Ini Penjelasan Kajari Pekanbaru Terkait Penahanan 3 Dokter RSUD AA

Ini Penjelasan Kajari Pekanbaru Terkait Penahanan 3 Dokter RSUD AA

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Usai didatangi ratusan dokter dari berbagai instansi kesehatan, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pekanbaru, Suripto Irianto, menyampaikan penjelasan tentang duduk masalah penahanan tiga orang dokter di RSUD Arifin Achmad (AA) dan dua orang rekanan penyedia Alkes. Ia juga membantah tuduhan adanya upaya kriminalisasi terhadap tiga orang dokter tersebut.

Irianto menjelaskan bahwa penahanan lima orang pada kasus dugaan Tipikor Alkes di RSUD, termasuk tiga orang dokter, merupakan hasil pelimpahan dari Polresta Pekanbaru. Dari hasil penyidikan di kepolisian, diketahui bahwa ada kongkalikong antara oknum dokter dan juga rekanan penyedia Alkes di RSUD. 

Pada tahun 2012 dan 2013, RSUD menjalin kerjasama dengan CV PMR selaku penyedia Alkes dan obat-obatan untuk kebutuhan di rumah sakit tersebut lewat program Jamkesda. 


Namun pada kenyataannya, ketiga orang dokter ini membeli sendiri kebutuhan alat dan obat ke distributornya. Setelah itu dilakukan, mereka pun menyerahkan tagihannya ke RSUD dengan harga yang jauh lebih mahal.

“Karena tidak bisa menagih langsung, mereka meminta CV PMR untuk menagih dengan harga yang sudah di-markup. Jadinya dokter-dokter ini seperti berjualan dengan harga yang jauh lebih tinggi,” ujar Irianto, Selasa (27/11/2018).

Sedangkan bagi CV PMR, mereka menyiapkan kelengkapan administrasi untuk melakukan penagihan ke RSUD. Sehingga seolah-olah barang tersebut berasal dari perusahaan itu. Mereka juga mendapatkan komisi 5 persen dari tagihan tersebut.

“Setelah proses pencairan ke CV PMR dibayar oleh RSUD, mereka menyerahkannya ke dokter tersebut setelah dipotong komisi,” tambah Suripto.

“Soal peminjaman Alkes tersebut ke RSUD juga tidak benar. Kalau meminjamkan mungkin hanya satu dua. Tapi ternyata ada 187 tagihan yang dibuat oleh CV PMR yang seolah-olah barang tersebut dari perusahaan tersebut, padahal bukan,” pungkas Suripto.

Akibat tindakan tesebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp 140 juta. Atas tindakan ini, para tersangka akan dijerat UU Tipokor dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.