Prostitusi Perlu Dimasukkan dalam RUU KUHP 

Prostitusi Perlu Dimasukkan dalam RUU KUHP 

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Kasus prostitusi selama ini tidak diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Karena prostitusi itu menyangkut dengan soal-soal kesusilaan, keyakinan dan norma-norma yang hidup di tengah masyarakat, harus ada upaya diselesaikan secara hukum.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil setuju prostitusi memang harus ada yang pengaturan dan mumpung Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) masih dalam proses pembahasan soal aturan pidana prostitusi itu perlu dimasukan dalam RUU tersebut.

"Pandangan saya memang seharusnya diberi diberi ancaman pidana yang tegas, baik pelakunya,  pelanggannya apalagi mucikarinya. Karena ini adalah bentuk  kejahatan berdasarkan keyakinan masyarakat bahwa hal tersebut melanggar norma kesusilaan dan agama," kata Nasir dalam diskusi 'Akankan soal Prostitusi Masuk RUU KUHP", di Media Center DPR, Selasa (19/2/2019).


Dengan adanya ancaman ancaman pidana yang tegas pidana, baik bagi pelaku, pengguna dan mucikarinya maka bisa menyelamatkan norma-norma susila dan agama yang diyakini.

"Jangan sampai kita membiarkan ada pendapat mengatakan, ya apa salahnya si A itu, toh dia menjual  tubuhnya sendiri. Jangan sampai pendapat itu menjadi liar dan kemudian diyakini oleh masyarakat," terangnya.

Dia berharap, pengaturan prostitusi ini bisa diatur dan mengatur delik zina akan perluas.  

Menurut politisi PKS itu, memang ada pengaturan-pengaturan soal zina yang dilakukan oleh orang yang belum terikat dengan perkawinan yang sah.

"Jadi soal prostitusi ini memang belum diatur dan sekali lagi saya pribadi perlu diatur, karena ini menyangkut dengan norma kesusilaan dan norma norma agama yang diyakini oleh bangsa ini karena negara ini kan negara yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa," jelasnya.

Karena itu menurut dia, draf RUU KUHP yang sedang dibahas antara pemerintah dan DPR, dengan munculnya kasus prostitusi VA Surabaya  dengan pernak-pernik yang ada, tentu menjadi pertimbangan bagi DPR dan pemerintah, untuk memasukan prostitusi ada diatur dalam undang-undang.

"Jadi PSK, mucikari, pelanggannya, saya pikir harus ada ancaman yang tegas untuk mereka. Jadi selama ini pengguna enak-enak saja dia. Padahal kalau nggak ada pengguna dengan PSK maka tak akan terjadi prostitusi itu," jelas Nasir Djamil.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa prostitusi sudah diatur dalam KUHP. Hanya saja yang dikenakan sanksi hukuman mucikarinya karena memfasilitasi dan menjadikan mata pencarian.

Sedangkan pelaku dan pengguna tidak dikenakan sanksi hukum pidana karena tidak ada korbannya. Sebab dilakukan mau sama mau. Yang menjadi persoalan adalah karena ada pembayarannya.

Karena itu dia juga setuju soal prostitusi diatur dalam KUHP. "Saya yakin, walaupun mendapat resistensi yang besar kalau ini sampai diatur di KUHP. Sebab orang yang tidak terikat keluargapun bisa kena, karena bukan hanya perselingkuhan terjerat oleh hukum. Kalau ada unsur bayarnya saya kira itu ciri yang harus diambil oleh aturan mengenai pelarangan prostitusi," ujarnya. 

Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati menyambut baik kasus prostitusi dimasukan dalam RUU KUHP. Karena Komnas Perempuan sudah mengusulkan laki-laki pengguna Pedila atau PSK dikenakan sanksi pidana.

"Saya kira perlu ada regulasi yang menggatur. Komnas Perempuan mengusulkan agar dalam RUU KUHP supaya pengguna Pedila ini dikenai hukuman dan perempuan yang terjebak di dalam prostitusi harus dilakukan perlindungan dan pemulihan," harapnya. 

Reporter: Syafril Amir