Pintar Saja Tidak Cukup dalam Era Disruption

Pintar Saja Tidak Cukup dalam Era Disruption

Oleh: Dr Irvandi Gustari 
Direktur Utama Bank Riau Kepri

 

Pintar saja memang tidak cukup dalam era disruption ini. Lalu apa yang dibutuhkan untuk tetap bisa eksis? Ya memang menarik untuk kita cermati, bahwa yang dibutuhkan adalah orang-orang yang cerdas. Cerdas memang lebih tinggi kastanya dari kategori pintar. Seorang yang cerdas memang tidak sebatas pintar saja, namun ada aspek lain yang dimilikinya yaitu berkemampuan menggunakan kepintaran pada waktu dan tempat yang tepat, dan selalu mengedepankan harmonisasi atau keseimbangan.


Ya pembahasan di atas seolah-olah kita sedang memainkan kata per kata. Namun sesungguhnya dalam kehidupan keseharian kita bisa tarik contoh yang sederhana saja, misalnya seorang lulusan sarjana dengan nilai tertinggi yaitu IPK : 4, dan ternyata dari banyak riset yang punya IPK : 4 itu tidak menjamin kesuksesan karir maupun proses hidupnya. Mengapa? Ya karena walaupun sudah menjadi orang terpintar sekalipun namun tidak bisa melakukan harmonisasi kepintarannya dengan lingkungannya maka kesuksesan akan jauh darinya. 

Banyak sekali orang di sekeliling kita mengaku pintar dan bahkan sok pintar untuk menonjolkan eksistensinya, tapi dicap pintar atau sangat pintar tentunya bukan dari kita sepatutnya yang menilai diri sendiri.

Dalam kesuksesan hidup dan karir, para pihak yang berwenang tentang menyatakan kecerdasan seseorang yaitu dari sejumlah lembaga pemerintah menyatakannya ukuran kemampuan seseorang tersebut dalam bentuk tingkat kompetensi. Jadi yang dikenal berkompeten atau tidak berkompeten. Berkompeten itu bermakna bahwa seseorang itu memiliki tingkat kompetensi yang dipersyaratkan. 

Lalu apa itu yang dimaksud dengan kompetensi? . Ada 4 definisi tentang kompetensi dari sejumlah lembaga yang kredibel yaitu pertama, menurut  UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas penjelasan pasal 35 (1): Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standard nasional yang telah disepakati. 

Lalu yang kedua menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: pasal 1 (10): Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 

Yang ketiga menurut Peraturan  Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2004, tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP): sertifikasi kompetensi kerja sebagai suatu proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistimatis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan atau Internasional. 
Sedangkan yang terakhir atau yang keempat bahwa Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI): Kompetensi adalah pernyataan tentang bagaimana sesorang dapat mendemontrasikan: keterampilan, pengetahuan dan sikapnya di tempat kerja sesuai dengan standar Industri atau sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh tempat kerja (industri).

Intinya adalah seorang bisa disebut berkompeten bilamana memenuhi 3 aspek yaitu ukuran aspek pengetahuan, aspek keterampilan dan ketiga adalah aspek sikap. Menarik memang, dimana untuk meraih predikat sebagai seorang yang berkompeten tidak cukup hanya memiliki aspek pengetahuan dan aspek keterampilan saja, namun ada penentunya yaitu aspek sikap.

Jadi bagaimana kesimpulannya. Ya bilamana ada seseorang yang mengaku dirinya pintar, bisa saja kita nyatakan bukanlah orang yang berkompeten, karena tidak memenuhi aspek sikap. 

Ya memang kita tidak terlalu pening untuk membahas ukuran kepintaran dan ukuran kecerdasan, namun jadilah orang yang berkompeten. Orang yang berkompeten sudah pasti memiliki kepintaran dan kecerdasan. ***