itu UU No. 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan tidak bisa dipisahkan dengan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

5. Tuntutan JPU yang menggunakan Pasal 56 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan seharusnya dipandang terhubung dengan Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

6. Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing." Pada ayat (1) huruf h Pasal 69 memang dilarang membuka lahan dengan cara membakar, namun pada ayat (2) ada penekanan bahwa penegakan hukum terhadap larangan membakar lahan harus memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah. Dipertegas lagi pada penjelasan ayat (2) bahwa, “kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjala rana api ke wilayah sekelilingnya.

7. Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) seseorang diperbolehkan membakar lahan, asalkan syarat sebagai kearifan lokal yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 terpenuhi. Adapun syaratnya sebagai berikut: a. Pembakaran lahan dilakukan dengan luas lahan maksimal 2 hektar. b. Pelaku yang akan membakar  lahan 2 hektar tersebut, tidak lebih dari satu kepala keluarga. c. Tujuan pembakaran untuk penanaman jenis tanaman varietas lokal. c. Lahan yang akan dibakar harus dikelilingin sekat bakar agar api tidak menjalar kelahan lainnya.

8. Larangan membakar bagi pekebun bisa dikecualikan apabila sesuai dengan kearifan lokal, asalkan pekebun menanam tanaman varietas lokal (padi, sayur-sayuran, dan tanaman lainnya yang bersifat lokal).

9. Berdasarkan fakta persidangan, bahwa Iwan adalah petani lokal yang akan menanam padi dan sayur-sayuran yang merupakan varietas lokal. Iwan adalah kepala keluarga dengan tanggungan ibunya seorang janda. Iwan hanya membakar 0,3 hektar pada saat ditangkap sesuai dengan tuntutan ganti rugi JPU. Iwan membakar dengan cara mengumpulkan/menumpukan ranting kayu dan tunggul kayu dalam beberapa tumpukan dan sudah membuat sekat bakar.

10. Tanpa ada sekat pun, jika membakar dengan cara mengumpulkan/menumpukan ranting kayu dan tunggul kayu menjadi beberapa tumpuk, maka dengan sendirinya sudah ada sekat antara yang dibakar dengan lahan lainnya.

11. Sekat bakar yang menjadi lahan pembatas antara yang dibakar dengan lahan lainnya tidak harus dalam bentuk kanal, karena lahan tanah keras yang berarti bukan gambut tidak sama dengan lahan gambut yang mudah menjalar. Pembatas dalam bentuk kanal/parit hanya digunakan dalam proses membakar lahan gambut yang dangkal. Iwan membakar di tanah keras bukan lahan gambut.

12. Hutan yang ada disekitar lahan yang dibakar tidaklah berbahaya, karena lahan yang dibakar adalah tanah keras dan bukan gambut serta sudah ada sekat bakar, sehingga sangat kecil kemungkinan akan menjalar. Ditambah lagi Iwan mengawasi lahan yang dibakarnya dan api pada saat para penegak hukum datang sudah mulai padam.

Argumentasi kedua

1. Tidak adanya izin untuk membakar lahan dari pihak berwenang, tidak menyebabkan Iwan bisa dituntut secara pidana. Secara subtansi Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mebolehkan petani membuka lahan dengan cara membakar asalkan sesuai dengan“kearifan lokal” sebagaimana yang dimaksud pada penjelasan Pasal 69 ayat (2). 

2. Permasalahan tidak adanya izin adalah perkara administrasi, sehingga hukumannya harus berdasarkan ketentuan administrasi pada Permen LH No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

3. Disebabkan tidak ada sanksi dari Permen LH tersebut,yang mengatur tentang perlunya izin membakar, maka Iwan tidak layak juga diberi sanksi secara administrasi.

Argumentasi ketiga

1. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor. 036/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, BAB V bagian C. Pembuktian Tindak Pidana Lingkungan, menjelaskan bahwa, “Alat bukti surat hasil labroratorium, dituangkan dalam bentuk tertulis dan dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan."

2. Melihat fakta persidangan, dengan tidak hadirnya ahli Bambang Hero Saharjo, maka alat bukti berupa surat hasil laboratorium yang dijadikan JPU sebagai dasar untuk menuntut Iwan tidak mendapatkan penguatan. 

3. Pembacaan keterangan ahli yang tidak menghadiri persidangan tidak memiliki dasar hukum, karena saksi dan ahli memiliki pengertian berbeda.

Argumentasi keempat

1. Tentang luas lahan, JPU tidak konsisten. Berdasarkan surat keterangan ahli yang dimilikinya, perkiraan luas lahan yang dibakar adalah 0,7 hektar, namun dalam rangka pemulihan lahan yang rusak hanya untuk luas 0,3 hektar.

2. Berdasarkan tuntutan tentang perlunya pemulihan lahan seluas 0,3 hektar, maka lahan 0,4 hektar dari 0,7 hektar luas lahan keseluruhan yang diperkirakan jaksa telah dibakar Iwan, patut diyakini telah kembali normal dan tidak rusak.

3. Berdasarkan Iwan membakar lahanya 0,7 hektar dengan cara membagi tiga kali proses pembakaran/tahap, dalam jangka waktu lebih kurang dua bulan dengan metide kearifan lokal, maka patut diyakini bahwa dugaan terjadi perusakan lingkungan hidup tidak bisa dibenarkan. Sebab dua tahap pembakaran sebelum Iwan ditangkap telah kembali normal dan membaik dan tahap ketiga pada saat Iwan ditangkap patut diyakini juga sudah membaik. 

Argumentasi kelima

1. Jika dipaksakan perbuatan Iwan sebagai perbuatan yang melanggar Pasal 56 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, maka hak-hak masyarakat di daerah-daerah yang hidup dengan cara bertani akan dilanggar oleh negara. Petani akan ketakutan untuk bertani dan melihat kondisi sosial petani pada umumnya, sebagian besarnya petani tidak sanggup menggunakan alat berat untuk membersihkan lahan. Kearifan lokal yang merupakan salah satu kekayan Indonesia juga akan terkikis. Keterpurukan ekonomi negara juga akan semakin parah disebabkan petani tidak bisa bertani dan kebutuhan pokok pun tidak terpenuhi. Keberlangsungan hidup manusia akan terancam dan hal ini bertentangan dengan asas serta tujuan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2009.

2. Perlindungan terhadap lingkunan hidup juga termasuk perlindungan terhadap manusia. Pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan lainnya.

3. Prinsip – prinsip penaatan dan penegakan hukumlingkungan harus berdasarkan asas-asas kebijakan lingkungan. Salah satunya asas Keadilan Pemanfaatan Sumber Daya (Equitable Utilization of Shared Resources). Prinsip ini menekankan pentingnya alokasi penggunaan sumber daya alam yang terbatas secara berkelanjutan dan berkeadilan, berdasarkan pada faktor kebutuhan, penggunaan oleh generasi sebelumnya, hak kepemilikan pengusahaan, dan kepentingan.

4. Iwan selaku petani tidak menggunakan sumber daya alam dengan cara berlebihan dan sesuai dengan kebutuhannya. Iwan juga tidak meninggalkan kearifan lokal dalam mengelola lahannya. JPU sepertinya tidak jeli melihat permasalahan yang menjadi argumentasi amicus curiae dalam membuat surat tuntutan, sehingga membuat tuntutan yang sangat jauh dari nilai-nilai keadilan. 

5. Tentunya Yang Mulia telah tahu bahwa "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Amicus curiae berharap putusan dalam kasus Iwan bukan hanya menegakkan hukum tetapi juga keadilan.

6. Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib berkata,: ”Keadilan juga mempunyai empat aspek, pertama pemahaman yang tajam, kedua pengetahuan yang mendalam, ketiga kemampuan yang prima untuk memutuskan, keempat dan ketabahan yang kukuh. Maka barang siapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan. Barang siapa yang mendapatkan kedalaman pengetahuan, maka akan keluar darinya keputusan-keputusan hukum yang adil. Dan barang siapa yang berlaku tabah, maka dia tidak akan melakukan perbuatan yang jahat dalam urusannya dan akan menjalani kehidupan yang terpuji diantara manusia.”


Reporter: M. Ihsan Yurin



Tags Hukum