Meranti dengan Emas Hitamnya dan Hak Kelola 10 Persen

Meranti dengan Emas Hitamnya dan Hak Kelola 10 Persen

Oleh: Dr Eng. Muslim 
Dosen Universitas Islam Riau
Lulusan S3 Teknik Perminyakan Korea Selatan

RIAU kaya dengan sumber daya alamnya, khususnya minyak bumi. Negeri bertuah ini menjadi salah satu sumber pendapatan dari sektor migas sejak zaman orde baru dan terus berlanjut hingga saat ini. 

Sudah lebih dari 70 tahun sumber daya minyak Riau dikuras dan hasilnya digunakan untuk pembangunan republik ini walaupun dengan mengabaikan daerah asal minyak tersebut. Masih banyak anak-anak riau yang belum mengenyam pendidikan yang layak mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. 


Sementara mereka setiap hari melihat sumur-sumur minyak, pompa yang menguras minyak dan pipa panjang yang mengalirkan minyak seantaro riau ini. Kesempatan daerah ikut dalam mengelola sumber daya minyak hanyalah merupakan lip service dari pemerintah untuk rakyat riau dan daerah penghasil lainnya. 

Sejak diberlakukannya Permen ESDM No 37 Tahun 2016 tentang Participating Interest (PI) BUMD Riau belum pernah mendapatkan hak tersebut. Wilayah Kerja (WK) yang telah habis masa kontraknya dan diperpanjang untuk periode berikutnya berdasarkan undang-undang tersebut, daerah penghasil berhak mendapatkan haknya participating interestnya maksimal sebesar 10% walaupun angka ini sebenarnya sangat kecil bagi daerah penghasil yang menginginkan bisa menjadi operator beberapa lapangan yang ada di daerahnya. 

Idealnya adalah WK yang telah habis kontraknya dan masih layak untuk diproduksikan dengan tahapan primary recovery maupun secondary recovery diserahkan pengelolaannya ke BUMD daerah penghasil. Ataupun WK yang luas serta memiliki beberapa lapangan dapat di split menjadi beberapa WK sehingga daerah masih dapat menjadi operator dari lapangan yang ada. 

Khusus untuk WK yang memerlukan tahapan produksi tahap lanjut atau enhanced oil recovery (EOR) dapat dilelang ataupun diserahkan ke operator yang masih existing. Namun demikian untuk perpanjangan WK pemerintah tetap memberikan atau menawarkan porsi PI 10% ke BUMD dan untuk dapat digunakan manfaatnya bagi masyarakat setempat. 

Tentunya hal ini perlu kesepakatan antara BUMD dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) yang menjadi pengelola WK yang mereka peroleh tentang berapa besaran PI 10 % ini. Sehingga nantinya menjadi clear jika kontrak sudah dijalankan.  

Hingga saat ini, tidak satupun BUMD di Provinsi Riau yang memperoleh PI dari wilayah kerja yang telah habis kontraknya. 

WK yang sudah habis masa kontraknya sejak tahun 2013 yang lalu tampa melibatkan atau memberikan hak PI ke pemerintah daerah Riau antara lain adalah WK Kampar dan WK Siak yang saat ini Pertamina Hulu Energi yang menjadi operatornya. 

Seharusnya dari kedua WK ini Riau mendapatkan haknya 10% yang di sebut sebagai PI sebagai mana ditentukan dalam Permen ESDM No 37 tahun 2016. Walaupun keinginan Riau adalah menjadi operator tunggal di kedua lapangan tersebut. Karena ketamakan pemerintah pusat, hak sebagai operator tidak diperoleh oleh Riau melalui BUMD nya dan begitu juga dengan PI yang hingga hari ini entah dimana rimbanya. 

PI jika dikelola dengan baik tentu akan menjadi sumber pendapatan bagi daerah penghasil migas selain dari DBH dan selain itu BUMD yang dilibatkan dalam pengelolaan lapangan minyak akan mendapatkan pelajaran berharga selama kontrak berlangsung dalam mengelola lapangan migas. 

Peta WK Malacca Strait (Sumber: https://www.emp.id/operation-oil-and-gas-asset/malacca-strait-psc/
 

BUMD akan masuk ke dalam manajemen dan punya hak untuk memberikan masukan serta keterlibatan dalam hal teknis selama masa kontraknya. 

Diharapkan nantinya setelah kontrak berakhir BUMD tersebut mampu menjadi operator untuk lapangan migas yang ada didaerah masing-masing. Rasa kepedulian terhadap daerah dari pemerintah pusat agar daerah mampu mengelola migasnya sendiri yang tidak pernah ada di benak pusat sehingga semua lapangan yang habis kontrak akan di kelola oleh perusahaan nasional, multi nasional milik taipan tertentu sehingga daerah penghasil hanya mendapatkan kerak-kerak atau sisa-sisa dari hasil yang diperoleh. 

Bumi, air, tanah dan segala isi adalah milik negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat sesuai UUD pasal 33 hanyalah kalimat sakti yang digunakan pemerintah pusat untuk menguasai semua kekayaan alam yang ada di negeri ini dengan mengabaikan kemakmuran daerah penghasil itu sendiri. 

Begitu juga dengan ayat lima dari Pancasila yaitu dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak diterapkan sepenuhnya bagi negeri ini. Riau sebagai daerah penghasil tidak merasakan keadilan yang sebenarnya, ibarat lilin mampu untuk menerangi sekitarnya walaupun dirinya sendiri yang akan terbakar dan begitulah perumpaan Riau hingga hari ini. 

Kontrak perpanjangan WK untuk Propinsi Riau yang telah ditandatangani pada awal Juli ini adalah WK EMP Malacca Strait yang akan berakhir pada Agustus 2020 yang akan datang. Signature bonus yang diterima pemerintah pusat dari perpanjangan kontrak ini sebesar US $ 2,5 juta dengan komitmen pasti lima tahun pertama sebesar US $ 45,75 juta. 

WK ini telah dikelola oleh EMP sejak tahun 1996 dengan jumlah saham sebesaar 60.49% serta saham lainnya sebesar 32,58% (OOGC) dan 6.93% dimiliki oleh Malacca Petroleum. 

WK ini memiliki lokasi daratan (onshore) dan lepas pantai (offshore) dengan lapangan utama yaitu Lapangan Kurau dan Lapangan Pedas.  

WK ini tercatat memiliki jumlah minyak sebesar 40 juta barel minyak akumulasi P1,P2, dan P3. Serta jumlah gas sebesar 6,6 juta setara barel minyak (MMBOE). 

Kontrak lama adalah sistem kontrak bagi hasil (PSC) dan kontrak baru nantinya menjadi sistem Gross Split dengan pemegang saham adalah EMP Malacca Strait SA sebesar 56,9% dan sisanya adalah PT. Imbang Tata Alam. 

Minyak yang akan diperoleh kontraktor dari sistem Gross Split ini sebesar 59% dan  bagian pemerintah sebesar 41%. Sementara untuk gas sebesar 64% menjadi bagian kontraktor dan  bagian pemerintah menjadi 36%. 

Bagi Pemkab Meranti perpanjangan kontrak ini seharusnya dapat dimanfaatkan sebaiknya-baiknya untuk dapat ikut andil dalam pengelolaan migas di negeri sagu tersebut. 

Menjelang Agustus tahun 2020 nantinya, pemerintah Kabupaten Meranti harus mempersiapkan BUMD serta dikelola oleh orang yang profesional di bidang migas untuk menjadi pemegang saham 10% (PI) yang nantinya menjadi hak daerah penghasil. 

Jika hal ini tidak dipersiapkan secara matang tentunya akan merugikan Kabupaten Meranti itu sendiri, di mana keuntungan yang peroleh akan menjadi PAD yang merupakan keuntungan dari hak partisipasi sebagai salah satu pemegang saham untuk WK tersebut. 

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan PI, saham BUMD nya harus 100% dimiliki daerah dan jika syarat ini tidak terpenuhi akan menjadi ganjalan nantinya saat diajukan ke pemerintah pusat. Hal ini mungkin saja terjadi di mana saham BUMD tidak 100% dimiliki pemerintah daerah. 

Jika BUMD saat ini tidak 100% dimiliki Pemkab, saham pihak luar di BUMD tersebut harus dikeluarkan atau dengan membentuk BUMD baru khususnya untuk mengelola PI tersebut. 

Kondisi di Riau saat ini yang tidak berhasil dalam mengambil hak PI untuk WK Siak dan Kampar oleh BUMD yang ada di Propinsi Riau bisa jadi disebabkan saham yang belum 100% milik pemerintah daerah. 

Jika hal tersebut terjadi di tingkat Propinsi Riau dapat dijadikan pelajaran oleh Pemkab Meranti jika ingin pengambilan PI tersebut berjalan lancar saat kontrak WK tersebut habis dalam waktu 2 tahun kedepan. 

Dengan waktu yang cukup singkat untuk mempersiapkan BUMD tersebut tidaklah menjadi sulit jika pihak eksekutif dan legislatif bersinergi untuk kemakmuran masyarakat di negeri Sagu ini. Hal ini akan menjadi kenangan indah yang akan ditinggalkan oleh Bupati Irwan di ujung masa pemerintahannya yang berakhir pada tahun 2021 nanti. ***

*Penulis: Anak Jati Kabupaten Meranti Bermukim di Pekanbaru