Walhi: Preseden Buruk Jika Presiden Teruskan Kasasi Karhutla

Walhi: Preseden Buruk Jika Presiden Teruskan Kasasi Karhutla

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati menilai, akan menjadi preseden buruk bila Presiden Joko Widodo alias Jokowi beserta menteri-menterinya meneruskan kasasi terkait kasus karhutla di Kalimantan Tengah. Gugatan dari masyarakat ini justru hanya ingin mengingatkan soal apa yang harus dipenuhi Pemerintah.

"Kami tidak berharap pemerintah melanjutkan kasasi, karena ini sebenarnya menjadi preseden buruk. Upaya gugatan CLS (citizen lawsuit) ini hanya mengingatkan pemerintah bahwa ada kewajiban yang belum dilakukan sehingga akibatnya bisa merugikan masyarakat," katanya di Jakarta, Ahad (26/8/2018).

Seharusnya, lanjut Nur, pemerintah menunjukkan itikad baiknya dengan cukup mengakui bahwa memang ada kelalaian dan mengatakan ke depan pemerintah akan perbaiki. Selain itu, pemerintah juga mesti melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan pengadilan.


"Pengadilan kita sebagai negara hukum seharusnya pemerintah patuhi putusan pengadilannya, apalagi putusan ini basic dan tidak mengada-ada. Menyangkut prinsip-prinsip dasar pemenuhan hak asasi manusia oleh negara kepada warga negaranya," ujarnya.

Untuk mencegah karhutla yang tiap tahun terus terjadi, Nur menyampaikan, memang sudah saatnya pemerintah memoratorium pembukaan lahan dan konversi hutan menjadi perkebunan maupun pertambangan. Sebab, kebanyakan lokasi karhutla ini di lahan gambut yang bila terbakar maka hanya hujan deras yang bisa memadamkannya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi termasuk pihak yang berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal ini terkait kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Kasus ini berawal dari kelompok masyarakat yang menggugat negara dengan gugatan citizen lawsuit.

Kelompok masyarakat itu terdiri dari Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, dan Mariaty. Mereka menggugat Presiden Jokowi, Menteri LHK Siti Nurbaya, Mentan Amran Sulaiman, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menkes Nila Moeloek, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, dan DPRD Kalimantan Tengah.

Dalam putusan majelis, pemerintah diminta membuat turunan peraturan pelaksana dari UU 32/2009. Karena, pemerintah tidak membuat Peraturan Pelaksana Strategis. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup terkait karhutla; PP tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup; PP tentang tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

"Jadi terlihat jika pemerintah gagap terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan karena memang instrument hukumnya belum dibuat," kata Riesqi selaku kuasa hukum penggugat.