Sepuluh Fakta Presiden Ketiga RI Terbang BJ Habibie

Sepuluh Fakta Presiden Ketiga RI Terbang BJ Habibie

RIAUMANDIRI.CO, Jakarta - Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie atau lebih dikenal dengan nama BJ Habibie tengah dalam kondisi kritis. Beliau kini dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Gatot Soebroto, Jakarta.

Selain dikenal sebagai presiden ketiga, Habibie juga memiliki sederet prestasi. Satu kisah yang mungkin membuat publik trenyuh adalah terkait pernikahannya dengan Hasri Ainun Besari.

Kini, Habibie, Si Ahli Pesawat Terbang itu masih tergolek lemah di RSPAD. Seluruh masyarakat di Tanah Air berharap agar beliau segera sembuh.


 

Berikut ini sepuluh fakta yang bisa diketahui dari sosok Habibie:

1. Berdarah Jawa-Bugis

BJ Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1936. Ia adalah anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.

Sang ayah merupakan seorang ahli pertanian dari Gorontalo dan memiliki keturunan Bugis. Sedangkan sang ibu asal Jawa dan merupakan anak dari dokter spesialis mata di Yogyakarta.

 

2. Suka Fisika

Habibie sudah menunjukkan kecerdasannya sejak dini. Ia memiliki ketertarikan khusus dengan fisika. Dalam hal pendidikan, pernah bersekolah di SMAK Dago, Bandung, dan meneruskan kuliah selama 6 bulan di Institut Teknologi Bandung dengan studi Teknik Mesin pada tahun 1954.

Setahun kemudian, ia melanjutkan studi teknik penerbangan selama 10 tahun di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman dengan dibiayai oleh ibunya. Habibie meraih 2 gelar sekaligus yaitu Diplom Ingenieur pada tahun 1960 dan Doktor Ingenieur pada tahun 1965 dengan predikat summa cum laude.

 

3. Pacaran dengan Orang Jerman, Menikah dengan Ainun

Di sela-sela kuliahnya, Habibie muda sempat kembali ke tanah air. Selain menziarahi makam almarhum sang ayah di Ujung Pandang, ia sempat pula pulang ke Bandung dan bertamu ke rumah tetangganya yang tak lain merupakan keluarga Ainun.

Mereka sebetulnya sudah kenal sejak di bangku sekolah. Bahkan, Habibie mengakui pernah beberapa kali pacaran dengan wanita Jerman sebelum akhirnya ia berlabuh ke hati Ainun.

Kedekatan mereka pun berlanjut ke pelaminan tepat pada tanggal 12 Mei 1962. Mereka dikarunia 2 anak yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie dan 6 cucu.

 

4. Usai Menikah, Tinggal di Jerman

Habibie dan istrinya tinggal di Jerman. Habibie harus bekerja keras untuk membiayai rumah tangga dan biaya kuliah doktoralnya. Ia juga mendalami teknik dan konstruksi pesawat terbang.

Setelah lulus, B.J. Habibie bekerja di perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman, yaitu Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) pada 1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada  industri pesawat terbang komersial dan militer dari tahun 1969 hingga 1973.

Atas kinerja dan kredibelitasnya, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihat Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978). Dialah satu-satunya orang Asia yang menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.

 

5. Meraih Kedudukan Terhormat di Jerman

Sebelum memasuki usia 40 tahun, karier Habibie sangat cemerlang, terutama dalam urusan desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie bagaikan berlian yang bersinar di Jerman. Kedudukan terhormat pun berhasil ia gapai baik secara materi maupun intelektualitas.

Selama bekerja di Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sederet teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi Thermodinamika, Konstruksi, dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.

 

6. Mengajak Puluhan Insinyur RI untuk Bekerja di Jerman

Pada tahun 1968, Habibie telah mengundang sejumlah insinyur tanah air untuk turut bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Habibie.

Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan kemampuan dan pengalaman insinyur Indonesia jika kembali ke Tanah Air dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat).

 

7. Jadi Penasihat Pemerintah di Bidang Teknologi

Mengetahui kecerdasan Habibie, Presiden Soeharto tak tinggal diam. Ia mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, Habibie bersedia dan melepaskan jabatan dan prestasinya di Jerman.

Habibie pun diangkat menjadi penasehat pemerintah (langsung dibawah presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meski demikian, selama tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.

 

8. Jadi Menteri dan Wakil Presiden RI

Setelah itu, ia diangkat Soeharto menjadi  Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 2 dekade mulai dari 1978 hingga 1998. Lalu, 14 Maret 1998 Habibie terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan VII. Ia juga menduduki posisi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) saat masih menjadi menteri.

 

9. Jadi Presiden RI

Tragedi Mei 1998, awal muncul Era Reformasi membawa perubahan posisi Habibie. Kerusuhan Mei 1998 yang melanda beberapa kota di Indonesia dan berpusat di Jakarta telah menggulingkan Presiden Soeharto yang sudah menjabat selama 32 tahun. Hal itu menyebabkan Habibie naik ke kursi Presiden terhitung sejak 21 Mei 1998.

 

10. Menggelar Jajak Pendapat di Timor-Timur

Saat ia menjadi presiden, ada satu hal yang sangat krusial soal otonomi Provinsi Timor-Timur. Atas usul PBB, Presiden Habibie mengadakan jejak pendapat yang diselenggarakan 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET (United Nations Mission for East Timor) dan diikuti oleh penduduk Timor Timur.

Menurut Hasil yang diumumkan di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999 yang diikuti oleh 451.792 penduduk Timor-Timur. Sebesar 78.5% penduduk Timor Timur menyatakan menolak otonomi khusus yang ditawarkan Indonesia.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975. Dalam bahasa lain, Provinsi Timor-Timur lepas dari Indonesia dan menjadi Negara Timor Leste.**