Fadli Zon: Jabatan Presiden Dua Periode Sudah Jadi Konvensi Internasional

Fadli Zon: Jabatan Presiden Dua Periode Sudah Jadi Konvensi Internasional

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Anggota MPR dari Gerindra Fadli Zon mengakui, mengamandemen konstitusi bukan hal yang haram. Namun wacana untuk amandemen itu  harus dikaji secara mendalam.

"Jangan sampai sekadar untuk kepentingan sesaat dan parsial," kata Fadli Zon dalam diskusi bertema "Menakar Peluang Amandemen Konstitusi", di Media Center, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2019).

Karena menurut Wakil Ketua Umum Gerindra itu, seringkali melakukan perubahan itu, baik perubahan konstitusi maupun UU, sangat tergantung kepada satu situasi dicari dan yang menguntungkan. Salah satu yang dicontohkannya UU Pilkada.


"Jadi aturan disesuaikan dengan kepentingan sesaat. Ini yang menurut saya sangat membahayakan demokrasi kita. Apalagi sekarang ada wacana lagi mau menambah jabatan presiden menjadi tiga periode. Saya kira ini bukan hanya memundurkan demokrasi, tetapi mematikan demokrasi kita," tegas Fadli Zon.

Menurut Fadli Zon, wacana menambah jabatan presiden menjadi tiga periode sangat berbahaya. Karena wacana itu ada kecenderungan dari petahana yang berusaha untuk extend kekuasaannya.

"Ada penelitian, setidaknya ada lima cara dari seorang petahana untuk mempertahankan kekuasaannya, salah satunya termasuk untuk mengubah konstitusi, melakukan tafsir terhadap konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi dam sampai berusaha untuk menunda pemilu," kata Fadli Zon.

Menurut Fadli, jika memang masih komit terhadap demokrasi, maka sebaiknya tetap dengan apa yang ada saat ini. Masa jabatan presiden 2 periode menurut dia sudah menjadi satu konvensi internasional dan perlu untuk regenerasi.

"Jangan sampai ditambah-tambah karena itu akan menimbulkan kalau dibuka lagi kotak pandora kita. Jadi menurut saya sudah selesaikan saja itu di situ dan distop. Jangan sampai ini diperpanjang karena membuka kotak pandora dan membahayakan demokrasi kita," tegas Fadli Zon.

Ketua Fraksi Golkar di MPR, Idris Laina, menegaskan,  konstitusi negara itu memang bisa dirubah tetapi jangan lupa Undang-undang Dasar 45 adalah konstitusi dasar bagi negara.
Semua perundang-undangan, termasuk peraturan peraturan daerah mengacu kepada Undang-undang Dasar 1945.

"Jadi bayangkan, kalau Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi konstitusi negara kita itu terus selalu dilakukan perubahan, ini akan menjadi persoalan tersendiri karena penyelesaian bukan persoalan yang gampang," tegas Idris Laina.

Karena itu, kata dia, partai Golkar melalui fraksi partai Golkar MPR,  akan melakukan kajian yang mendalam dan mengukur sejauh mana keinginan untuk melakukan amandemen kelima UUD 1945.

"Sejujurnya kami terus melakukan kajian. Ada perbedaan antara Indonesia dengan negara lain. Di beberapa negara kalau melakukan perubahan konstitusi, mereka melakukan dengan referendum. Tapi kalau di Indonesia tidak," ungkapnya.

Wakil Ketua Fraksi PPP MPR RI, Syaifullah Tamliha mengatakan bahwa terlalu sulit untuk melakukan amandemen konstitusi setelah melihat perkambangan selama ini. "Jangan kan untuk soal jabatan presiden, GBHN saja sampai detik-detik terakhir itu tidak ada kesepakatan," ungkapnya. 


Reporter: Syafril Amir