Anwar Ibrahim Mencium Adanya Pengkhianatan Sebelum Mahathir Mundur

Anwar Ibrahim Mencium Adanya Pengkhianatan Sebelum Mahathir Mundur

RIAUMANDIRI.ID, Kuala Lumpur - Perdana Menteri (PM) Malaysia, Mahathir Mohamad, telah mengajukan surat pengunduran diri kepada Raja Malaysia hari ini. Sikap itu diambil Mahathir setelah Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) yang menaunginya memutuskan keluar dari koalisi pemerintahan Pakatan Harapan (PH) yang berkuasa. Berbagai spekulasi pun beredar bahwa PPBM akan membentuk pemerintahan baru tanpa Anwar Ibrahim.

Seperti dilansir Associated Press, Senin (24/2/2020), rencana keluarnya PPBM dari koalisi PH itu memicu spekulasi bahwa partai yang menaungi Mahathir itu akan bergabung dengan mantan musuhnya untuk membentuk pemerintahan baru dan menghalangi Anwar Ibrahim untuk menempati kursi PM Malaysia.

Diketahui bahwa PPBM membentuk koalisi bersama Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang dipimpin Anwar, juga dengan Partai Tindakan Demokratis (DAP) dan Partai Amanah dalam pemilu 2018 untuk melengserkan koalisi Barisan Nasional yang dipimpin UMNO, yang saat itu diketuai eks PM Najib Razak.


Manuver politik itu akan memampukan Mahathir tetap dalam kekuasaan dan menghalangi Anwar untuk menjabat PM Malaysia, mengulang kembali permusuhan lama beberapa dekade lalu. Diketahui bahwa saat Mahathir menjabat PM Malaysia beberapa tahun lalu, Anwar yang menjabat Wakil PM dilengserkan dari kursinya dengan tudingan kasus korupsi dan sodomi. Mahathir dan Anwar sepakat membentuk koalisi dalam pemilu Mei 2018 untuk melengserkan Najib.

Hubungan antara Mahathir dan Anwar diwarnai gejolak, dengan Mahathir menolak untuk menetapkan tanggal penyerahan kekuasaan kepada Anwar meskipun ada kesepakatan pra-pemilu untuk hal tersebut.

Pada Minggu (23/2) malam, Anwar mengonfirmasi adanya upaya dari beberapa anggota Partai PPBM dan 'sejumlah pengkhianat' dari partainya sendiri, PKR, untuk membentuk pemerintahan baru. Namun demikian, Anwar menekankan saat itu bahwa situasinya masih cair.

Diketahui bahwa Wakil Ketua PKR, Azmin Ali, yang juga menjabat Menteri Perekonomian Malaysia bersama Ketua PPBM, Muhyiddin Yassin, yang juga menjabat Menteri Dalam Negeri, merapatkan barisan dengan sejumlah ketua partai oposisi. Keduanya diketahui menggelar rapat dengan oposisi di sebuah hotel di pinggiran Kuala Lumpur pada Minggu (23/2) waktu setempat.

Laporan media lokal Malaysia menyebut rapat itu juga dihadiri oleh Partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Partai Islam Malaysia (PAS). Hal ini semakin memicu spekulasi soal pergeseran loyalitas politik di antara anggota koalisi pemerintahan.

Ironis, manuver politik ini berpotensi mengembalikan kekuasaan pada UMNO yang kini beberapa pejabatnya, termasuk Najib, disidang terkait kasus korupsi. Diketahui bahwa UMNO dan PAS masih mendapat dukungan kuat dari warga etnis Melayu di Malaysia yang mencapai 60 persen dari total 32 juta jiwa penduduk negara itu.

Azmin, Muhyididin dan beberapa tokoh politik dari UMNO, PAS serta dua partai lainnya dari Borneo, dilaporkan bertemu Yang di-Pertuan Agong, Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah, pada Minggu (23/2) waktu setempat untuk meminta dukungan. Rumor soal pengumuman pemerintahan baru sempat diperkirakan akan disampaikan pada Minggu (23/2) kemarin, namun tidak terwujud.

Anwar pada Minggu (23/2) waktu setempat memberitahu pendukungnya bahwa dia 'terkejut' dan menyebut manuver politik itu sebagai 'pengkhianatan'. Dia menyebut ada 'pengkhianatan' terhadap kesepakatan soal transisi kekuasaan yang disepakati sebelum pemilu 2018 lalu. Kendati demikian, Anwar tetap tenang dan menyebut semua ini sebagai 'cobaan kecil'.

Gejolak politik terus berlanjut. Anwar dan istrinya, Wan Azizah Wan Ismail, yang menjabat Wakil PM mendatangi rumah Mahathir pada Senin (24/2) waktu setempat. Usai pertemuan itu, Anwar enggan mengungkapkan isi pembahasan dirinya dengan Mahathir dan hanya menyebutnya sebagai 'pertemuan yang baik'.

Beberapa saat setelah itu, Mahathir mengumumkan pengunduran dirinya pada Senin (24/2) waktu setempat. Pengunduran diri ini masih membutuhkan persetujuan Yang di-Pertuan Agong.