Siapakah Ulama?

Siapakah Ulama?

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA
Guru Besar UIN Suska Riau

RIAUMANDIRI.CO - Pembicaraan tentang ulama kembali mencuat sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia. Pembicaraan itu menjadi sesuatu yang hangat setelah dipicu oleh suasana perpolitikan yang semakin panas mengikuti pembicaraan tentang siapa calon presiden yang akan dipilih untuk memimpin Indonesia  periode 2019-2024 yang akan datang. Hampir semua kalangan berbicara tentang itu, baik dengan nada positif maupun negatif. Mereka saling  bertanya, siapakah sebenarnya yang disebut ulama ? Apa tugas mereka ? Di mana posisi ulama, baik di tengah masyarakat luas maupun di depan penguasa?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi begitu menarik dan dianggap penting setelah melihat beragamnya sikap ulama dalam meresponi situasi politik di tanah air. Dalam fikiran dan bayangan mereka, ulama adalah satu, yaitu  pewaris Nabi dan penyampai risalah nabi kepada umat.  


Mereka membayangkan bahwa seharusnya ulama bersikap juga sama atau satu dalam menghadapi persoalan umat atau bangsa, terutama di Indonesia. Tapi, nyatanya, berbeda-beda. 

Ada ulama yang hanya mengkhususkan diri untuk berdakwah dan tidak mau diajak terjun atau bahkan dicalonkan untuk jabatan tertentu di ranah politik. Ada juga ulama yang bukan hanya mau dicalonkan, bahkan mencalonkan diri untuk jabatan seperti itu. Ada ulama yang menjadi pendukung penguasa tanpa reserve, membenarkan semua apa yang diucapkan dan dimaui oleh penguasa, tapi ada juga yang sebaliknya, berseberangan dan menyalahkan apa yang dibuat penguasa.  

Ada ulama yang mengkritik pemerintah dengan nada lembut dan menggunakan kiasan-kiasan, tetapi juga ada ulama yang menyampaikan krtikannya dengan kata keras dan pedas. 

Ada ulama yang tidak mau terlibat samasekali dengan poitik, walau hanya dalam wacana-wacana. Mereka masa bodoh, cari aman, dan lain sebagainya. 

Tapi ada ulama yang justru melibatkan diri secara intens dalam politik, baik wacana maupun dalam tataran praktis. 

Hal-hal seperti itu membuat masyarakat kembali bertanya, siapakah sebenarnya yang disebut ulama, apa tugas mereka, dan dimana posisi mereka di tengah masyarakat dan di tengah bangsanya, atau di tengah dan di hadapan penguasa di negerimya..

Sebenarnya, tidaklah perlu berumit-rumit untuk menentukan siapa yang disebut sebagai ulama. Cukup merujuk kepada hadis nabi yang juga sekaligus adalah definisi tentang ulama itu sendiri, yaiu hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, “ulama adalah pewaris nabi.”

Pertanyaannya adalah, bila ulama disebut sebagai pewaris nabi, apa-apa saja yang diwarisi oleh ulama dari  Nabi ?

Sebagaimana diketahui, Nabi tidak meningalkan harta untuk umatnya. Oleh sebab itu, ulama tidak mewarisi harta dari Nabi. Beliau hanya berkata “aku tinggalkan dua warisan untuk kalian: kitabullah, dan sunnah Rasul. Aku jamin kalian tidak akan sesat selamanya, selama kalian berpegang teguh dengan dua hal tersebut.

Bila Kitabullah adalah wahyu yang kemudiannya ditulis dan sunnah Rasul adalah segala hal yang berasal dari nabi, baik ucapan, perbuatan dan sikap Nabi, dan yang kemudiannya juga dituliskan dalam lembaran kitab, maka berarti yang diwarisi ulama dari nabi adalah al-Qur’an dan segala yang berasal dari  Nabi yang merupakan tugas kerasulannya diutus Allah ke muka bumi.  Artimya, ulama mewarisis dua hal dari nabi, yaitu :

1. Sifat-sifat sifat nabi
2. Tugas-tugas Nabi

Bila sifat-sifat Nabi untuk dijadikan “pakaian”, maka tugas-tugas Nabi adalah untuk dilanjutkan pelaksanaannya oleh ulama. Ulama harus jujur dan tulus (shidiq), cerdas (fathanah) dan terpercaya (amanah) sebagai penyampai (tabligh) risalah agama kepada manusia.

Lalu, apa saja tugas yang harus dilaksanakan oleh ulama ?

Sebagai pewaris Nabi, maka ulama menerima warisan untuk melanjutkan tugas-tugas Nabi itu sendiri, Tugas-tugas itu tertera dalam surat al-Ahzab (33) ayat 45-46, yaitu :

“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus Engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagai penyeru kepada (agama) Allah dengan izinNya serta sebagai pelita yang menerangi.”

Ada lima tugas pokok Nabi dalam ayat di atas, yaitu sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira, sebagai pemberi peringatan, sebagai penyeru kepada agama Allah, dan sebagai pelita yang menerangi. 

Tugas-tugas ini pulalah yang diwariskan kepada ulama untuk dilanjutkan sepeninggal Nabi. Mereka bertugas sebagai saksi akan kebenaran agama Allah dan bahwa riasalah Nabi Muhammad telah disampaikan kepada manusia. 

Mereka bertugas sebagai pembawa berita gembira, berita yang memotivasi manusia untuk beramal kebajikan. 

Mereka bertugas sebagai pemberi peringatan agar manusia tidak melakukan kejahatan. 

Mereka bertugas sebagai penyeru manusia agar mengikuti agama Allah. 

Mereka bertugas sebagai pelita yang menerangi manusia dari kegelapan ilmu dan iman. Itulah tugas-tugas Nabi, dan itu jugalah tugas-tugas yang harus dijalankan oleh ulama sepeninggal Nabi, kapan, di mana dan terhadap siapapun. 

Lalu, di mana posisi ulama dalam menjalankan tugas-tugas tersebut ?

Bila ditilik kepada tugas-tugas di atas, maka sudah pasti posisi ulama harus berada di depan. Sebagai saksi, ulama harus berdiri di depan. Sebagai pembawa kabar gembira pemberi motivasi dan peringatan, ulama harus berdiri di depan. Sebagai penyeru kepada agama Allah, ulama harus berdiri di depan. Apalagi sebagai cahaya yang menerangi, ulama harus berdiri di barisan terdepan. Jadi, posisi ulama adalah di depan. 

Di segala suasana dan di dalam segala keadaan. Semua tugas tersebut  tidak akan berjalan secara efektif bila ulama tidak berada di depan. 

Mereka adalah pemegang pelita sebagai penuntun dan penerang jalan buat umatnya, bukan sebagai pengikut yang mengikuti jalan orang lain yang diposisikan di depannya. Ulama bukan pengikut, tetapi yang diikut. 

Ulama adalah pengarah jalan bukan yang diarahkan untuk berjalan. Untuk itulah ulama harus berada di depan. Ia harus memgambil posisi terdepan dalam menerangi dan membimbing umat, tidak boleh berada di samping, apalagi di belakang. 

Mereka adalah pelita yag menerangi, bukan pengikut yang diterangi. Oleh karenanya, ulama adalah seorang ilmuan yang akan membimbung umat dengan ilmunya ke arah yang benar. 

Ia adalah seorang pejuang dan pemberani yang akan menegakkan kebenaran berhadapan dengan segaka macam bentuk kemungkaran. Ia siap dengan resiko yang menentangnya sebagai ulama, dan ia adalah mujahid yang hanya mencari keridhaan Allah.

Oleh sebab itu, sekali lagi, sebagai pewaris tugas-tugas kenabian, ulama harus aktif memotivasi dan mengingatkan umat. Ia tidak boleh diam, mendiamkan ketidakbenaran. 

Ia harus terus menyinari ummat dengan cahaya wahyu agar tidak tersesat dan tidak disesatkan oleh orang-orang jahat. Ia punya sifat kemandirian dan tegas dalam pendirian. Tegar menghadapi godaan dan bahkan ancaman, karena ia haya takut kepada Allah dan tidak takut kepada siapapaun bila bertentangan dengan Allah dan rasulullah. 

Ia lentur dalam kebenarnan dan keras terhadap ketidakbenaran. Ia tidak akan pernah tunduk dan ikut dengan kekufuran dan kemunafikan dan tidak akan terperdaya oleh bujuk rayu orang-orang kafir dan orang munafik.(QS.33:48). Ulama adalah pribadi yang mencukupkan hanya Allah sebagai penolong dan pelindung. (QS.Ali Imran:173)

Lalu, ada yang bertanya, setelah melihat realita, kenapa kini banyak ulama yang tidak seperti itu: mengekor; kejar jabatan dan kedudukan; tergoda harta dan benda, lalu sembunyikan kebenaran dan bela kesesatan ?

Untuk pertanyaan di atas, ada pertanyaan awal yang perlu dijawab, yaitu , bila semua tugas di atas dapat disebut sebagai pekerjaan yang harus dikerjakan oleh si ulama, maka untuk siapakah ulama bekerja ?

Jawaban untuk soal di atas adalah juga sama, yaitu sebagai pewaris Nabi, ulama bekerja untuk siapa juga Nabi bekerja. Artinya, bila tugas ulama diberikan oleh Nabi, dan tugas Nabi diberikan oleh Allah, maka ulama bekerja juga untuk yang memberikan tugas kepada N abi, yaitu Allah. Untuk Allah ulama bekertja dan hanya reda Allah yang ia pinta.  

Ulama bertugas dan bekerja untuk misi keilahian di bumi, bukan untuk misi yang selain itu. Di sektor apapun seorang ulama berkerja, maka hakikat kerjanya adalah bekerja untuk Allah, untuk menunaikan tugas-tugas kenabian dan tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi. 

Oleh sebab itu, ulama tidak boleh keluar  dari semua ketentuan Allah dalam menunaikan pekerjaannya, sebagaimana Rasulullah juga berbuat seperti itu. 

Artinya, ulama bisa saja bertugaa dan bekerja dengan sesorang pejabat atau kepala negara sekalipun, tetapi yang ia kerjakan tetap dalam rangka misi keilahian, misi Allah. Bila tugas yang diberikan kepadanya bukan untuk itu, atau bahkan bertentangan dengan itu, maka ulama harus menghindar dari padanya. Ia adalah petugas Nabi dan Rasulullah, bukan petugas yang lain yang tidak bersintuhan dengan tugas itu dalam ranah keulamaannya.

Lalu, kembali ke pertanyaan di atas, kenapa ada ulama mengekor; kejar jabatan dan kedudukan; tergoda harta dan benda, lalu sembunyikan kebenaran dan bela kesesatan? Jawabnya adalah  karena mereka lupa, atau melupakan tugas pokoknya sebagai pewaris Nabi, pewaris Rasulullah. Tugas umatlah untuk mengingatkannya.