Pemilu dan Sepakbola 

Pemilu dan Sepakbola 

Oleh: Asril Darma
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Unri

RIAUMANDIRI.CO - Tahun 2018 lalu dua kali saya ikut seleksi penyelenggara Pemilihan Umum. Pertama, di pertengahan tahun saya ikut seleksi komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Riau Periode 2018-2023. Saya termasuk satu dari 33 orang yang lolos seleksi administrasi. Namun takdir Allah, saya menjadi satu-satunya peserta tak bisa ikut tahapan Computer Assisted Test (CAT). Sehingga saat itu asa menjadi bagian dari -enyelenggara Pemilu terbesar dalam sejarah Indonesia harus dipendam. 

Tak patah semangat, menjelang akhir tahun itu juga, saya ikut lagi seleksi Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau 2019-2024. Saya kembali termasuk 43 orang yang lolos administrasi.  Alhamdulillah, kali ini saya bisa ikut tes CAT dan bisa masuk 16 orang yang melewati nilai passing grade yang dibatasi pada ambang minimal 60. Tahapan selanjutnya saya jalani psikotes yang dilakukan Tim Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Riau bekerja sama dengan lembaga psikologi independen. Tahapan ini pun dilalui lancar dan 16 peserta seleksi melangkah ke babak selanjutnya. Tahapan berikutnya adalah tes kesehatan dan wawancara untuk menentukan 10 besar yang berhak ikut Fit and Proper Test (FPT) ke KPU Pusat. Ternyata takdir saya hanya sampai di sini. Setelah melalui proses wawancara dengan lima orang Tim Seleksi yang terdiri dari profesor dan doktor, nama saya tidak muncul di antara yang direkomedasi. 


Saya kecewa? Tentu saja iya. Namun namanya seleksi atau pemilihan tidak semuanya jadi pemenang. Seleksi pasti melahirkan pemenang dan yang tersisih. Itu sudah alami. Tinggal kita menyikapi dan selalu mengambil hikmahnya. Di antara hikmah yang paling berarti dari semua proses ini, adalah saya menjadi mencintai regulasi Pemilu. Karena selama proses seleksi, mau tidak mau, saya belajar perundang-undangan terkait Pemilu. Mulai induknya, Undang-undang Dasar 1945, kemudian Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, sejumlah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)  dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) dan tetek bengek lainnya. 

Tidak cukup itu. Saya juga mencoba merekonstruksi dan men-simulasi proses dan tahapan Pemilu mulai proses terendah di tingkat TPS hingga tingkat nasional. Alasannya, saya belum pernah menjadi penyelenggara Pemilu secara langsung. Proses rekonstruksi dan simulasi itu dilakukan dengan berbagai cara. Seperti dari perundang-undangan itu sendiri, rekaman di internet, dan diskusi dengan teman-teman penyelenggara dan mantan penyelenggara.

Namun yang paling penting adalah pengalaman pribadi sebagai wartawan yang lebih 15 tahun meliput desk politik. Meski saya tak  pernah menjadi penyelenggara, namun pengalaman liputan Pemilu cukup memadai. Bahkan saya pernah ditugaskan liputan penuh tahapan Pemilu tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) di salah satu lokalisasi terbesar di Kota Pekanbaru pada Pemilu tahun 2004. Liputan dari awal hingga perhitungan suara. Sehingga judul berita yang saya tulis saat cukup nakal. Yakni "Si Anu Raih Suara Terbanyak di Lokalisasi Nganu". 

Selanjutnya saya juga pernah liputan penuh proses Rapat Pleno Rekapitulasi Perhitungan Suara Tingkat Kelurahan (saat masih ada, pen), Rapat Pleno Rekapitulasi Tingkat Kecamatan, Rapat Pleno Rekapitulasi Tingkat Kota Pekanbaru dan Tingkat Provinsi Riau. Hanya Rapat Pleno Rekapitulasi Perhitungan Suara Tingkat Nasional yang belum pernah saya liput. 

Namun ternyata semua upaya belajar teoritis, rekonstruksi, simulasi dan pengalaman liputan itu belum cukup menjadi bekal saya memahami proses Pemilu seutuhnya. Karena dalam beberapa kesempatan diskusi dengan teman-teman, baik yang pernah jadi penyelenggara atau hanya pengamat saja, mengatakan bahwa potensi kecurangan masih bisa dilakukan pada Pemilu 2019. Baik di tingkat TPS hingga tingkatan di atasnya sekalipun. Teman-teman yang berpendapat seperti itu, lebih berdasar kepada pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya. 

Namun saya sangat tidak sependapat dengan teman-teman ini. Dari regulasi yang saya pelajari dan pahami selama proses tahapan seleksi Bawaslu dan KPU Tingkat Provinsi Riau -yang gagal itu- saya mengatakan peluang kecurangan setelah proses masyarakat memberikan hak suaranya sudah sangat minim potensinya. Potensi merubah-rubah hasil perhitungan suara, seperti mungkin terjadi pada masa lalu sudah sangat sulit. Ibaratnya, gol yang sudah disahkan wasit saat sebuah pertandingan sepakbola, sulit dianulir usai pertandingan. 

Untuk membuktikan keyakinan saya itu, maka pada Pemilu 2019 saya mendaftar menjadi Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) dan di salah satu TPS di Kota Pekanbaru. Setidaknya ini bisa menjadi pelipur lara karena belum bisa menjadi Komisioner KPU Provinsi Riau. 

Bangun sebelum Subuh 17 April 2019 dan tidur setelah Subuh 18 April 2019, namun hati jadi puas. Saya pertama kali kali merasakan langsung menjadi penyelenggara Pemilu. Dimulai dari pembacaan sumpah hingga penutupan TPS, berlangsung 18 jam. Proses berjalan lancar meski sempat tergagap pada beberapa tahapan. Mulai proses pemungutan, perhitungan, penulisan sertifikat hingga penandatanganan berita acara yang dilakukan panitia KPPS dan saksi. 

Proses berjalan lancar  dengan nihil atau tanpa ada catatan dari saksi peserta Pemilu. Semua proses berjalan transparan dan gembira. 

Proses selesai sekitar pukul 04.00 WIB ditandai dengan pembagian salinan formulir hasil perhitungan suara (formulir C1) kepada semua saksi yang dapat mandat, pengawas TPS dan foto-foto. 

Di sini saya yakin hasil di TPS ini mudah-mudahan tidak bakal berubah lagi setelah wasit meniup pluit. Karena kalau ada usil mengubah hasil ini, sanksi pidana menunggunya. Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 505 Berbunyi 'Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satuf tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)

Apakah artinya, proses pelanggaran dan kecurangan Pemilu tidak ada sama sekali? Jawabannya potensi itu masih ada dan masih besar. Lantas kapan terjadinya? Terjadinya dalam proses pertandingan itu sendiri. Mulai tahapan pendaftaran peserta Pemilu, kampanye dan pada proses pemungutan suara. Potensi pelanggaran terbesar justru terjadi pada tahapan ini. Misalnya saja, money politik saat menjadi peserta Pemilu, money politics tahapan kampanye, intimidasi, pemanfaatan kekuasaan dan lainnya. Potensi kecurangan juga masih bisa terjadi di TPS-TPS yang tidak ada atau minim saksi, tanpa pengawas TPS atau TPS yang pemilihnya homogen. TPS yang pemilihnya homogen ini, maksudnya TPS yang panitia KPPS, pengawas, saksi dan pemilih masih dari komunitas atau kelompok kepentingan yang sama. Wallahu'alam. ***