Pertahanan Negara di Tangan Bekas Rival

Pertahanan Negara di Tangan Bekas Rival

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Penunjukan Prabowo Subianto Djojohadikusumo sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju menjadi jawaban teka-teki Partai Gerindra masuk gerbong koalisi Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Presiden Jokowi juga menunjuk Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Keduanya dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Rabu, 23 Oktober 2019.

Tak terlalu mengejutkan kedua petinggi Gerindra itu ditunjuk sebagai menteri. Beberapa pekan terakhir santer nama Prabowo dan Edhy bakal menjadi Menhan dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Tapi tentunya adalah drama luar biasa dalam pembentukan kabinet Jokowi-Ma’ruf dengan adanya nama Prabowo di barisan kabinet, karena Prabowo merupakan rival dalam Pemilihan Presiden 2019. 

Politik identitas yang berdampak pada polarisasi di masyarakat menyeruak akibat persaingan keduanya. Tak ayal rekonsiliasi ala Jokowi dan Prabowo pun sebagai momentum besar.


Penunjukan Prabowo sebagai Menhan seperti mengingatkan hal serupa ketika pembentukan kabinet Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 2008. Obama juga menunjuk rivalnya, Hillary Clinton, sebagai Menteri Luar Negeri. Bedanya, Obama-Hillary berasal dari partai yang sama, yaitu Partai Demokrat, sedangkan Jokowi dan Prabowo berasal dari dua partai politik yang berbeda. Hal ini terjadi bukan hanya karena buah komunikasi politik Prabowo dengan Jokowi, tapi juga dengan para pimpinan partai politik lainnya yang tergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf.

Seperti diketahui, dua kali Prabowo membangun komunikasi dengan Jokowi, yaitu pada 13 Juli dan 11 Oktober 2019. Disusul gerilyanya menemui Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa. Juga pertemuan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada 24 Juli 2019.

Di kalangan internal partainya sendiri, Prabowo dianggap cukup baik dalam mengelola kubu yang menolak dan menerima koalisi dengan Jokowi. Dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang dihadiri ribuan pengurus dan kader Gerindra di Padepokan Garudayaksa, Desa Bojong Koneng, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pekan lalu, 16 Oktober 2019, Prabowo menyampaikan tiga konsep yang ditawarkan kepada Jokowi-Ma’ruf, terkait konsep ketahanan pangan dan energi, percepatan peningkatan ekonomi, dan kemandirian pertahanan.

Rupanya Jokowi tertarik menerima konsep tersebut dengan bukti menunjuk Prabowo sebagai Menhan serta Edhy sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Prabowo menerima tawaran Jokowi karena ia merasa kompeten di bidang pertahanan. 

Putra begawan ekonomoi Soemitro Djojohadikusomo ini pernah menjabat Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) dan Komandan Jenderal Korps Pasukan Khusus (Danjen Kopassus). Ia juga sudah menjelaskan kekhawatirannya kepada Jokowi terkait situasi keamanan di Indonesia, termasuk isu di Papua.

Juru bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyatakan tawaran jabatan Menhan langsung disebutkan oleh Jokowi. Hal ini berbeda dengan kandidat para menteri lainnya yang tak disebutkan secara gamblang posisi menterinya sebagai apa. 

“Bahwa Pak Jokowi tadi sebutkan, kalau yang lain kan nggak menyebutkan mereka menteri apa. Pak Jokowi yang tadi memerintahkan Pak Prabowo supaya langsung saja sebutkan Pak Prabowo ke wartawan bahwasannya Bapak saya minta jadi Menhan,” kata Dahnil kepada wartawan di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin, 21 Oktober lalu.

Penunjukan Prabowo masuk kabinet disambut kekecewaan sejumlah relawan pendukung Jokowi, Pro Jokowi (Projo). Projo, yang dibentuk untuk mendukung Jokowi sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, langsung membubarkan diri. “Kami ikhlas jika memang tidak dibutuhkan lagi,” terang Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, kepada wartawan, Rabu, 23 Oktober.

Budi pun langsung mengirimkan meme bergambar Jokowi dan Prabowo lengkap dengan tulisan 'Pro Jokowi dan Prabowo'. Juga meme lainnya bergambar Jokowi dan Prabowo berdiri dengan tulisan ‘Siap Presiden, Projo kita suruh bubar saja, karena sudah jadi Projowo Jokowi-Wowo’. Projo tak bisa menerima kenyataan bahwa rekonsiliasi yang terjalin antara Jokowi dan Prabowo berujung jatah Menhan.

“Ada kekecewaan soal Prabowo jadi Menhan karena Prabowo rival yang cukup keras waktu itu. Kita bertarung cukup keras, tapi sekarang (Prabowo) menjadi Menhan,” ujar Sekretaris Jenderal Projo, Handoko, dalam keterangan persnya, Rabu, 23 Oktober.

Terlepas dari pro dan kontra itu, pengamat pertahanan Universitas Paramadina, Anton Aliabbas, mengatakan, berdasarkan rekam jejak Prabowo, ia memiliki keunggulan dan kekurangan. Keunggulannya, Prabowo tercatat sebagai perwira yang memiliki visi dan mimpi strategis untuk memajukan TNI. 

Saat menjabat Danjen Kopassus pada 1997-1998, Prabowo membangun kapabilitas pasukan elite di TNI AD sebagai satuan pasukan khusus terbaik di dunia. Ia memikirkan bagaimana prajurit TNI memiliki smart power yang mampu menjawab tantangan yang akan dihadapi 10-15 tahun ke depan.

Prabowo memfasilitasi pengiriman 35 perwira terpilih, mulai pangkat letnan satu hingga letnan kolonel, untuk studi ke luar negeri. Sebanyak 20 perwira dikirim ke Inggris dan 15 perwira dikirim ke Amerika Serikat, salah satunya adalah Andika Perkasa, yang saat ini menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Program itu tak hanya eksklusif untuk Kopassus, tapi juga satuan lainnya yang ada di tubuh TNI AD. Seleksi perwira yang akan dikirim ke luar negeri cukup ketat melalui tes potensi akademik, tes IQ, dan pemahaman bahasa asing (IELTS).

“Kekurangannya, tentu saja adanya dugaan keterlibatan dalam kasus pelanggaran HAM berat yang berujung pada pemberhentian dari dinas kemiliterannya. Ini jelas menjadi catatan negatif utama pada sosok Prabowo,” kata Anton, Rabu, 23 Oktober.

Tantangan ke depan bagi Prabowo, lanjut Anton, sebagai Menhan bisa membangun kualitas sumber daya prajurit, membangun kebijakan dan postur pertahanan yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara maritim. Tentunya semua itu harus sesuai dengan platform utama pemerintahan Jokowi-Maruf. 

Membangun kebijakan dan postur pertahanan yang adaptif terhadap perkembangan ancaman 10-15 tahun ke depan. Bagaimana visi dan rencana membangun kekuatan pertahanan Indonesia menjadi ‘macan Asia’ seperti yang sering diucapkan Prabowo saat kampanye Pilpres 2019. “Nah, publik membutuhkan penjelasan lengkap tentang rencana kerja yang komprehensif dalam membangun sektor pertahanan Indonesia,” jelas Anton.

Tantangan lainnya yang nyata adalah terkait pengelolaan anggaran pertahanan di Kemenhan itu sendiri. Pertama, serapan anggaran pertahanan belum konsisten. Pada 2016, anggaran pertahanan hanya terserap 85,8 persen dari total anggaran Rp 112,3 triliun. 

Sedangkan pada 2017, Kemenhan kelebihan serapan anggaran sebesar Rp 2,4 triliun. Hal ini menandakan adanya pengelolaan yang masih belum baik. Lima tahun terakhir, Kemhan hanya mendapatkan status wajar tanpa pengecualian dari BPK pada 2019.

Kedua, postur anggaran masih kurang memprioritaskan percepatan pengadaan alutsista. Porsi pos rutin masih menjadi yang terbesar. Pada 2018, misalnya, pos belanja modal--pengadaan alutsista di dalamnya--hanya Rp 19,1 triliun (17,92 persen) dari total realisasi anggaran pertahanan Rp 106,6 triliun. 

Jumlah belanja modal ini adalah yang terkecil dalam lima  tahun terakhir. Ini artinya kenaikan anggaran pertahanan tidak serta merta meningkatkan kualitas dan kuantitas alutsista yang dimiliki TNI. “Karena itu, perbaikan pengelolaan anggaran pertahanan, yang tahun 2020 akan mencapai Rp 131,2 triliun, adalah hal mendesak,” pungkas Anton. 

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Meutya Hafid, mengatakan Prabowo harus segera memenuhi minimum essential force (MEF) atau kekuatan pokok minimum, yang merupakan proses untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia. MEF itu telah dicanangkan pemerintah pada 2017, yang dibagi menjadi tiga rencana strategis (renstra) hingga 2024. 

“Target MEF alutsista Indonesia 100 persen tahun 2024 merupakan tugas utama Pak Prabowo. Hingga 2019, MEF sudah mencapai 74 persen. Pemenuhan MEF 100 persen penting karena untuk memenuhi syarat minimal angkatan bersenjata kita bisa bertempur dan agar pertahanan Indonesia mempunyai efek deterrent,” kata Meutya, Rabu 23 Oktober.

Kedua, Prabowo juga harus berfokus pada pengembangan industri pertahanan nasional untuk membuat alutsista sendiri. Ketiga, peningkatan sumber daya manusia dan kesejahteraan personel TNI. Apalagi dalam HUT TNI ke-74 lalu, Presiden Jokowi sudah berjanji akan meningkatkan tunjangan bagi personel TNI hingga 80 persen pada 2020. 

Kemenhan pada tahun anggaran 2020 mendapatkan dana Rp 127,4 triliun, ini anggaran terbesar dari seluruh kementerian lainnya. “Harapan kami ke depan, Menhan dapat bekerja sama dengan baik bersama DPR RI dalam mewujudkan semangat pertahanan nasional yang solid,” pungkas Meutya.
 



Tags Politik