Terkait Impunitas, Muhammadiyah Minta UU Polri Direformasi

Terkait Impunitas, Muhammadiyah Minta UU Polri Direformasi

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Muhammadiyah menilai pemerintah perlu mengambil kebijakan terkait impunitas dalam kepolisian. Hal ini diungkap Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo. 

Masalah impunitas menjadi sorotan setelah ia melihat sejumlah kasus yang melibatkan aparat polisi dan hanya ditindak secara kode etik, tanpa adanya penegakan hukum.

Salah satunya adalah kasus penembakan terhadap dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) pada saat terjadi demo ricuh di Kendari. Saat itu demonstrasi dilakukan sebagai bentuk aksi protes kepada DPR RI atas sejumlah aturan. Sehingga menurut Trisno, perlu dilakukan reformasi Undang-Undang Kepolisian Tahun 2002. 


"Tentu dalam hal ini perlu dipikirkan untuk melakukan reformasi terhadap UU Kepolisian RI. Saya kira, UU 2002 tentang kepolisian itu belum secara utuh mengatur tentang demokratisasi polisi sebagaimana yang dikembangkan oleh PBB, banyak konsep, tapi aturannya belum," kata Trisno saat mengelar konferensi pers di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (2/12).

Menurut dia, polisi perlu mengedepankan dan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melakukan tugas sebagai pengamanan negara. Ia pun menyoroti sejumlah peristiwa unjuk rasa yang terjadi selama 2019.

"Apalagi peristiwa-peristiwa di Mei 2019, ini banyak sekali (HAM) yang dilanggar oleh pihak kepolisian," kata dia.

Senada, Kepala Tim Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri menilai impunitas terhadap hukum semakin menguat terlebih dilakukan oleh lembaga penegak hukum. 

Pihaknya menyoroti juga sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi akibat penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan. Hal ini, kata dia, telah berujung pada pembunuhan yang diakibatkan oleh peristiwa politik.

"Semakin memperkuat persepsi publik bahwa lembaga keamanan, lembaga penegak hukum adalah lembaga yang hari ini memperkuat praktik impunitas di Indonesia," katanya. 

Dalam kasus dua mahasiswa UHO di Kendari misalnya, Puri melihat bahwa penanganan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanya sebatas proses yang cenderung belum dapat terungkap.

"Saya terutama ingin menggarisbawahi kelemahan dari sistem penyelidikan internal di lembaga kepolisian ini sebenarnya bisa jadi hambatan untuk negara dalam menghadirkan kualitas keadilannya," pungkas Puri.

Seperti diketahui, polisi baru menetapkan Brigadir Abdul Malik sebagai tersangka dalam kasus penembakan mahasiswa UHO. Malik merupakan satu dari enam polisi yang sebelumnya berstatus terperiksa dan melanggar disiplin karena membawa senjata api pada saat mengamankan aksi.
Lihat juga: Polisi Tetapkan 20 Tersangka Kasus Makar di Papua

Sebelumnya, Malik dan lima anggota Polri lainnya mendapat sanksi disiplin berupa penundaan gaji selama setahun, penundaan kenaikan pangkat selama setahun, penempatan di tempat khusus selama 21 hari. 

Malik sebelumnya memang diduga menjadi tersangka dalam kasus meninggalnya Randi. Sebab sebelumnya, kuasa hukum korban Sukdar menyebut, kasus tewasnya Randi sudah naik ke tahap penyidikan. Penyidikan dimaksud disertai dengan terbitnya SPDP ke Kejati Sultra.

Peristiwa meninggalnya Randi dan Yusuf memiliki penyebab yang berbeda berdasarkan keterangan polisi. Randi meninggal karena luka tembak di dada kiri bawah ketiak dan tembus dada kanan. Hal ini dikuatkan dengan hasil autopsi dokter forensik.

Apa Impuntas?

Dikutip dari laman referensi.elsam.or.id, Impunitas merupakan sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Biasanya ini terjadi dari penolakan atau kegagalan sebuah pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku. Impunitas dapat juga berupa pemberian pengampunan dari pejabat pemerintah. Tindakan seperti ini juga merupakan penghinaan dan tidak disetujui dalam hukum internasional hak asasi manusia.