Selama 2019, 6.895 Pengguna Internet Diselidiki Polisi karena UU ITE

Selama 2019, 6.895 Pengguna Internet Diselidiki Polisi karena UU ITE

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai Indonesia masih harus menghadapi sejumlah tantangan terkait dengan perlindungan hak digital di Indonesia.

Menurut SAFEnet, pemerintah malah semakin membatasi ketika jumlah pengguna internet di Indonesia semakin meningkat.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto menjelaskan, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 171,17 juta atau 64,8 persen dari total populasi Indonesia. Namun, pemerintah malah melakukan kontrol terhadap laman ataupun media sosial dengan cara melakukan pemblokiran ataupun sensor.


"Terutama yang terjadi terhadap lesbian, gay, biseksual, waria, dan interseks (LGBTI) dan kelompok aktivis Papua," kata Damar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (21/12/2019).

Kemudian menurutnya, pemerintah juga melanggar hak warga atas akses informasi dengan cara melakukan pemadaman internet atau internet shutdown. Setidaknya, pemerintah melakukan internet shutdown hingga tiga kali di beberapa daerah selama 2019.

"Pemadaman internet digunakan sebagai cara baru bagi pemerintah untuk mengendalikan informasi, membatasi akses ke informasi dan menyensor internet," ujarnya.

Undang-Undang ITE yang juga dibuatkan pemerintah pada 2008 nyatanya membuat aksi kriminalisasi semakin memburuk.

Dari data yang dimiliki SAFEnet, 6.895 orang sudah diselidiki oleh polisi, dengan rincian 38 persen (2.623 kasus) terkait dengan penghinaan terhadap tokoh, penguasa, lembaga publik, 20 persen (1.397 kasus) terkait dengan penyebaran hoaks, 12 persen (840 kasus) terkait dengan pidato kebencian, dan sisanya atas tindakan lain.

Tidak sedikit juga kasus itu dilimpahkan ke pengadilan. Setidaknya ada 525 kasus hukum terkait UU ITE tercatat di Mahkamah Agung.

DPR RI juga sempat merumuskan Revisi Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) pada 2019 namun urung disahkan karena adanya polemik.

Menurutnya, RUU KKS tersebut tidak melibatkan multi-pemangku kepentingan dalam proses penyusunan RUU keamanan siber ini.

Tidak ada diskusi dengan lembaga pemerintah lainnya, tidak ada dialog dengan sektor swasta terkait dengan keamanan siber atau e-commerce, bahkan tidak meminta masukan dari masyarakat sipil.

Berangkat dari hal tersebut, Damar menilai kalau pemerintah mengartikan keamanan dunia maya ialah bagian dari keamanan nasional. Akibatnya, kebijakan keamanan siber seperti itu akan kontraproduktif dan cenderung melanggar hak digital, dan juga mengancam pengakuan hak asasi manusia dan demokrasi.

Karena itu Damar menganggap kalau Indonesia masih memiliki banyak tantangan terutama di dalam perlindungan hak warga negara dalam dunia digital.

"Tantangan-tantangan ini perlu ditangani secepatnya, karena Indonesia masih belum memiliki peraturan untuk melindungi privasi data daring dari penambangan data dan pemanfaatan ilegal yang melanggar hak digital," katanya.



Tags Teknologi