Buni Yani Kembali Bantah Sunting Video Ahok

Buni Yani Kembali Bantah Sunting Video Ahok

JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Buni Yani kembali membantah tudingan yang menyebutkan dirinya menyunting video Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait surat Al Maidah ayat 51. Dikatakan, dirinya hanya mengunggah ulang video yang didapatkannya dari akun Media NKRI.

"Sama seperti apa adanya dengan yang kita dapatkan dari Media NKRI. Jadi saya tidak apa-apakan," ujar Buni, usai menjalani pemeriksaan di Kantor Bareskrim Mabes Polri di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat, Kamis (10/11).

Buni dimintai keterangan sebagai saksi dalam Buni kasus dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, saat melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu, beberapa waktu lalu. Dalam pemeriksaan kemarin, ia dicecar 28 pertanyaan oleh penyidik Bareskrim Polri.

Lebih lanjut, Buni menuturkan, dia mendapatkan video berdurasi 31 detik itu pada tanggal 5 Oktober 2016. Dia kemudian mengunggahnya kembali di akun Facebook miliknya sehari kemudian. Akibat unggahan Buni, video tersebut menjadi viral di media sosial.

"Jadi apa yang saya dapatkan dari video Media NKRI yang meng-upload (unggah) video tersebut pada tanggal 5, itu kami upload ulang pada tanggal 6. Tanpa ada perubahan apa pun," ucap Buni.

Fitnah Hal senada juga disampaikan ketua kuasa hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian. Lebih tegas lagi, ia mengatakan, tudingan yang ditujukan kepada kliennya itu merupakan fitnah tanpa dasar.

Pasalnya, bukan hanya kliennya yang mengunggah video Ahok. "Video itu bukan disunting oleh Pak Buni. Dia hanya meng-upload ulang," kata Aldwin. "Banyak akun lain, selain Pak Buni, yang meng-upload dengan durasi yang sama, 31 detik," ucap Aldwin.

Ditambahkannya, tujuan kliennya mengunggah video pernyataan Ahok tersebut untuk mengajak diskusi netizen. Menurutnya, kliennya yang juga mantan wartawan itu, ingin membuka perbincangan publik terkait perkataan Ahok di hadapan warga Kepulauan Seribu.

Menurut Aldwin, Buni berpikir perbincangan publik akan hangat ketika ada pejabat yang memberikan pernyataan sensitif. Menurut Aldwin, tidak ada maksud lain yang ingin disampaikan Buni dalam pengunggahan video itu ke media sosial.

Ancam Keberagaman Terpisah, Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan, jika perkataan Ahok dinyatakan bukan penistaan agama oleh kepolisian, maka akan mengancam keberagaman dan Pancasila.


Sebab, dikhawatirkan akan banyak orang menggunakan kata-kata yang sama dengan Ahok untuk menghina agama lain.
Menurutnya, apa yang telah dilakukan Ahok adalah penistaan atau ancaman terhadap keberagaman. Yakni, keberagaman terhadap Islam, Indonesia, umat beragama dan Pancasila.

Pasalnya, tambahnya, Ahok sudah masuk pada ruang yang sangat privat bagi Islam, yaitu perbedaan tafsir dalam Islam. Padahal, umat Islam saja menghormati kelompok Islam yang lain yang berbeda tafsir.

"Coba bayangkan, nanti kalau misalnya polisi memutuskan apa yang dilakukan Ahok itu bukan penistaan agama," ujarnya, saat diskusi publik di Gedung PP Muhammadiyah, Kamis (10/11).

Ia menerangkan, maka akan banyak orang menggunakan kalimat yang sama dengan Ahok untuk menghina agama lain dan menghina isi kitab suci orang lain. Sebab, sudah ada contohnya, apa yang dikatakan Ahok bukan penistaan. Maka akan ditemukan maraknya sikap-sikap intoleransi dan ujaran kebencian.

Ia menegaskan, itulah kenapa Ahok bisa menjadi ancaman keberagaman dan kebhinekaan Indonesia dalam jangka panjang.

Dikatakan Dahnil, pihaknya sudah berualangkali memperingatkan kepolisian supaya hati-hati menyelesaikan kasus Ahok. Sebab, akan menjadi ancaman bagi keberagaman Indonesia dan Pancasila. Jadi harus dituntaskan dan memenuhi rasa keadilan publik.

Jangan Terjebak Sedangkan pakar hukum pidana, Teuku Nasrullah mengingatkan penegakan hukum untuk kasus Ahok, tidak terkait, dan tidak boleh dikaitkan dengan penafsiran terhadap Al Maidah ayat 51. Baik dalam penyelidikan dan gelar perkara.

"Karena kalau nanti dikaitkan dengan penafsiran Al Maidah 51, maka akan ada yang menafsirkan A dan ada yang menafsirkan B, sehingga tidak fokus pada masalah ada tidaknya penistaan agama," ujarnya dalam acara Diskusi Publik 'Kasus Ahok Nista Islam, dalam Perspektif Hukum Pidana' di kawasan Gondangdia, Jakarta, Kamis kemarin.

Ia menegaskan, kasus dugaan penistaan sgama ini bukan terkait dengan penafsiran Al Maidah 51. Pasal penegakan hukum ini harus merujuk pada apakah, ada gangguan ketertiban umum. Apakah terpenuhi unsur-unsur pasal 156a dalam KUHP tersebut.

"Jangan pernah terjebak pada penafsiran Al Maidah ayat 51. Nanti yang ada adalah diundang Ulama A, akan bilang Al Maidah 51 tafsirnya Z. Kemudian diundang Ulama B, akan bilang Al Maidah 51 tafsirnya X, dan diundang ulama C, akan bilang Al Maidah 51 tafsirnya Y," jelasnya.

Ia mengatakan hal itu tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Sehingga tidak ada unsur yang dilihat dari pasalnya, dan yang muncul adalah belum ada kesepahaman dan ada perdebatan tafsir soal Almaidah 51.

"Jadi akhirnya tidak fokus pada masalah intinya, yakni penghinaan agama," ingatnya. (bbs, kom, rol, ral, sis)