Mungkinkah Kita Sudah Diracun

Mungkinkah Kita Sudah Diracun

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA
Guru
Besar UIN Suska Riau

RIAUMANDIRI.CO - Melihat video pertarungan seekor buaya besar dengan seekor anaconda, ular  dengan kekuatan bisa yang sangat mematikan di hutan Amazona, saya jadi teringat nasib bangsa dan negara Indonesia.

Buaya yang merasa badannya lebih besar begitu percaya diri kalau ia akan dapat melumpuhkan anaconda. Saya yang menonton pun berfikir seperti itu. Tapi, di lain pihak, walau memiliki tubuh yang lebih kecil, dan juga kepala yang jauh lebih kecil dari  buaya, anaconda terlihat lebih percaya diri kalau ia akan mampu menelan buaya yang besar itu. 


Berdebar-debar saya melihat pertarungan itu. Siapa kiranya yang akan menang, dan akhirnya menelan lawan masuk ke dalam perutnya.

Dengan memperlihatkan taringnya yang tajam, buaya menggertak anaconda dan mendekat sedikit demi sedikit. Anaconda tenang saja, tapi juga mendekat kepada buaya secara pelan tapi pasti. 

Pertarungan akhirnya terjadi. Dengan garangnya, sang buaya menangkap tubuh anaconda masuk ke mulutnya dan mengigit dengan kuat. Tapi anaconda tidak kalah lincah. Sambil membelit tubuh buaya dan menggeliat-geliat dari gigitan, ia berangsur-ansur lepas dari mulut buaya tapi tubuhnya yang panjang tetap melilit lawannya dengan kuat. 

Tidak hanya itu. Sambil melingkar dan melilit, anaconda mulai melancarkan serangan, menggigit bagian rahang buaya dengan kuat, lalu memasukkan racunnya yang sangat berbisa itu ke dalam tubuh buaya. Sedikit demi sedikit, racun itu masuk dan secara pelan tapi pasti menjalar di pembuluh darah buaya sehingga akhirnya menyebar ke seluruh tubuh. Tentu saja, jantung adalah sasaran terakhir dari racun itu.

Memang, buaya tidak lumpuh seketika. Namun, sekalipun terus menerjang dan menggigit, racun berbisa yang telah masuk ke dalam tubuhnya juga terus bergerak menyerang seluruh sendi dan sistem pertahanan tubuh sang buaya, sampai akhirnya lumpuhlah sang predator yang terkenal sangat ganas tersebut. Tubuhnya lunglai, dan akhirnya lumpuh sama sekali. 

Ketika itulah, anaconda mulai melahap kepala lawannya, pelan tapi terus bergerak tanpa henti, sampai seluruh tubuh lawan masuk ke dalam perutnya. 

Ada perasaan ngeri dan sedih melihat nasib buaya, tapi ada juga bisikan halus dalam hati, “mungkinkah bangsa saya akan bernasib seperti buaya itu? “ Seolah-olah, tayangan video tersebut ditujukan kepada saya sendiri, sebagai salah seorang anak bangsa Indonesia yang sedang risau melihat dan merasakan betapa negeri saya sedang berada dalam bahaya besar.

Adalah sangat wajar bila kecurigaan seperti itu menyeruak di hati atau fikiran saya. Karena, bukankah negeri ini seakan-akan sudah hampir lumpuh di dera oleh bermacam-macam “racun dan penyakit” yang menggelayutinya sejak lebih dari satu setengah dasawarsa yang lalu? 

Adakah bangsa ini kini laksana buaya besar yang telah kemasukan racun berbisa sejak sekian lama, sehingga sudah dekat masuk ke jantung dan tinggal menunggu nasib ditelan oleh predator ganas yang sedang lapar?

Mungkinkah buaya itu adalah Indonesia: badan besar tapi tidak bertenaga; taring panjang tapi tidak ada bisa; kepala lebar tapi akal tak jalan, sehingga tidak ada orang yang segan? Rasanya tamsilan seperti itu itu begitu menyakitkan. 

Tapi bukankah peredaran narkoba yang semakin massif, pornografi yang semakin bebas, korupsi yang tiada henti, keganasan seksual yang terus bertambah, aliran sesat dan radikalisme yang terbiar, hedonisme yang terus menggejala, komunisme yang mulai menampakkan keberanian, adu domba antar kelompok dan golongan yang seakan terus dikembangkan, pelanggaran hukum di hampir semua sektor yang seakan dilengahkan, kebohongan publik yang seolah telah menjadi menu harian, rasa saling percaya yang semakin hancur, liberalisme di hampir semua sistem kemasyarakatan dan pemerintahan yang kian liar, politik uang yang semakin menjadi-jadi dan seolah dianggap benar,  pembabatan hutan yang semena-mena, merupakan racun-racun berbahaya yang secara sengaja disebarkan untuk melumpuhkan daya tahan tubuh bangsa Indonesia dari dalam supaya segera lumpuh dan dapat ditelan dengan mudah demi memperkuat dan memperbesar kekuatan sang anaconda untuk tetap eksis dalam percaturan dunia? 

Kemudian, hutang negara yang semakin lama semakin membesar dan terus melilit sekujur tubuh bangsa, adalah laksana lilitan sang anaconda yang semakin membuat sesak nafas dan susah bergerak, hilang kemerdekaan, lalu menurut saja apa yang diinginkan yang empunya peutang. 

Siapapun yang masih mampu berfikir jernih dan kritis pasti akan berkata semua itu benar adanya. 

Lalu, adakah kita tahu, siapakah kini yang telah menjadi “anaconda” di dan untuk bangsa ini? 

Siapakah kini atau mungkin sudah sejak bertahun-tahun lalu telah menebar racun berbisa itu dengan begitu sistematisnya, melilit bangsa dan negara dengan terus menumpukkan hutangnya beribu-ribu triliun untuk membuat kita kehabisan tenaga dan tidak bisa lagi berfikir cerdas, karena yang empunya hutang sudah bebas berlaku semena-mena untuk menekan dan memaksakan kehendaknya agar kita menurut saja apa yang mereka mau, sampai kkta kehabisan tenaga dan mati mengenaskan  seperti nasib buaya itu?

Saya yakin, walau tidak semuanya, sebagian besar dari kita, apalagi kaum terpelajar, sangat mengerti siapa anaconda itu. 

Tapi, seperti dikatakan oleh Nabi, kecintaan kepada dunia dan ketakutan akan mati membuat banyak anak bangsa ingin mencari selamat sendiri-sendiri. 

Diam, adalah sikap yang mereka anggap tepat untuk itu, walau diam itu sama artinya dengan kejahatan bila yang didiam tersebut adalah kejahatan.

Maka, bila sudah begini, apa yang seharusnya dilakukan? Terus diam, dan terus membiarkan racun menjalar dan membiarkan lilitan anaconda semakin lama semakin keras sampa kita kehabisan nafas?

Atau, berjuang dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, lepaskan diri racun dan lilitan itu, kemudian lalukan detoksifikasi, membuang racun dengan meminta bantuan “dokter” atau orang-orang yang ahli di bidang itu agar lepas dari ancaman kematian?

Pilihan ada di tangan kita. Tapi pilihan terbaik tentu yang disebut kedua: gunakan tenaga yang masih tersisa untuk bersatu kembali di kalangan seluruh komponen bangsa untuk melawan dan melepaskan diri dari lilitan, lalu, lakukan pembersihan racun yang telah menjalar dalam tubuh dengan “kemoterapi” hati berupa pertaubatan kepada Allah dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. 

Karena semua racun yang disebut di atas, pada hakikatnya adalah racun-racun hati yang menyebabkan hati kita menjadi mati dan tidak bisa menerima kebenaran ajaran agama Allah. 

Racun-racun itu tidak akan masuk ke dalam hati yang selalu ingat kepada Allah, hati yang selalu bertasbih menyebut nama Allah. 

Namun, sebaliknya, hati yang sedang kosong dari mengingat Allah, hati yang tidak ada Allah di dalamnya, adalah hati yang tidak ada penjaga di dalamnya, sehingga semua racun  bebas masuk tanpa ada yang menghalangi. Hal inilah yang diingatkan Allah dalam  ayat  36-37 surat al-Zukhruf (43).” barang siapa yang berpaling dari mengingat Allah, akan kami biarkan setan menjadi teman dekat (yang menyesatkan)nya. Sungguh para setan itu, benar-benar menghalangi manusia dari jalan yang benar, namun mereka tetap merasa benar.“ 

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah akan berlepas tangan dari bangsa Indonesia yang tidak mengindahkan aturanNya, lalu setelah itu, setan masuk dengan segera. Lewat setan itulah racun-racun tersebut mencengkeram bangsa Indonesia dan membuatnya menjadi menjadi bangsa yang sakit seperti sekarang.

Maka, sekali lagi,  siapakah anaconda itu? Orang perorangkah atau suatu bangsakah mereka? 

Orang arif pasti sudah tahu siapa mereka. Tapi orang yang hatinya sudah diliputi oleh kecintaan kepada harta dan tahta dunia, apalagi kini sedang bertengger di atas tahta kuasa, kearifannya akan terbawa mati bagaikan matinya buaya oleh racun si anaconda. Kearifan ada di hati. Kearifan akan mati bila hati sudah mati. Kematian hati, adalah kematian sejati yang hanya bisa dihidupkan kembali oleh taubat kepada ilahi. 

Oleh sebab itu,  bangsa ini membutuhkan obat untuk menghidupkan kembali hati yang sudah mati itu. Obatnya adalah kembali kepada Allah, seperti disebut dalam ayat  200-202  surat al-A’raf (7) yang artinya, “dan, jika setan datang menggodamu, maka segeralah berlindung kepada Allah. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa  bila mereka dibayang-bayangi fikiran jahat (untuk berbuat munkar) dari setan, mereka segera ingat kepada Allah. 

Lalu saat itu juga mereka menjadi tahu (sadar akan kesalahan yang mereka buat), sementara teman-temannya yang kafir tidak henti-hentinya bekerjasama dengan setan untuk menyesatkan orang-orang takwa tersebut. 

Artinya, senantiasa ingat dan selalu menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas, terutama ketika menjalankan roda pemerintahan negara, adalah daya tahan tubuh yang paling ampuh untuk mencegah masuk atau berkembangnya semua racun racun-racun hati yang di sebut di atas.

Semakin kuat kedekatan bangsa ini kepada Allah, maka semakin kuat juga benteng pertahanan hatinya dari semua serangan, dan semakin kokoh jugalah bangsa ini menatap masa depan yang lebih baik.

Tugas inilah yang harusnya dipahami dan ditunaikan oleh siapa saja yang nanti menjadi presiden di Indonesia. Ia harus punya niat dan kemampuan yang kuat untuk membersihkan racun-racun tersebut dan mengembalikan kekuatan bangsa yang sudah tercabik-cabik sekian lama untuk melepaskan lilitan anaconda, bukan justru memperbesar peluang makhluk berbahaya itu untuk melahap dan menguasai Indonesia sepenuhnya.

Namun, bila niat itu tidak ada dalam hatinya, maka adalah kewajiban kita mengingatkan dan  berdoa kepada Allah agar ia tidak diberi kesempatan menjadi pemimpin di negeri ini, kalah dalam pemilihan, atau Allah cabut keikutsertaannya dalam proses. Terlalu dan teramat besar resiko yang akan ditanggung oleh bangsa ini bila orang seperti itu yang naik menjadi pemimpin tertinggi di warisan para pejuang ini.