Tanggapan Gubernur Lemhanas Soal Robertus Robet Nyanyi Mars TNI

Tanggapan Gubernur Lemhanas Soal Robertus Robet Nyanyi Mars TNI

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Menanggapi kasus aktivis Robertus Robet yang diduga melakukan ujaran kebencian melalui video orasi Robertus Robet pada aksi Kamisan di depan Istana Negara, Gubernur Lemhanas Agus Widjojo mengatakan bahwa kritik sebaiknya disampaikan pada substansinya. 

"Bukan dengan mengolok-olok dan nyinyir seperti itu. Terhadap siapapun itu," kata Agus, Kamis (7/3/2019).

Agus mengatakan masyarakat perlu belajar untuk hidup secara lebih beradab dengan menyampaikan pendapat secara substantif dan etis. "Bukan perbedaan pendapat yang salah, tapi cara penyampaiannya," kata dia.


Video orasi Robet diunggah oleh akun Youtube Jakartinicus dipotong dan diviralkan oleh pihak tertentu, sehingga Robet dianggap menghina institusi TNI. Robet sudah menyampaikan konteks orasinya adalah refleksi. Dia juga menegaskan bahwa kritik itu disampaikan lantaran ingin institusi TNI tetap profesional.

Berikut isi orasi Robertus Robet:
Selamat sore kawan-kawan sekalian. Kalau dilihat dari tampang-tampangnya, ini tampang-tampang muda semua, ya kan. Ada teman saya ini tampangnya satu angkatan dengan saya, tampang angkatan tahun 1996. 1998, 1996. Untuk hari ini saya ingin mengajak semua teman-teman muda di sini untuk mengingat satu lagu dari tahun 1998 pada waktu reformasi digulirkan. Lagunya begini,
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna, bubarkan saja, diganti Menwa, kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota nggak pernah bayar, apalagi makan di warung Tegal.

Lanjutannya terlalu sensitif. Tapi lagu ini jangan-jangan mesti kita ingat kembali. Kenapa? Karena ada ancaman yang muncul di depan kita. Generasi-generasi baru yang muncul mesti mulai mencipta lagu-lagu semacam ini untuk menghadapi tantantan-tantangan zamannya. Buat kalian yang tidak pernah hidup di bawah rezim militer, mungkin keperluan untuk menolak kembalinya tentara dalam kehidupan sipil itu terasa seperti bukan sesuatu.

Tetapi kalau kamu pernah tahu sedikit, pernah belajar sejarah, tentang bagaimana militer hidup dalam seluruh kehidupan sipil kita, kamu akan berpikir dua kali untuk mengiyakan apa yang akan dilakukan pemerintah dengan mengembalikan kembali jabatan-jabatan sipil dipegang oleh militer. 
Teman-teman sekalian, ini bukan perkara personal, ini bukan perkara kita membenci satu grup atau menolak satu grup. Yang ingin kita kokohkan adalah apa yang disebut dengan supremasi sipil.

Apa itu supremasi sipil? Supremasi sipil adalah satu gagasan, satu prinsip bahwa kehidupan publik, bahwa kehidupan politik, bahwa kehidupan demokrasi mesti dikendalikan dan dipegang oleh kaum sipil. Mengapa kehidupan demokrasi dan kehidupan politik ketatanegaraan mesti dipegang oleh kaum sipil? Tidak boleh dipegang oleh militer? Kenapa? Ada yang tahu enggak kenapa?

Satu alasan saja, saudara-saudara. Karena kalau militer adalah orang yang memegang senjata, orang yang memegang senjata, orang yang mengendalikan mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak boleh mengendalikan kehidupan sipil lagi. Kenapa? Karena senjata tidak bisa diajak berdebat, senjata tidak bisa diajak berdialog. Sementara demokrasi, sementara kehidupan ketatanegaraan harus berbasis pada dialog yang rasional. Itu sebabnya kita pada waktu reformasi mau mengembalikan kembali tentara ke bara.

Bukan karena kita membenci tentara, kita mencintai tentara. Tentara yang apa? Tentara yang profesional untuk menjaga pertahanan Indonesia. Tapi kita tidak menghendaki tentara masuk ke dalam kehidupan politik. Kenapa? Karena itu akan membawa kehidupan sipil kita ke dalam marabahaya. Kenapa? Karena tadi yang saya katakan, tentara adalah kelompok sosial yang diberikan tugas untuk memegang senjata dan senjata tidak pernah kompatibel dengan demokrasi. Senjata tidak pernah kompatibel dengan kehidupan sipil.

Itu mengapa kita menolak secara prinsipil apa yang dikatakan oleh Lord Luhut tadi. Jadi kalau Lord Luhut mengatakan siapa yang keberatan, kita sama-sama mengatakan, kalau kamu nggak berani saya sendiri yang mengatakan, kita keberatan. Seluruh sejarah demokrasi, sejarah politik Indonesia yang penuh berdarah-darah untuk mencapai reformasi menyatakan keberatan atas apa yang dikatakan oleh Lord Luhut itu.

Maka kawan-kawan sekalian, kalau hari ini kita berkumpul di sini maka ini harus menjadi peringatan. Pertama, untuk Jokowi dan pemerintahannya. Jokowi adalah pemerintahan sipil, tapi dia tidak boleh menggadaikan supremasi sipil hanya demi kepentingan prgamatis pemilu. Justru pemilu mestinya mengokohkan kembali prinsip-prinsip demokrasi kita. Bukan justru menggerogoti demokrasi kita. Setuju nggak?

Yang kedua, ini juga peringatan buat Prabowo, kita kasih peringatan bukan hanya buat Jokowi, kita kasih juga peringatan Prabowo. Bahwa Prabowo sebagai orang militer, kalau dia nanti berkuasa, moga-moga enggak, siapa pun yang berkuasa nanti, kalau dia mengembalikan kembali gaya militer, struktur militer, ideologi militer, ke tengah-tengah kehidupan demokrasi kita, dia akan berhadapan dengan kita lagi.

Apakah berani kalian semua? (Berani). Mesti berani. Mengapa kita berani, ini yang terakhir. Kita mesti berani karena kita adalah warga republik saudara-saudara. Kita warga republik. Apa artinya warga republik? Warga republik artinya kita hidup dalam kesetaraan, tidak boleh ada orang yang lebih tinggi di atas kita, apa pun pangkatnya, apa pun statusnya, apa pun kekayaannya. Kita adalah warga republik yang setara, tidak boleh ada kelompok sosial satu pun yang diistimewakan di republik ini, siapa pun dia.

Jadi kalau ada tentara mau menduduki jabatan sipil, boleh apa enggak? Boleh asal pensiun dulu, jangan seenaknya. Jadi kita berdiri di sini atas landasan moral, atas landasan etika, atas landasan politik yang kokoh sebagai warga negara republik Indonesia. Jadi kalau ada yang menggugat apa pandangan-pandangan kita di sini, dia menguggat pandangan-pandangan dasar republik kita. Itu kenapa kita di sini dan kenapa kita mesti melanjutkan perjuangan kita.

Ancaman kembalinya fasisme, ancaman kembalinya militerisme, tidak akan pernah selesai, tidak akan pernah berhenti, kita mesti selalu siap siaga. Tidak ada hari libur, tidak ada malam minggu yang gratis untuk menghadapi kembalinya fasisme dan militerisme.